Jum'at, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 5 September 2014 06:15 wib
20.289 views
Tidak Boleh Safar Hari Jumat?
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Hari Jum’at memiliki keutamaan yang tidak dimiliki hari lain. Kedudukannya di bandingkan dengan hari lain, seperti bulan Ramadhan terhadap bulan yang lain dan waktu ijabah doa pada hari itu sebagaimana Lailatul Qadar pada bulan Ramadlan.
Hari Jum’at menjadi cermin bagi kualitas amal sepekan seorang hamba, sebagaimana Ramadlan yang menjadi cerminan amal setahunnya. Jika amalnya pada hari Jum’at tersebut baik, seolah-olah menggambarkan amalnya pada pekan tersebut juga baik. Sebagimana Ramadhan, jika ibadah di dalamnya baik, baik pula amalnya pada tahun tersebut, begitu juga sebaliknya.
Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat ibadah yang wajib dan sunnah yang tak diperoleh di selainnya. Di antaranya shalat Jum’at, bersuci dan memakai wewangian dan pakaian terbagus yang dimiliki ketika menghadiri jum’atan, membaca surat Al Kahfi, bershalawat untuk Rasulullah, dan amal-amal shalih lainnya.
Karenanya, seorang hamba hendaknya menjadikan hari Jum’at sebagai hari ibadah dan menjadikannya sebagai hari libur agar lebih maksimal memanfaatkan kesempatan emas yang Allah anugerahkan di dalamnya dan menggapai keutamaan-keutamaan yang besar. Bukan malah hari Ahad yang menjadi hari ibadah orang Nashrani.
Tidak Boleh Bersafar di Hari Jum’at?
Dijadikannya hari Jum’at sebagai hari ibadah bukan berarti seorang muslim tidak boleh melakukan safar pada hari Jum’at. Apalagi jika ada maslahat dan kepentingan yang mendesak. Safar pada hari Jum’at tetap dibolehkan –sebagaimana hukum asalnya-, walaupun menjelang zawal (matahari tergelincir) sekitar jam 11.00 WIB. Namun juka sudah zawal dan dikumandangkan adzan Jum’at (adzan saat imam naik mimbar) seorang muqim tidak boleh berangkat bersafar.
Abdurrazaq Rahimahullah meriwayatkan dalam Mushannafnya, dari al-Aswad bin Qais, dari bapaknya, ia berkata: Umar pernah melihat seseorang yang membawa perlengkapan safar. Lalu ada seseorang yang berkata: hari ini adalah hari Jum’at, kalau bukan karena itu pasti aku sudah keluar bersafar. Kemudian Umar menyahut:
إن الجمعة لا تحبس مسافرا
“Sesungguhnya hari Jum’at tidak menghalangi musafir (melakukan safar,-pent),“ (HR. al-Baihaqi)
Dari Shalih bin Kaisan, Abu Ubaidah keluar dalam sebagian safar pada hari Jumat dan beliau tidak menunggu shalat Jum’at. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Qudamah berkata: yang paling benar adalah bolehnya secara mutlak, karena kondisi asalnya terbebas dari Jum’at, potensi wajibnya jum’atan atas dirinya tidak menghalanginya sebagaimana sebelum datang harinya.
Al-Syaukani berkata: Para ulama berbeda penapat tentang bolehnya bersafar pada hari Jum’at sejak terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari dalam 5 pendapat:
Pertama, boleh. Ini pendapat al-Iraqi dan mayoritas ulama. Dari kalangan sahabat ada Umar bin al-hathab, al-Zubair bin al-‘Awwam, Abu Ubaidah bin al-Jarah, dan Ibnu Umar. Dari kalangan Tabi’in ada al-Hasan dan Ibnu Sirin, dan al-Zuhri. Sedangkan dari kalangan para imam ada Abu Hanifah, Malik dan satu riwayat yang masyhur darinya, al-Auza’i, Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat yang masyhur darinya, Qaul qadim (pendapat lama) imam al-Syafi’i. Ibnu Qudamah menyebtukannya dari pendapat mayoritas ahli ilmu. Kemudian beliau menyebutkan pendapat yang lainnya.
Adapun saat sudah masuk waktu Jum’at dengan dikumandangkannya adzan kedua (adzan saat imam naik mimbar) maka ia wajib mendatangi shalat Jum’at selama dia masih di tempat tinggalnya (muqim), ia tidak boleh berangkat safar saat itu.
Ringkasnya: Jika perjalanan safar dimulai menjelang Jum’atan, tepatnya setelah tergelincirnya matahari atau ketika adzan Jumat sudah dikumandangkan, maka melakukan safar saat itu hukumnya haram. Ia harus ikut shalat Jum’at di tempat tinggalnya itu. Ini yang pertama.
Kedua, berangkat safar dimulai sebelum masuk waktu Jum’atan. Menurut pendapat lebih kuat, dibolehkan. Hukum asal safar adalah mubah, sementara tidak ada dalil shahih yang menunjukkan adanya larangan untuk melakukan safar di hari tertentu. Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
* Kirimkan artikel dakwah terbaik Anda ke badrutamam@voa-islam.com.
* Konsultasi Syariah: badrutamam@voa-islam.com atau 087781227881 (WA/SMS)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!