Selasa, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 27 Oktober 2009 13:17 wib
10.130 views
Kekeliruan Seputar Jabal Rahmah
Ikhwati fillah!, ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, karena memerlukan kesiapan yang lebih dari ibadah lain, ketika ibadah lain seperti shalat hanya memerlukan kesiapan badan dan jiwa, sedangkan zakat kesiapan harta dan jiwa, maka haji memerlukan kesiapan hati, badan dan harta, oleh itulah haji hanya diwajibkan satu kali dalam seumur hidup.
Namun ibadah yang betul-betul memerlukan kesungguhan tersebut, di mana seluruh amalan yang di dalamnya merupakan bentuk mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Taalaa, serta meninggalkan perbuatan syirik dan khurafat, tidak jarang mereka yang masih melakukan kekeliruan dalam ibadah haji mereka.
Di antara kekeliruannya adalah sebagian jamaah haji yang kurang ilmunya terutama dalam masalah akidah, ketika mereka berada diijabal Arafah ( Rahmah) bukit tempat bertemunya Adam dan Hawa, mereka menulis nama mereka dan pasangan mereka, katanya untuk memperoleh keberkahan, atau supaya hubungan mereka menjadi kekal. Karena mereka meyakini tempat tersebut memiliki keistimewan.
Di sinilah mereka terjatuh dalam kekeliruan dalam masalah memohon keberkahan dari batu yang merupakan benda mati yang tidak dapat mendatangkan manfaat maupun menghindarkan dari mudharat.
Bagaimanakah hukum perbuatan ini jika ditinjau dari sisi syariat ?
Tabarruk bermakna : mencari keberkahan dan mengharapkannya dan meyakininya ada dalam benda tertentu.
Keberkahan bermakna : kebaikan yang banyak dan tetap pada suatu benda.
Hukumnya : termasuk syirik besar , apabila menggantungkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Taalaa untuk mendapatkan keberkahan, karena para penyembah berhalapun ketika mereka menyembah berhala, mereka mengharapkannya sebagai wasilah atau sarana juga sebagai sebab keberkahan. Maka tabarruk dengan kuburan orang-orang shalih seperti tabarruk dengan Lata, dan tabarruk dengan pepohonan dan bebatuan seperti tabarruk dengan Uzza dan Manat.
وعن أبي واقد الليثي؛ قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى حنين ونحن حدثاء عهد بكفر، وللمشركين سدرة يعكفون عندها وينوطون بها أسلحتهم، يقال لها: ذات أنواط، فمررنا بسدرة، فقلنا: يا رسول الله! اجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (الله أكبر، إنها السنن، قلتم - والذي نفسي بيده - كما قالت بنو إسرائيل لموسى {اجْعَل لَّنَا إِلَـهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ} ، لتركبن سنن من كان قبلكم) . رواه الترمذي وصححه.
Dari Abu Waqid Al Laitsi , berkata : kami keluar bersama Rasulullah shallawahu alaihi wasallam ke Hunain ketika kami baru masuk islam, dan orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang dibawahnya mereka bersimpuh dan menancapkan senjata-senjata mereka, dinamakan : Dzatu Anwath, lalu kami melewati sebuah pohon, maka kami berkata : Ya Rasulullah ! jadikan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka punya. Maka Rasulullah shallawahu alaihi wasallam bersabda : ( Allahu Akbar, sesungguhnya itu adalah sunah, kalian mengatakan – Demi yang jiwaku ditanganNya – seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa ( jadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka punya sesembahan, beliau berkata : sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil ), sungguh kalian benar-benar mengikuti sunah-sunah orang sebelum kalian ) HR Imam Turmudzi dan dishahihkan beliau.
Hadits diatas menunjukkan bahwa para sahabat radhiallahu anhum meminta kepada Rasulullah shallawahu alaihi wasallam untuk dibuatkan pohon sebagai tempat mencari keberkahan, karena tidak mungkin mereka beribadah kepada pohon tersebut, namun Rasulullah shallawahu alaihi wasallam menyamakan permintaan para sahabat seperti permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa alaihi salam.
Oleh karena itu hendaklah kita bergantung hanya kepada Allah untuk mendapatkan manfaat termasuk keberkahan dan menghindarkan diri dari mudharat, namun kita tetap mengambil sebab-sebab yang disyariatkan karena memang Allah Ta’alaa memerintahkan kita untuk itu, adapun hasilnya maka kita serahkan kepada Allah Taalaa saja, jadi kita tidak bergantung kepada sebab, namun kepada Allah Taalaa, dan kita juga tidak meniadakan sebab-sebab, karena Allah Taalaa Memerintahkan kepada kita, meninggalkan sebab merupakan sikap lemah dan meniadakan manfaat, yang telah dijadikan Allah dalam segala sesuatu, sebagaimana dikatakan sebagian para ulama : (( bergantung kepada sebab adalah syirik, dan meninggalkan sebab merupakan celaan pada syariat)).
Adapun kalau hanya menganggap sesuatu sebagai sebab keberkahan, namun tetap meyakini bahwa Allahlah Yang Mendatangkan keberkahan, maka apabila benda tersebut dijadikan sebab berdasarkan dalil syarie, maka dibolehkan, seperti tabarruk dengan Al Quran, dengan peninggalan Nabi shallawahu alaihi wasallam, dengan tempat tertentu, dengan makanan tertentu, dengan zaman tertentu.
Tabarruk bisa termasuk syirik kecil apabila dengan sesuatu yang tidak pernah dijadikan syariat sebagai sebab keberkahan, maka termasuk hal yang dilarang, seperti tabarruk dengan batu yang ada di Gua Tsaur.
Karena dalam menetapkan sesuatu sebagai sebab ada beberapa hal yang ditetapkan ulama :
1- Bahwa sebab tersebut ditetapkan secara syarie ( ada dalil menunjukkan keberkahannya).
2- Hendaklah tabarruk dengan cara yang dicontohkan, misalnya masjid adalah tempat yang berkah, cara mendapatkan keberkahannya dengan ibadah didalamnya dan memakmurkannya, bukan dengan mengusap dindingnya.
3- Ketika kita tabarruk dengan sesuatu kita harus tetap yakin bukan benda tersebut yang mendatangkan keberkahan, namun hanya Allah Taalaa saja yang mendatangkannya, adapun benda tersebut hanya sebagai sarana yang ditetapkan syariah.
Syubhat seputar tabarruk : Sebagian mereka mengeluarkan syubhat yaitu bahwa ulama kita mengharamkan tabarruk dengan pohon, batu dan kuburan, sedangkan para sahabat radhiallahu anhum dahulu bertabarruk dengan air liur Nabi shallawahu alaihi wasallam, rambutnya, dan sisa wudhunya, bukankah ini termasuk tabarruk dengan makhluk ?
Jawabannya : bahwa ini khusus bagi Nabi shallawahu alaihi wasallam dan dengan apa yang terlepas dari jasadnya shallawahu alaihi wasallam , karena memang diberkahi, dan apa saja yang terlepas dari jasadnya termasuk air liur, rambut, atau sisa wudhu, maka bisa digunakan untuk tabarruk, adapun tabarruk dengan selain Nabi shallawahu alaihi wasallam maka ini tidak ada riwayat meskipun terhadap umat yang paling afdhol yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, sepuluh sahabat yang dijamin surga, pejuang Badar, mereka yang ikut Baiah Ridwan,tidak pernah diriwayatkan kaum muslimin dahulu bertabarruk dengan mereka, tidak dengan air liur, keringat, maupun rambut mereka.
Maka tabarruk seperti ini tidak boleh, tidak dengan pohon, dengan bebatuan, dengan manusia, tidak juga dengan kamar Nabi, maupun kuburan nabi shallawahu alaihi wasallam, semua ini tidak boleh, karena benda-benda tidak terlepas dari Nabi shallawahu alaihi wasallam dan bukan dari jasad beliau shallawahu alaihi wasallam maka kita harus mengetahui jawabannya untuk hal ini karena mereka selalu berdalil dengan ini.
Adapun yang dilakukan oleh Umar bin Khathab radhiallahu anhu bahwa beliau mencium Hajar Aswad maka itu bukanlah untuk mencari keberkahan sebagaimana sangkaan orang awam, namun murni taabbud ( ibadah). Oleh karenanya beliau berkata : (( sesungguhnya aku tahu kalau engkau batu yang tidak bisa mendatangkan manfaat maupun menolak mudharat, seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallawahu alaihi wasallam menciummu niscaya aku tidak menciummu )).
Kesimpulannya , bahwa tabarruk dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya tidak dibolehkan, hendaklah para jamaah haji memahami hal ini, apalagi mereka sudah mendapat izin Allah untuk berada ditanah Haram, kenapa mereka tidak memohon kebaikan langsung kepada Allah Taalaa, yang kita yakin pasti akan mengkabulkan siapa saja yang berdoa kepadaNya.
Wallahu alam bishowab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!