Senin, 11 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Desember 2014 10:12 wib
8.687 views
Akankah Golkar Bisa Menjadi Kekuatan Oposisi Terhadap Jokowi?
JAKARTA (voa-islam.com) - Jokowi tak bakal mudah bisa menekuk Golkar. Karena Golkar terlalu besar dan kuat. Partai yang lahir di era Orde Baru, dan menjadi pilar kekuasaan Soeharto itu, kekuatannya sudah sangat mengakar. Golkar bukan PPP. Bisa dengan mudah ditekuk oleh Jokowi.
Mengapa Golkar tidak mudah ditekuk oleh Jokowi? Karena, kekuatan Golkar sudah berdiaspora dan bermetamorpose dengan wajah-wajah baru. Partai Nasdem, Hanura, Gerindra, Demokrat, PKPI, dan lainnya, asal muasalnya dari Golkar. Dengan diaspora dan bermetamorpose itu, sejatinya semua kekuatan politik yang ada sekarang, hanyalah ‘copy paste’ dari Golkar.
Dulu, Presiden Abdurrahman Wahid, ingin membubarkan Golkar, tapi bukan Golkar yang bubar, justru Abdurrahman Wahid yang terjungkal dari kekuasaannya. Banyak kiai yang seperti tidak percaya Abdurrahman Wahid jatuh. Abdurrahman Wahid salah berhitung, dan mungkin tidak dapat berhitung, karena ingin membubarkan Golkar, dan tidak memiliki modal.
Abdurrahman Wahid hanya bermodal momentum ‘Reformasi’, di mana rakyat masih sangat benci terhadap segala sesuatu yang berbau Orde Baru. Sekonyong-konyong Abdurrahman Wahid, bersikeras ingin membubarkan Golkar dan DPR.
Namun, Abdurrahman Wahid, yang sangat liberal dan kiri itu, tanpa dukungan tentara, melakukan tindakan ‘maju tak gentar’, ingin membubarkan Golkar, yang menjadi tulang punggung Orde Baru, dan dia bernasib malang, terjungkal dari kekuasaan.
Selama lebih 30 tahun Golkar berkuasa, dan menguasai kekuasaan, bersama dengan militer, dan jaringan birokrasi di Indonesia berada di tangan Golkar. Dari pusat sampai ke daerah. Gurita Golkar ini tidak mudah dieleminir dengan kekuatan apapun. Kecuali dengan sebuah kekuatan yang radikal dan revolusioner.
Rezim baru yang benar-benar jujur dan bersih. Memiliki dukungan sumber daya manusia yang sangat mumpuni ‘profesional’, dan memiliki kematangan ‘ideologis’ yang sangat kokoh, dan berpengalaman mengelola negara, termasuk dalam bidang organisasi.
Jika tidak hanya akan sia-sia belaka. Rezim baru dibawah Jokowi, hanya bisa mengacung-acungkan ‘kartu’, dan kampanye tentang dirinya sebagai manusia ‘jujur, sederhana, merakyat, dan anti korupsi’, belaka, tanpa dukungan para profesional yang jujur dan ideologis.
Jokowi pasti akan mentok dan gagal. Karena tidak memiliki dukungan yang kokoh yang kuat. Apalagi, bila ingin meliwikdasi Golkar, termasuk Koalisi Merah Putih. Ini hanya sebuah mimpin belaka, dan nasibnya akan seperti Abdurrahman Wahid.
Seperti sekarang orang-orang yang diangkat oleh Jokowi menjadi menteri, sebagian diantara mereka, tak lain, yaitu ‘Golkar connection’. Jadi Jokowi yang tidak jujur dan konsisten dengan ucapannya, yang awal kampanye presiden, pemerintahan akan bertumpu dengan tokoh-tokoh profesional, tapi Jokowi tidak memiliki stok ‘SDM’ yang memadai, akhirnya, harus melakukan ‘outshourcing’ dari berbagai kalangan, yang akhirnya ke ‘orang-orang Golkar’ juga.
Melakukan pembaharuan di Indonsia tidak hanya cukup sekadar ide, gagasan, dan visi belaka. Tindakan yang dilakukan harus bersifat konprehensif. Ide, gagaan, visi, misi, konsep, dan lebih-lebih ‘SDM’ yang benar-benar ‘qualifid’, dan dalam skala besar.
Bila ingin menata kembali negara, bukan hanya asal ‘asbun’ (asal bunyi). Jokowi mengeluarkan pernyataan revolusi mental, tanpa didukung konsep yang jelas, dan sumber daya manusia, yang dipersiapkan sejak awal, maka hanya seperti celotahan anak-anak yang tidak memiliki arti apapun.
Bayangkan Jokowi waktu mempersiapkan kabinetnya. Konon, Jokowi dan Tim Transisi sudah menyiapkan 85 orang calon menteri, kemudian diserahkan kepada KPK, tapi separohnya di coret oleh KPK. Separuhnya lagi masih diberi tanda merah dan kuning oleh KPK. Ini hanya menggambarkan Jokowi tidak memiliki daya dukung yang memadai, khususnya dalam mengelola negara.
Sekarang Golkar bersama dengan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, memutuskan melakukan sebuah ekspseriman politik baru, berada di luar pemerintahan.
Ini benar-benar sebuah penyimpangan dan anomali politik bagi Golkar. Karena sepanjang sejarahnya Golkar, tak pernah berlepas dari kekuasaan. Sejak zaman Soeharto, Habibi, dan SBY, Golkar selalu berada ada dalam pemerintahan. Benarkah Golkar akan menjadi lokomotif oposisi atau penyeimbang bagi peerintahan Jokowi?
Karena watak dasarnya Golkar tak bisa lepas dengan kekuasaan, maka usaha-usaha yang sekarang ingin dibangun oleh Aburizal Bakrie bersama dengan partai-partai Koalisi Merah Putih, justru mendapatkan ancaman dari dalam Golkar sendiri.
Sebagian tokoh Golkar yang sudah ‘haus’ dengan kekuasaan, dan sikap Aburizal Bakrie yang ingin menyadi penyeimbang itu, dipandang sangat tidak menguntungkan bagi Golkar. Maka dengan dipelopori oleh Agung Laksono sekarang ini, berusaha mendekati rezim Jokowi, sekalipun sudah terlambat, sembari ingin mendepak Aburizal Bakrie.
Ada yang tidak terlalu diekpose tentang langkah strategis yang ingin dicapai oleh Golkar dibawah Aburizal Bakrie, dan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah, yaitu merevisi lebih 170 undang-undang yang sekarang menjadi sarana oleh fihak asing melakukan ‘take over’ (mengambil alih) negara, secara diam-diam melalui undang-undang yang sudah ada. Inilah yang ingin direvisi dan diubah oleh Golkar dan Koalisi Merah Putih.
Bersamaan dengan itu, Jokowi yang sudah sangat dipuja-puji dan dielu-elukan oleh media sosial dan media massa sejagad, sebagai bentuk kampanya, bahwa Jokowi itu, seperti yang digambarkan oleh Majalah Time sebagai ‘A New Hope’, sekarang mulai memudar, bersamaan hadiah akhir tahun Jokowi berupa kenaikan harga BBM.
Namun, Munas Golkar di Bali, masih tetap menjadi spekulasi politik, dan rezim Jokowi ingin melemahkan Golkar dan menyingkirkan Aburizal Bakri, dan membuat skenario, persis seperti PPP.
Sehingga, tidak adalagi kekuatan oposisi terhadap pemerintahan. Padahal, sebuah pemerintahan yang demokratis itu,tetap memerlukan adanya parlemen yang kuat, dan bisa melakukan kontrol secara efektif.
Kondisi politik yang ada sekarang ini, bila dikelola dengan baik, maka di masa depan akan memunculkan dua kekuatan pollitik, yaitu kekuatan politik yang memerintah dan kekuatan politik yang menjadi oposisi dan mengontrol kekuasaan. Sehingga, kehidupan politik nasional Indonesia akan menjadi lebih sehat.
Tapi, rezim Jokowi kurang suka dengan kehidupan yang lebih demokratis, dan terjadinya sistem check and balances, dan ini akan mengakibatkan rezim baru dibawah Jokowi akan berubah menjadi rezim sipil, yang bercorak tiran.
Lihat bagaimana menangani aksi-aksi demo yang menentang kenaikan BBM, cenderung repressif. Begitulah watak kekuasaaan. Siapapun yang berkuasa cenderung menjadi otoriter. Wallahu’alam.
mashadi1211@gmail.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!