WINA (voa-islam.com) - Sikap Arab Saudi secara tegas mengatakan bahwa Iran harus menerima bahwa penurunan Presiden Bashar al-Assad sebagai bagian dari setiap jalan ke luar dalam konflik di Suriah, tegasnya.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, menyampaikan komentarnya menjelang pertemuan menteri luar negeri untuk membahas konflik Suriah di Wina, Austria, yang akan digelar Jumat 29 Oktober.
Al-Jubeir menjelaskan tidak diragukan lagi al-Assad harus pergi. "Dia akan pergi, baik melalui proses politik atau dia akan disingkirkan lewat kekuatan", tambahnya.
Untuk pertamakalinya Iran akan ikut dlam perundingan tentang konflik Suriah yang juga akan dihadiri oleh Rusia dan Turki. Iran dan Rusia merupakan pendukung Presiden al-Assad, dan belakangan ini meningkatkan peran militernya dalam konflik tersebut.
Rusia yang melancarkan serangan udara besar-besaran ke posisi-posisi kelompok pejuang oposisi, dann dilanjutkan serangn darat membebaskan wilayah-wilayah Suriah yang sudah jatuh ke tangan oposisi, ternyata gagal. Sementara itu, Barat menuduh Rusia menyerang posisi-posisi kelompok oposisi moderat.
Sedangkan Iran dilaporkan mengerahkan pasukan daratnya walau Teheran menegaskan kehadiran mereka sebagai penasehat militer. Di pihak lain, Amerika Serikat bersama Turki, Arab Saudi, dan beberapa negara Teluk lainnya bersikeras bahwa al-Assad harus pergi dari kekuasaannya, dan tidak bisa terus dipertahankan di negara Suriah.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, mengatakan ingin meningkatkan upaya diplomatik guna mengakhiri "neraka" perang di Suriah. PBB memperkirakan jumlah korban jiwa mencapai 500.000 lebih sejak maraknya konflik Suriah, Maret 2011 lalu.
Pertemuan di Wina antara lain juga akan dihadiri oleh menteri luar negeri Inggris, Prancis, Jerman, Mesir, Lebanon, dan Uni Eropa.
Negara-negara Barat dan Rusia serta sejumlah negara Teluk gagal memenangkan perang melawan Mujahidin yang ingin membebaskan Surirah dari Bashar al-Assad, dan sekarang mencari solusi atas konflik di Suriah melalui politik di Wina. Skenario ini muncul, akibat adanya dampak peang yang begitu mengerikan, dan munculnya gelombang pengungsi "refugees" yagn membanjiri Uni Eropa.
Dalam waktu bersamaan di kawasan Timur Tengah lainnya, di Palestina terjadi kekerasan yang sangat dahsyat, perlawanan rakyat Palestina melawan Zionis-Israel, melalui gerakan Intifadah. Semua situasi di Timur Tengah, yang disebut "Billadus-Syam" terjadi pergolakan dan mengarah kepada kekacauan global.
Barat, Rusia, Zionis-Israel, yang menjadi pemain "inti" di dalam konflik di Timur Tengah, dan tidak ingin terjadi perubahanan yang mengancam masa depan negeri Zionis. John Kerry yang menjadi angota Ilumanti menjadi "pemain tunggal" dalam perundingan Wina, yang tetap berjuang keras guna melindungi kepentingan Zionis, terkait dengan masa depan keamanan nengeri Yahudi itu.
Kemanan bagi negeri Zionis menjadi sangat mutlak bagi Amerika. Amerika memiliki komitmen menjamin keamanan bagi Zionis. Setiap perubahan harus menjadi keamanan Zionis. Tidak mungkin dibiarkan Suriah akan jatuh ke tangan Mujahidin. Karena ini menjadi 'mimp buruk" bagi Zionis-Israel. Israel-Suriah berbatasan langsung. Jika Suriah jatuh ke tangan Mujahidin hanya tinggal selangkah ke Israel. (mashadi/voa-islam.com)