Selasa, 25 Juni 2013
Hidayatullah.com--Anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Yani, menyatakan, pengesahan Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa (Ormas) belum saatnya dilakukan.
"Sebab, antara satu pasal dengan pasal yang lain masih belum singkron," kata Yani dalam rapat paripurna DPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (25/06/2013).
Ia menyebutkan, pasal 10 RUU Ormas, terjadi kerancuan dan tidak ada definisi yang jelas antara perkumpulan, LSM, dan ormas.
"Ada kerancuan pada pasal 10, ada entitas berbeda. Jadi harus ada UU Perkumpulan, UU LSM, UU Ormas. Tidak bisa dicampuradukkan sebagaimana yang terdapat dalam RUU Ormas," kata dia.
Ditambahkan, RUU Ormas ini juga membuka peluang bagi asing merajalela di Indonesia. Sebab, dalam RUU itu, asing boleh mendirikan LSM di Indonesia dengan syarat yang mudah.
"Soal ormas asing, kita sangat terbuka terhadap mereka dan ini membahayakan kedaulatan negara kita. UU membuka jalan dan ruang bagi ormas asing. Seharusnya dijelaskan, misalnya ormas asing itu bekerja untuk kepentingan apa, apakah bisnis, karena bisa saja pendirian untuk kemanusiaan, tapi dibalik itu untuk mengeruk kekayaan kita," kata Yani.
Di samping itu, dirinya meminta DPR RI untuk tidak mempermalukan diri sendiri.
"Jangan sampai RUU ini di ujimaterikan setelah disahkan. Saya harap tidak harus tergesa-gesa untuk disahkan," kata politisi PPP itu.
Judicial Review
Pengurus Pusat Muhammadiyah berencana melakukan peninjauan kembali atau "judicial review" apabila Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan disetujui DPR dan disahkan Presiden SBY.
"Kami sudah menyuarakan menolak RUU Ormas, namun kami memiliki jalan terakhir, yaitu `judicial review` karena merupakan hak konstitusional," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, Senin (24/06/2013).
Din mengatakan Muhammadiyah dan ormas keagamaan yang lain akan menempuh jalur hukum untuk membatalkan RUU itu apabila disahkan menjadi undang-undang. Menurut dia, RUU Ormas bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
"Ancaman nyata ketika negara mengatur terlalu dalam eksistensi ormas," ujarnya. Menurut Din, apabila RUU itu tetap dipaksakan untuk disahkan, maka pemerintah dan DPR buta mata hatinya.
Sebelumnya Din menegaskan, Rancangan Undang-Undang Organisasi bisa membalikkan sejarah Indonesia ke rezim otoritarian dan represif.
"Pada intinya mengapa RUU Ormas ditolak karena dilihat dari tiga acuan utama. Pertama, reformasi Indonesia perlu dikawal dalam perubahan dari otoritarian ke demokrasi maka jangan sampai ada pembalikan jarum sejarah ke otoritarian dan represif," kata Din Syamsuddin, dalam berita Antara.
Kedua, menurut dia konsolidasi demokrasi Indonesia yang sudah berjalan harus terus dikonsolidasikan di semua lapisan masyarakat. Dia menjelaskan, salah satu caranya memberi kebebasan masyarakat untuk eksis dalam berkontribusi bagi bangsa Indonesia dengan mendirikan ormas.
Poin ketiga, dia mengatakan dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 negara menjamin kebebasan warga negara untuk berkumpul dan berserikat. Menurut dia, kebebasan itu melekat dengan diri warga negara sehingga negara tidak dapat mengintervensi dan mengatur masyarakat untuk mendirikan organisasi.*
Rep: Insan Kamil Red: Syaiful Irwan
|