Kamis, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 28 Oktober 2010 08:40 wib
34.275 views
Tunaikan Haji Lebih dari Sekali atau Menolong Tetangga Miskin?
Oleh: Sumedi, A.Md.Tek
Setiap kali menjelang dan tiba Bulan Dzulhijjah, perhatian umat Islam terpusat pada haji dan qurban. Sebagai bagian dari syi’ar-syi’ar agama Allah yang dimuliakan. Ibadah haji dan qurban merupakan dua peristiwa besar tahunan yang ditetapkan Allah atas orang-orang yang beriman pada bulan-bulan ini.
Rangkaian ibadah haji dilakukan di bulan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Sementara Qurban pada bulan Dzulhijjah.
Terambil dari bahasa arab yang berarti maksud atau tujuan, haji didefinisikan sebagai Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan manasik (haji) yang dituntunkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.
Kewajiban dan Pahala Haji
Secara historis, Ibadah haji telah dikenal mulai zaman Nabi Ibrahim 'alaihis salam bangsa-bangsa Arab jahiliyah. Sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam, mereka menjadikan thawaf sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka, meskipun masih bercampur dengan tradisi-tradisi pagan (penyembahan berhala).
Sejak diwajibkannya atas ummat Islam pada tahun keenam Hijriyah sampai saat ini, ibadah haji termasuk salah satu ritual keagamaan yang sangat populer di dalam Islam. Setiap muslim yang benar keislamannya, pasti memimpikan dapat menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Pasalnya selain wajib, ibadah haji menjanjikan pahala dan keutamaan yang luar biasa dan istimewa. Juga sebagai bentuk ungkapan cinta dari hamba kepada Tuhannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Dan hanya karena Allah lah haji ke Baitullah itu diwajibkan bagi manusia yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kafir maka sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap seluruh alam semesta.” (QS. Ali ‘Imran: 97).
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda;
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan shaum di bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tentang pahala haji, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda;
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berhaji karena Allah lalu tidak berbuat keji dan kefasikan (dalam hajinya tersebut), niscaya dia pulang dari ibadah tersebut seperti di hari ketika dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Antara satu umrah dengan umrah berikutnya merupakan penebus dosa-dosa yang ada di antara keduanya, dan haji mabrur itu tidak ada balasan baginya kecuali Al-Jannah (surga).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, “Orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang menunaikan ibadah haji serta umrah adalah delegasi Allah. Allah memanggil mereka, lalu mereka memenuhi panggilan-Nya. Dan mereka memohon kepada-Nya, maka Dia memenuhi permohonan mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Haji, Wajibnya Hanya Sekali
Ditinjau dari perspektif pengamalannya, Qaidah Ushluiyah mengklasifikasikan amr (perintah untuk melakukan) amal ibadah wajib di dalam Islam ke dalam dua bentuk; Pertama, amr yang menuntut/wajib dilakukannya suatu amal secara berulang-ulang seumur hidup. Dengan adanya qarinah (indikasi) yang menunjukan adanya tuntutan untuk melakukannya. Termasuk dalam kategori ini misalkan; Shalat fardhu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43)
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa : 103)
Demikian halnya dengan puasa Ramadhan, zakat dan lain-lain. Bila telah tiba masa dan terpenuhi syarat wajibnya, maka amal-amal itu menjadi wajib untuk dikerjakan secara sempurna.
Kedua, amr (perintah) yang tidak mengharuskan dilakukannya suatu amal ibadah secara berulang-ulang. Seperti: ibadah haji.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda; “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada kalian ibadah haji!” Maka berdirilah Al-Aqra’ bin Habis seraya mengatakan: “Apakah haji itu wajib ditunaikan setiap tahun wahai Rasulullah?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau aku katakan; ya, niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun, dan bila diwajibkan setiap tahun niscaya kalian tidak akan menunaikannya, bahkan tidak akan mampu untuk menunaikannya. Kewajiban haji itu hanya sekali (seumur hidup). Barangsiapa menunaikannya lebih dari sekali, maka dia telah bertathawwu’ (melakukan perbuatan sunnah).” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Para ulama telah berijma’ bahwa ibadah haji tidak wajib berulang kali. Diwajibkan hanya sekali seumur hidup. Kecuali bila seseorang bernadzar, maka ia wajib memenuhi nadzarnya itu. Sedangkan melakukan ibadah haji untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya hanya dihukumi sunnah, bukan lagi wajib. Bahkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam semasa hidupnya, melakukan haji hanya sekali yaitu pada tahun kesepuluh hijriyah. Padahal haji, sebagaimana telah disebutkan diatas, telah diwajibkan pada tahun keenam hijriyah.
Antara Haji Sunnah dan Amal yang Wajib
Kita patut bersyukur, bahwa ghirah (semangat) kaum muslimin Indonesia dalam pemenuhan kewajiban pelaksanaan ibadah haji sangat menggembirakan. Dari tahun ke tahun, jumlah jamaah haji Indonesia selalu mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2009 total jamaah haji indonesia berjumlah 207 ribu orang. Dan kini di 2010, bertambah menjadi 211 ribu jamaah. Bahkan informasi terakhir Indonesia diberi tambahan 10 ribu lagi sehingga jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci sebanyak 221.000 jamaah. Ditambah petugas sejumlah 3.500 orang, maka jumlah total jamaah yang berangkat sebanyak 224.500 calon haji. (Sumber: www.jurnalhaji.com)
Belum lagi kalau kita lihat jamaah calon haji yang baru masuk daftar tunggu yang jumlahnya boleh jadi lebih besar dari yang bisa diberangkatkan oleh Pemerintah Indonesia.
Untuk dapat menunaikan ibadah haji, berbagai usaha dilakukan. Dari menyisihkan setiap rizki yang Allah berikan, mengikuti program-program tabungan haji perbankan, hingga tidak sedikit yang rela menjual rumah tempat tinggal yang dimilikinya dan menukar dengan kediaman yang lebih sederhana. Sebuah usaha yang patut diberi pujian.
Namun, di sisi lain, ada hal yang patut disayangkan. Di saat banyak masyarakat di sekelilingnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak sedikit diantara para jamaah haji itu yang menunaikan ibadah haji untuk yang ke sekian kalinya. Data Badan Pusat Statistik RI, menyebutkan hingga Maret 2010, jumlahnya mencapai angka 31,02 juta jiwa, atau 13,33 persen. Bukankah ibadah haji mendidik kita untuk empati terhadap saudara seiman dengan warna kulit dan suku apa pun mereka melalui pelaksanaan thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan lain-lain secara berjama’ah? Lalu, apa yang didapat dari menunaikan ibadah haji jika rasa ingin memberi pada mereka yang faqir tak juga dimiliki?
Tidak ada larangan bagi siapa saja yang hendak berhaji bahkan untuk yang ke 10 kalinya sekalipun. Karena itu bernilai sunnah; jika dilaksanakan tetap mendatangkan pahala. Tetapi, bila di sekitar orang yang hendak menunaikan haji untuk kesekian kalinya itu ada yang sangat kekurangan, apa lagi kelaparan, masihkah kita berketatapan hati untuk menunaikan niat kita? Berangkat haji dan meninggalkan tetangga, handai taulan dalam rintihan-rintihan kelemahan?
Syari’at telah menetapkan bahwa seorang mukmin adalah penolong bagi mukmin yang lainnya. Syariat memerintahkan untuk saling tolong menolong, berbuat baik kepada orang-orang miskin dan yang membutuhkan. Allah berfirman; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71)
“Dan hendaklah kamu berbakti kepada Allah, dan jangan kamu sekutukan Dia dengan sesuatu, dan hendaklah kamu berbuat baik dengan sungguh-sungguh kepada ibu bapak, keluarga yang dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, sahabat sejalan, ibnu sabil, apa-apa yang dimiliki oleh tangan kanan kamu, sesungguhnya Allah itu tidak suka kepada orang yang sombong dengan perbuatannya, sombong dengan perkataannya." (Qs. An-Nisa : 36)
“Maka berilah kepada keluarga yang dekat, dan orang miskin, dan ibnu sabil akan haknya, yang demikian itu baik bagi orang-orang yang mengharap keridlaan Allah." (Qs. Ar-Rum : 26)
Bagi yang tidak peduli dan tidak mau ambil pusing terhadap kebutuhan dan keperluan kaum muslimin Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda; “Barangsiapa tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia tidak termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Thabrani)
“Bukanlah dari kalangan orang yang beriman, apabila ia dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya dalam kelaparan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah menjelaskan tentang sebab-sebab orang-orang dimasukan ke dalam neraka Saqar. Allah berfirman; ”Apa yang menyebabkan kamu masuk Neraka Saqar?” Mereka berkata; ”Dulu kami termasuk orang-orang yang meninggalkan shalat. Dan Kami kikir, tidak memberi makan orang miskin dan tidak memuliakan anak yatim.” (QS.Muddatstir 74 : 42-44)
Amal ibadah di dalam Islam mengenal istilah muwazanah (prioritas). Tidak dibenarkan mengamalkan yang sunnah, jika hal itu menyebabkan terbengkalainya sebuah kewajiban. Dalam perspektif fiqh, tindakan tersebut termasuk perbuatan haram. Karena pilihan mengerjakan yang sunnah telah menjadi wasilah bagi terlaksana perbuatan haram; meninggalkan yang wajib. Oleh karena itu, bagi siapa saja diantara kita yang berkeinginan melakukan ibadah haji bukan untuk yang pertama kalinya, berfikirlah dulu. Renungkan kembali. Jangan sampai haji yang kita kerjakan dengan biaya, waktu, tenaga yang tidak sedikit, termasuk kategori mengutamakan yang sunnah di atas ibadah wajib. Yakinkah bahwa di sekitar kita tidak ada lagi tetangga, juga kerabat dekat masih ada yang membutuhkan bantuan karena faktor kemiskinan? Tidak adakah di antara tetangga dan handai taulan yang kesulitan mendapat makan, minum dan pakaian? Jika ternyata ada, maka mengurungkan niat pergi haji untuk yang kedua, ketiga atau bahkan yang keempat kalinya itu adalah tindakan yang bijak.
Dengan menginfakkan biaya yang telah disiapkan untuk ibadah haji kepada mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya dalam bertahan hidup. Insyaallah, wajah Allah kan anda jumpai disana. Sementara pahala haji tetap anda terima. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!