BANDA ACEH (voa-islam.com) - Banda Aceh secara resmi memberlakukan hukum pidana syariah atau qanun jinayat. Cita-cita Muslim Aceh sudah sejak sebelum merdeka. Bahkan, lahirnya GAM yang dipimpin Daud Beurreuh, dan menentang Republik ini, tak lain keinginan Muslim di Aceh ingin hidup di bawah naungan Syariah Islam.
Sesudah Soeharto lengser, dan lahir Orde Reformasi di bawah Presiden BJ Habibi, mulailah kehidupan baru di Aceh. Diakhirinya operasi DOM (Daerah Operasi Milier) di Aceh, dan perundingan rekonsiliasi dengan GAM di Wina. Sampai akhirnya persetujuan damai, dan terwujud rekonsiliasi dengan pemerintah Indonesia. Kemudian, lahirnya UU Otonomi Khusus bagi Aceh. Inilah asal muasal lahirnya Qanun Jinayat.
Sekarang pemerntah Aceh telah resmi memberlakukan hukum pidana syariah atau qanun jinayat, menurut pejabat pemerintah lokal akhir pekan lalu, yang mempidanakan perzinahan, homoseksualitas dan ekspresi kasih sayang di depan publik di luar pernikahan.
Aturan hukum Islam di di Aceh menyebutkan bahwa siapa pun yang tertangkap basah melakukan hubungan seks homoseksual akan menghadapi 100 hukuman cambuk, denda sampai 1 kilogram emas dan penjara sampai 100 bulan. Pelaku perzinahan juga akan dihukum cambuk 100 kali, tapi tidak dihukum denda atau penjara.
Aturan baru ini juga menghukum yang berat bagi pemerkosaan dan pelecehan seksual. Mereka yang bersalah akan dihukum cambuk 40 kali atau lebih.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pemberlakuan Syariah Islam atau Qanun Jinayat. Ini menjadi payung untuk pemberlakuan Syariah Islam," ujar Syahrizal Abbas, kepala departemen hukum syariah pada pemerintahan Aceh.
"Mereka yang non-Muslim dapat memilih apakah akan dihukum berdasarkan syariah atau undang-undang pidana Indonesia yang biasa," tambahnya. Warga non-Muslim di Aceh mencakup sekitar 1 persen dari jumlah penduduk keseluruhan.
Aturan pidana nasional tidak mengatur homoseksualitas dan pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengatur undang-undang daerah. Namun, berdasarkan Syariah Islam akan menghukum pelaku perzinahan dengan hukuman rajam sampai mati,dihapuskan karena tekanan dari pemerintah pusat.
Dibagian lain, kelompok-kelompok HAM memperingatkan bahwa Syariah Islam yang baru itu dapat menghukum terhadap para pelaku kejahatan seks dan homoseksual dan bisa menciptakan pelanggaran HAM. "Menghukum siapa pun yang melakukan hubungan seks secara suka sama suka dengan hukuman cambuk 100 kali adalah sesuatu yang tercela," ujar Josef Benedict, direktur kampanye Amnesty International untuk Asia Tenggara, dalam sebuah pernyataan.
"Ini pelanggaran HAM secara menyolok dan harus segera dicabut."
Aceh diberi otonomi khusus tahun 2005 sebagai bagian dari persetujuan dengan pemerintah pusat untuk mengakhiri kekerasan separatis selama puluhan tahun, dan kemudian dapat memberlakukan aturan syariah.
Awal tahun ini, sebuah kabupaten di Aceh memberlakukan peraturan daerah yang mewajibkan sekolah-sekolah untuk memisahkan murid laki-laki dan perempuan, dan daerah lainnya melarang perempuan membonceng sepeda motor dengan duduk mengangkang.
Kalangan liberal dan sekuler dengan kedok HAM akan terus menentang sampai kapanpun, karena mereka mempunyai misi menghancurkan setiap Muslim dengan kedok HAM dan kebebasan, sehingga Umat Islam tidak dibolehkan hidup sesuai dengan Syariah.
Sehingga, di mana-mana terjadi kekacauan dan kejahatan dengan berbagia bentuk yang sangat menghancurkan Muslim. Seperti sekarang terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Melakukan zinah sudah seperti makan dan minum. (sasa/dbs/voa-islam.com)