Selasa, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 1 Mei 2012 05:15 wib
42.571 views
Disunnahkan Mengeraskan Suara Adzan, Bukan Dengan Sayup-sayup
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Ciri akhir zaman, di antaranya, diangkatnya ilmu. Maknanya bukan dicabut secara langsung dari dada manusia. Namun dengan diwafatkan ulama. Jika sudah tidak ada ulama yang sesungguhnya, maka manusia mengangkat orang yang jahil sebagai pemimpin dalam beragama. Mereka meminta fatwa kepadanya. Akibatnya, pemimpin yang jahil tersebut sesat -karena kejahilannya- dan menyesatkan manusia secara umum dengan fatwanya.
Demikianlah realita yang terjadi di masyarakat. Saat kepemimpinan suatu negeri dipegang orang yang jahil terhadap agama, maka ia diundang dan didaulat memberikan arahan. Lebih parah lagi yang meminta arahan adalah orang-orang yang dipercaya umat dalam urusan agama. Bahkan dikaitkan dengan tempat mulia umat Islam, yakni masjid. Sehingga arahan yang diberikan tentunya jauh dari kebenaran yang sesungguhnya karena ia orang yang benar-benar tidak menguasai urusan agama. [Silahkan baca: MUI: Azan Sayup itu Wacana Wapres Saja dan Tak Sesuai Syariat Islam]
Disunnahkan Mengeraskan Suara Azan
Adzan adalah ibadah dan termasuk syi'ar Islam yang masyhur dan teragung. Amalan ini terus dilaksanakan semenjak disyariatkannya sampai wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Baik ketika malam maupun siang. Baik ketika bepergian maupaun bermukim. Tidak pernah terdengar bahwa beliau pernah meninggalkannya atau memberikan dispensasi untuk tidak mengerjakannya.
Disunnahkan mengeraskan suara adzan sehingga sampai ketelinga manusia yang belum hadir di masjid. Baik dengan meninggikan suara atau dengan menggunakan pengeras. Agar maksud adzan yang sebagai panggilan shalat tercapai. Inilah madhab Syafi'i, Hambali, dan satu pendapat dari Hanafi. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: I/378)
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata kepada Ibnu Abi Sha'sha'ah, "Aku lihat kamu sangat suka dengan kambing dan gurun. Jika kamu sedang mengembalakan kambingmu atau sedang berada di gurun, maka kumandangkanlah adzan dengan suara yang keras. Sebab tidaklah jin, manusia atau benda lainnya mendengarkan suara muadzin, kecuali mereka akan memberikan persaksiannya pada hari kiamat." Abu Said berkata, "Aku mendengarnya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (HR. Al-Bukhari dan al-Nasa'i)
Imam Abu Dawud dalam Sunannya menuliskan: "Bab Meninggikan (mengeraskan) suara saat adzan". Lalu beliau menyebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَشَاهِدُ الصَّلاَةِ يُكْتَبُ لَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ صَلاَةً وَيُكَفَّرُ عَنْهُ مَا بَيْنَهُمَا
"Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya dan akan disaksikan oleh semua benda yang basah dan yang kering. Satu orang yang mendatangi shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima shalat dan diberi ampunan untuknya antara dua shalat." (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 7744 dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud, no. 515)
Maksud "Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya” adalah muadzin diberi ampunan dengan sempurna dengan jauhnya suara itu sampai. Makna lainnya, ini sebagai perumpamaan. Jika dosanya banyak dan mencapai sejauh suaranya itu, maka diberi ampunan untuknya dengan sebab itu. Ringkasnya, kerasnya suara akan terdengar oleh manusia. Setiap orang yang mendengar suara adzan lalu terpanggil oleh suara dan panggilan tersebut, maka muadzin tadi diberi ganjaran dan pahala serta diampuni dosanya dengan sebab itu.
Maksud dari "dan akan disaksikan oleh semua benda yang basah dan yang kering", setiap benda basah dan kering yang suara adzan sampai kepadanya akan menjadi saksi untuk muadzin pada hari kiamat.
Maksud "Satu orang yang mendatangi shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima shalat dan diberi ampunan untuknya antara dua shalat," yakni: orang yang hadir shalat karena menyambut seruan ini maka muadzin diberi pahala besar. Baginya pahala 25 shalat dan ampunan antara dua shalat berikutnya dengan sebab shalat yang dikerjakan tadi.
Sama-sama dimaklumi, muadzin adalah orang yang menghadiri shalat berjamaah, hadir di masjid, dan mendapatkan pahala shalat berjama'ah. Di tambah lagi dengan ampunan yang diperolehnya di antara dua shalat. Maka apa yang diperoleh oleh orang yang menyambut seruannya, maka ia pun mendapatkannya. Tapi ia mendapat tambahan karena menjadi sebab datangnya mereka ke masjid.
. . .Mengeraskan adzan menjadi tuntutan. Karena tujuannya menyampaikan suara nida' (panggilan) kepada manusia. . .
. . .Jika dilantunkan secara pelan dan mendayu-dayu tentu tujuan ini tidak terwujud. . .
Kesimpulan
Mengeraskan adzan menjadi tuntutan. Karena tujuannya menyampaikan suara nida' (panggilan) kepada manusia. Dan ini bisa terwujud dengan benar-benar mengeraskan suara sampai diyakini telah sampai kepada telinga umat. Jika dilantunkan secara pelan dan mendayu-dayu tentu tujuan ini tidak terwujud. Terlebih para ulama menyebutkan, adzan dengan sayup-sayup dan mendayu-dayu termasuk dari kesalahan dalam adzan.
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah menyebutkan beberapa kesalahan dan amal bid'ah dalam azan. Pada urutan pertama disebutkan, "Melagukan dan meliuk-liukan suara secara berlebihan dalam adzan." (Shahih Fiqih Sunnah: I/392)
Semoga tulisan ini menjadi sarana meluruskan wacana yang dihembuskan oleh Wakil Presiden, -bukan ulama namun berbicara tentang syariat ibadah- tentang anjuran agar adzan tidak terlalu keras, sebaliknya adzan lebih baik dikumandangkan dengan sayup-sayup. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!