Senin, 24 Jumadil Akhir 1447 H / 15 Desember 2025 11:42 wib
174 views
Ketika Infak Jum'at Menjadi Energi Kemanusiaan
Esai: A M Iqbal Parewangi
Bagaimana jika selembar uang Rp10 ribu—yang sering kita sisihkan tanpa berpikir panjang—berubah menjadi energi kolektif yang mampu menolong ratusan ribu korban bencana?
Pertanyaan ini menemukan jawabannya dalam kebijakan ‘gerakan nasional infak Jum’at untuk korban bencana’ yang digagas Muhammadiyah di tengah bencana air bah dan longsor yang kini melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Menariknya, Muhammadiyah tidak sebatas menggalang dana. Ia mengorkestrasi tiga wajah kemanusiaan sekaligus: kekuatan aritmetika kebaikan, gerakan sosial yang terstruktur dan masif, serta edukasi nilai fastabiqul khairat secara berjamaah.
Instruksi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, untuk mengalihkan infak Jum’at di seluruh masjid persyarikatan, amal usaha, dan jaringan takmir Muhammadiyah selama tiga pekan—12, 19, dan 26 Desember 2025—menunjukkan respons yang tenang namun strategis. Tenang karena tidak meledak-ledak, strategis karena memanfaatkan ekosistem organisasi yang telah mapan.
Ditambah lagi pelaksanaannya dikoordinasikan melalui Lazismu dan lembaga resiliensi bencana MDMC, dua entitas yang telah lama menjadi tulang punggung filantropi dan kebencanaan Muhammadiyah. Di sini, kebijakan bukan sekadar seruan moral, melainkan desain operasional yang siap jalan.
Ekosistem Muhammadiyah & Edukasi Nilai
Dari sudut pandang sains sosial dan ekonomi, kebijakan ini menarik karena menautkan moralitas dengan aritmetika kebaikan.
Data internal persyarikatan menunjukkan sekitar 12 ribu masjid Muhammadiyah tersebar di seluruh Indonesia. Dengan asumsi konservatif—rata-rata 100 jamaah Jum’at per masjid dan infak Rp10 ribu per orang—maka satu kali Jum’at saja berpotensi menghimpun sekitar Rp12 miliar. Dikalikan tiga Jum’at, angka itu menjadi Rp36 miliar. Ini baru dari jamaah masjid.
Ketika jaringan pendidikan Muhammadiyah dan Aisyiyah ikut bergerak—172 perguruan tinggi dengan sekitar 618 ribu mahasiswa, 5.345 sekolah dan 440 pesantren dengan total lebih dari 1 juta murid dan santri—potensi bertambah sekitar Rp11,5 miliar per Jum’at. Tiga Jum’at menghasilkan sekitar Rp34,5 miliar. Ditambah kontribusi dari 122 rumah sakit dan 231 klinik Muhammadiyah dan Aisyiyah, total potensi nasionalnya bisa menembus Rp70 miliar atau lebih.
Angka-angka tersebut bukan retorika. Ia lahir dari asumsi moderat yang justru menunjukkan betapa kuatnya daya ungkit filantropi berbasis jamaah. Itu pun belum termasuk potensi eksklusif yang lebih besar, yaitu jika 60 juta lebih anggota Muhammadiyah dioptimalkan infaknya untuk bantuan bencana.
Lebih jauh, esensi gerakan infak Jum’at ini tidak berhenti pada potensi Rp70 miliar atau lebih itu. Karena tanpa harus menunggu untuk menghimpun donasi publik pun, sejatinya, Muhammadiyah mampu menyumbang dana besar dari kas persyarikatan.
Sebagai ormas keagamaan terkaya keempat di dunia kini—bahkan yang terkaya di antara ormas Islam—Muhammadiyah memiliki aset sekitar USD 27,96 miliar atau setara Rp454,2 triliun, dengan lebih dari 20 ribu aset wakaf dan 241 juta meter persegi tanah. Fakta ini tercatat dalam berbagai kajian filantropi global, termasuk dalam kompilasi data Seasia Stats.
Dengan kekayaan seperti itu, ditambah likuiditas mencapai puluhan triliun rupiah, menarik bahwa Muhammadiyah justru memilih mengajak warga untuk ikut memberi bantuan, bukan sekadar menerima laporan donasi. Di sinilah wajah ketiga kemanusiaan itu tampak jelas: edukasi nilai.
Muhammadiyah mengedukasi jamaah untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan. “Mari kita fastabiqul khairat mengeluarkan dana infak tersebut seoptimal mungkin,” seru Haedar Nashir. “Karena itulah yang dapat kita lakukan sebagai bagian dari dan wujud persaudaraan kita terhadap saudara-saudara yang tertimpa dan terdampak musibah banjir, tanah longsor, dan lain-lain di berbagai daerah. Khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.”

Filantropi Terstruktur di Negeri Rawan Bencana
Fastabiqul khairat—berlomba-lomba dalam kebaikan—dalam gerakan infak Jum’at ini bukan slogan kosong. Ia dihadirkan sebagai pengalaman sosial yang berulang dan kolektif. Setidaknya pada tiga kali Jum’at terakhir 2025, jamaah diingatkan bahwa bencana bukan berita jauh di layar gawai, melainkan ujian empati yang menuntut respons nyata.
Dalam perspektif sosiologi agama, praktik berulang seperti ini membangun habitus moral—kebiasaan memberi yang tertanam dalam kesadaran kolektif (Bourdieu, The Logic of Practice, 1990). Muhammadiyah, dengan jaringan masjid, sekolah, kampus, klinik, dan rumah sakitnya, mempraktikkan pendidikan karakter lintas generasi: dari murid yang menyisihkan Rp5 ribu hingga mahasiswa dan tenaga medis yang memberi lebih.
Gerakan ini juga relevan dalam konteks kebencanaan Indonesia yang kian intens. Data BNPB menunjukkan bahwa bencana hidrometeorologi—banjir, longsor, cuaca ekstrem—menyumbang lebih dari 90 persen kejadian bencana tahunan dalam satu dekade terakhir. Perubahan iklim memperparah pola hujan ekstrem, sementara perusakan hutan dan lingkungan memperbesar risiko. Di tengah keterbatasan anggaran negara dan kompleksitas birokrasi, filantropi terorganisir seperti infak Jum’at ini menjadi penting bagi respons kemanusiaan (IFRC, World Disasters Report, 2020).
Keunggulan lain dari gerakan infak Jum’at Muhammadiyah adalah tata kelola. Lazismu dan MDMC bukan lembaga dadakan. Keduanya memiliki rekam jejak dalam penyaluran bantuan, transparansi, dan akuntabilitas. Ini penting, karena kepercayaan publik adalah mata uang utama filantropi. Studi tentang filantropi Islam menunjukkan bahwa kejelasan mekanisme dan kedekatan dengan penerima manfaat meningkatkan partisipasi dan keberlanjutan donasi (Obaidullah and Shirazi, Islamic Social Finance, 2015).
Dengan seruan berulang dan kolektif, disertai tata kelola yang rapi, infak Jum’at yang terkumpul tidak hanya cepat, tetapi juga tepat sasaran.
Dari Kotak Infak ke Ketahanan Sosial Bangsa
Gerakan infak Jum’at ini memberi pesan etis yang halus namun kuat di tengah kegaduhan publik tentang siapa yang paling peduli saat bencana.
Tanpa perlu menyebut atau menegur pihak lain, Muhammadiyah menunjukkan bahwa kepedulian bisa dijalankan secara sistemik, sunyi, dan berdampak. Ia tidak menunggu status bencana nasional atau sorotan kamera. Ia bekerja dari bawah, dari mimbar Jum’at, dari kotak infak yang mungkin tampak sederhana tetapi sesungguhnya menyimpan kekuatan besar.
Di sini, spiritualitas bertemu rasionalitas. Dalam tradisi Islam, memberi bukan sekadar transfer harta, melainkan penyucian diri dan pengikat persaudaraan. Dalam bahasa ekonomi modern, ia adalah redistribusi sumber daya untuk mengurangi penderitaan. Muhammadiyah berhasil menjembatani keduanya. Infak Jum’at menjadi ritus yang memanusiakan angka, dan angka yang memuliakan ritus.
Pada akhirnya, gerakan infak Jum’at nasional Muhammadiyah memperlihatkan bahwa filantropi tidak harus menunggu kelimpahan. Ia cukup dimulai dari kesediaan berbagi yang konsisten. Sekitar Rp70 miliar mungkin tampak kecil dibanding kerugian bencana yang mencapai triliunan, tetapi dampaknya nyata: dapur umum yang menyala, obat yang tersedia, tenda yang berdiri, dan—yang tak kalah penting—harapan yang hidup.
Bagi bangsa yang rawan bencana, inisiatif seperti ini menjadi pelajaran berharga: bahwa ketahanan sosial dibangun dari bawah, dari jamaah yang percaya bahwa kebaikan, jika dilakukan bersama, akan selalu menemukan jalannya.
Dan setiap Jum’at, di sela doa dan sujud, kita diingatkan bahwa kemanusiaan adalah ibadah yang paling dekat dengan kehidupan. [PurWD/voa-islam.com]
(Serambi Madinah, 12 Desember 2025)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!