Rabu, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 17 Juni 2015 16:10 wib
13.800 views
Mengapa Hamas Mampu Bertahan di Gaza?
JAKARTA (voa-islam.com)- Setelah berhasil menyingkirkan faksi sekuler PLO, al Fatah, dalam pertempuran mati-matian di Jalur Gaza (2007), sampai sekarang Harakah al Muqawwamah al Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam) atau Hamas ternyata tetap mampu bertahan dan berkuasa di Gaza. Padahal sudah tiga kali militer Zionis Israel melakukaan serbuan besar-besaran untuk melikuidasi kekuasaan sekaligus menghancurkan Hamas di Gaza.
Ribuan korban jiwa rakyat sipil Palestina terjadi dalam serangan brutal militer Zionis Israel tahun 2009, 2012 dan 2014 lalu. Invasi militer tahun 2009 dbawah perintah PM Ehud Olmet, sedangkan invasi militer tahun 2012 dan 2014 dibawah perintah PM Benjamin Netanyahu yang masih berkuasa hingga sekarang. Semua pemimpin Israel sejak PM David Ben Gourion hingga PM Benjamin Netanyahu dikenal sebagai ‘drakula’ bagi rakyat Palestina.
Boleh dikatakan Gaza yang merupakan jalur sempit di tepi Laut Mediterania dengan panjang 30 km dan lebar antara 4-7 km dengan jumlah penduduk mencapai 1,5 juta orang, adalah tempat terpadat di dunia. Sejak Hamas berkuasa tahun 2007, Gaza telah mengalami blokade Israel yang dibantu rezim militer Mesir dibawah Housni Mubarak dan Abdul Fatah al Sisi, sehingga seperti penjara terbesar di dunia. Rakyat Gaza hanya bisa bernafas lega selama setahun pemerintahan Presiden Muhammad Mursi (2012-2013).
Ideologi Hamas
Hamas didirikan pada 14 Desember 1987 di Jalur Gaza oleh tujuh orang tokoh Islam Palestina yakni Syekh Ahmad Yasin, Dr Ibrahim al Bazuri, Muhammad Syam’ah (perwakilan di kota Gaza), Abdul Fatah Dakhon (Perwakilan Wilayah Tengah), Dr Abdul Aziz ar Rantisi (Perwakilan Khan Yunus), Isa an Nasyar (perwakilan kota Rafah), Shalah Syahadah (Perwakilan Wilayah Utara).
Namun sebagai sebuah gerakan (harokah), cikal bakal Hamas jauh sebelumnya sudah ada yakni Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) yang didirikan Syekh Hasan al Banna di Mesir (1928). Syekh Ahmad Yasin sebagai Bapak Hamas sewaktu muda pernah menjadi gerilyawan Ikhwanul Muslimin bertempur melawan pasukan Zionis Israel di Palestina ketika perang Arab vs Israel pertama tahun 1948, yang kemudian diikuti dengan perang 1956, 1967 dan 1973. Dari empat kali perang, hampir semuanya dimenangkan Israel kecuali perang 1973 dimana tidak ada pemenangnya. Akhirnya Syekh Ahmad Yasin sadar generasi muda Palestina harus dikembalikan kepada Islam dari sekulerisme.
Sebab pasukan Zionis Israel selama ini selalu menggunakan dalih ideologi Yahudi melalui Kitab Suci Talmud (bukan Taurat) sebagai dasar pendudukannya atas tanah suci Palestina, sehingga generasi muda Palestina perlu ditanamkan ideologi Islam yang mendalam untuk menentang pendudukan illegal atas tanah suci Palestina. Sebab kaum Yahudi sudah tercerabut dari tanah suci Palestina sejak 2000 tahun lalu ketika diusir Kaisar Nero dari Romawi dan menjadi bangsa diaspora di seluruh dunia, sementara bangsa Arab Palestina sudah mendiaminya sejak ribuan tahun sebelumnya.
Memang semula pemerintahan Israel meremehkan Hamas bahkan menganggapnya menguntungkan strateginya untuk menandingi pemerintahan Fatah dibawah Ketua PLO Yasser Arafat dan penggantinya Presiden Mahmud Abbas. Namun setelah Hamas sukses menggerakkan Intifadhah (gelombang perlawanan) pertama pada 1987, rezim Zionis baru menyadari ternyata Hamas yang Islamis jauh lebih berbahaya daripada PLO dan Fatah yang sekuler. Apalagi AD-ART Hamas tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel, sementara Fatah mengakuinya melalui Perjanjian Oslo (1994) yang ditandatanggani Ketua PLO Yaser Arafat dan PM Israel Yitzak Rabin.
Kebangkitan Hamas melalui Intifadhah pertama membuat panik pemimpin Zionis Israel sehingga pada 1988 mereka melakukan banyak penangkapan dan pengusiran tidak terkecuali para pemimpin Hamas, termasuk penangkapan Syekh Ahmad Yasin yang buta (1989). Sedangkan pada 1992, sebanyak 200 pemimpin Hamas diasingkan Israel di tanah tak bertuan di Lebanon Selatan hingga menimbulkan simpati dunia. Setelah Intifadhah kedua meletus (2000), Israel semakin menggencarkan tekanannya terhadap Hamas yang kemudian disusul dengan pembunuhan secara keji terhadap Syekh Ahmad Yassin dan Dr Abdul Aziz ar Rantisi (2003) serta Shalah Syahadah beserta seluruh anggota keluarganya (2005).
Berbagai penangkapan dan penyiksaan para pemimpin Hamas terus dilakukan, namun itu semua tidak menghentikan regenerasi kepemimpinan dalam tubuh Hamas. Terbukti penangkapan yang dilakukan Zionis itu tidak berpengaruh apa-apa apalagi menghentikan gerakan bahkan semakin memperkuat Hamas dan semakin mendapat simpati rakyat palestina. Disamping itu Hamas selalu menggunakan masjid dalam membangkitkan kesadaran dan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Zionis, dimana dikenal dengan Tsaurotul Masjid (Revolusi Masjid). Maka tidaklah mengherankan jika Israel menjadikan masjid sebagai sasaran penghancuran dalam tiga kali invasi militer ke Gaza.
Pasalnya, Hamas merupakan sebuah gerakan jihad, dakwah dan politik yang menggunakan masjid dan kampus sebagai medan untuk mendidik kader Islam militan penentang pendudukan illegal Zionis Israel ataas Tanah Suci Palestina yang didalamnya terdapat Masjid al Aqsha. Tujuan akhir Hamas adalah merebut kembali seluruh tanah suci Palestina dari pendudukan Zionis Israel dan mendirikan Daulah Islamiyah di Palestina, sebagaimana disebutkan dalam manifestasi gerakan Hamas “Demi mengembalikan hak-hak kami di negara kami dan meninggikan panji Allah di bumi”.
Mengapa Mampu Bertahan ?
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Hamas mampu bertahan sekaligus tetap berkuasa di Gaza meski mengalami invasi militer berskala besar dan blokade mematikan dari Israel yang dibantu rezim militer Mesir yang dike nal sebagai boneka Israel dan AS. Padahal secara logika militer, seharusnya Hamas sudah habis dan tinggal menjadi catatan dalam buku sejarah Timur Tengah.
Pertama, sebagai gerakan perlawanan Islam terhadap pendudukan Zionis Israel, Hamas berideologi Islam. Ruhul Islam dan ruhul jihad inilah yang selalu berkobar pada setiap dada 25.000 pasukan Hamas yang dikenal sebagai Brigade Izzuddin al Qassam. Ribuan pasukan al Qassam yang dibantu 5.000 pasukan Jihad Islam telah berjasa mempertahankan Gaza dari invasi militer Zionis Israel.
Dalam setiap pertempuram, para pejuang Hamas dan Jihad Islam haram mengibarkan bendera putih. Mereka lebih senang gugur sebagai syuhada dengan mendapatkan jannah (surga) daripara hidup terhina karena menyerah kepada pasukan pendudukan Yahudi Zionis Israel. Keimanan dan Ketaqwaan mereka kepada Allah Swt memang luar biasa.
Kedua, dukungan moril dan materiil dari umat manusia seluruh dunia yang cinta damai terhadap perjuangan Hamas, sehingga menaikkan moral mereka. Memang dalam perang mereka kalah persenjataan, tetapi mereka memenangkan perang dalam bentuk lain seperti perang informasi, opini, dan media massa dunia.
Ketiga, pembangunan ratusan terowongan sepanjang perbatasan Mesir-Gaza untuk menghindari blokade Israel, ternyata mampu menghidupkan perekonomian Gaza. Untungnya para penjaga perbatasan Mesir di Rafah dikenal sebagai tentara korup, sehingga mereka bisa dibeli untuk meloloskan barang selundupan melalui terowongan di perbatasan Gaza-Rafah.
Keempat, regenerasi para pemimpin Hamas berjalan lancar tanpa gejolak politik. Pasca kematian Syekh Ahmad Yasin (2003) karena dibunuh Israel, kendali kepemimpinan Hamas dipegang Dr Abdul Aziz al Rantisi. Tidak berapa lama kemudian, Abdul Aziz al Rantisi juga dibunuh Israel (2003), sehingga kendali kepemimpinan Hamas dipegang PM Ismail Haniyah untuk dalam negeri (Gaza) dan Khaled Misyal untuk luar negeri (Qatar). Keduanya dikenal sebagai kader militan Syekh Ahmad Yasin. (*) (Abdul Halim/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!