1. Fanpage dibuat 14 Agustus 2014 dan kini sudah dihapus
Keanehan pertama, fanpage Facebook “We Are All Islamic State” baru dibuat pada Kamis, 14 Agustus 2014. Pada Jum’at, 15 Agustus 2014, fan page yang kini disukai 750 facebooker itu mengunggah status yang menyatakan Candi Borobudur akan dihancurkan oleh Mujahidin Khilafah Islamiyah. Anehnya, ia langsung diberitakan oleh Tribunnews dan Yahoo hari itu juga. Dan hari ini diberitakan oleh Sindonews.Laman itu pun menjadi cepat populer setelah diberitakan ketiga media tersebut. Lebih dari 7000 facebooker menyebarkan berita “Rencana ISIS Menghancurkan Candi Borobudur Beredar di Media Sosial” di Tribunnews. Jadilah isu itu menyebar cepat di media sosial, termasuk juga Twitter dan Kaskus. Bahkan, ada pula informasi bahwa isu dari fan page itu telah masuk ke media cetak pagi tadi.
Mengapa laman Facebook yang baru berumur puluhan jam dijadikan sumber berita dan bagaimana media-media itu menemukannya dengan cepat? Mempertimbangkan kredibilitas sumber berita dan faktor lainnya, bukankah ini janggal? seperti dilansir beritapopuler.com.
2. Mencatut Arrahmah.com
Dalam status “Inshaa Allah, akan di hancurkan oleh Mujahidin Khilafah Islamiyah !!!” bergambar Candi Borobudur itu, fan page “We Are All Islamic State” menyertakan artikel yang dirilis oleh Arrahmah.com pada Jum’at (14/8/2014) pagi. Tidak tahukah admin fan page bahwa Arrahmah adalah media yang gencar menolak ISIS?3. Mencatut tulisan buku Ustadz Hartono Ahmad Jaiz yang dicetak 2007 silam
Artikel tentang haramnya patung yang disertakan fan page “We Are All Islamic State” dalam status tersebut adalah tulisan Hartono Ahmad Jaiz.Ustadz menyatakan bahwa status yang diunggah itu adalah berasal dari tulisan lama yang ditulis dan telah dicetak pada 2007 silam, diambil dari buku yang ditulisnya sendiri pada tahun 2007 berjudul Nabi-nabi palsu dan Para Penyesat Umat, yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar.
4. ISIS, pengalihan isu atau mendiskreditkan Islam dan jargon Khilafah Islamiyah
Isu ISIS terus digoreng dan terkesan dibesar-besarkan oleh sejumlah media dan pihak-pihak tertentu. Isu ISIS terbukti mampu mendominasi pemberitaan melebihi isu tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di Gaza dan isu kecurangan Pilpres. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) TNI Djoko Santoso termasuk salah satu pihak yang mencurigai isu ISIS adalah bagian dari pengalihan isu.Selain itu, isu ISIS juga dicurigai sebagai alat untuk mendiskreditkan Islam, terutama yang menghendaki penerapan Islam secara kaffah. Dengan gencarnya pemberitaan ISIS, Islam bisa diidentikkan dengan kekerasan dan simbol-simbol Islam bisa diidentikkan dengan terorisme.
Seperti ditulisa Voa-Islam sebelumnya, Hanibal Wijayanta dalam diskusi Dewan Pers, Wartawan Utama dan Produser Eksekutif Liputan ANTV ini telah meliput penanganan kasus terorisme yang berbeda-beda, yakni sebelum Bom Bali I, setelah Bom Bali I Hingga Bom Marriott II, dan setelah Bom Marriott II.
"Sebagai informasi tambahan yang penting dan detail tentang beberapa kasus penanggulangan terorisme oleh polisi dan BNPT dari aparat lain --intelejen, militer, kejaksaan, maupun dari kepolisian sendiri-- dari sudut pandang mereka, juga saya paparkan sedikit, dengan maksud bahwa sebenarnya masalah terorisme juga ada dalam pantauan institusi lain." ungkap Hanibal.
Hanibal memaparkan juga bahwa "dari sepak terjang aparat kepolisian itu sebenarnya beberapa jenderal, agen utama intelijen, maupun perwira menengah yang selalu saya mintai pendapat setiap ada kasus, juga menemukan beberapa petunjuk bahwa beberapa kasus penanganan terorisme telah ditangani secara tidak pas."
Saya juga mengungkapkan perilaku kebanyakan wartawan kita yang tidak kritis, tidak curious terhadap informasi tunggal yang diberikan aparat.
Hanibal mengungkapkan "perilaku kebanyakan wartawan kita yang tidak kritis, tidak curious terhadap informasi tunggal yang diberikan aparat. Banyak pula wartawan yang malas riset, malas mengamati perilaku aparat, saksi, maupun saksi abal-abal. Kecenderungan wartawan yang tidak pernah membaca latar belakang besar di balik berbagai kasus terorisme juga saya singgung. Adanya praktek "embedded journalism" yang dilakukan oleh dua televisi berita juga saya ungkap, dan saya ceritakan juga kelucuan yang sering terjadi. Sayang kawan dari salah satu televisi berita kemudian meninggalkan arena diskusi, sementara kawan dari TV satunya memilih duduk manis sambil senyam-senyum saja sampai akhir acara."
Hanibal kembali mengungkapkan "bahwa karena berbagai kejanggalan yang kasat mata itu, sebenarnya sebagian wartawan yang kritis mulai faham dan kemudian merasa malas untuk meliput kasus terorisme. Apalagi mereka juga menemukan pola-pola ciduk-pelihara-sikat dan bobok celengan yang semakin jelas dalam kasus-kasus terakhir. Malangnya, para korban seperti Pak Tony ikut kena dampak. Mereka jadi seolah dilupakan sama sekali."
Sebagai closing statement, "Saya juga ungkapkan bahwa banyak pejabat, bekas pejabat dan aparat militer maupun polisi yang telah mendukung saya untuk membukukan berbagai pengalaman liputan kami, tapi hingga kini saya belum sempat untuk merangkum semua kisah itu. Yang jelas, saya ingin negeri ini menjadi semakin baik, saya tak ingin kita panen bom terus-terusan sebagaimana terjadi sejak tahun 2000-an hingga awal tahun 2014, sementara para pelaku/so called terroris sesungguhnya hanya bagian dari korban permainan yang lebih rumit lagi."
Lagi-lagi mudahnya konspirasi jaringan media sekuler mendeskreditkan umat Islam, dosa atas fitnah pada Ustadz Hartono Ahmad Jaiz ini akan tercatat sebagai sejarah bahwa ketimpangan media sekuler pada umat Islam terus dipelihara.