Selasa, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Juni 2015 12:50 wib
28.109 views
Tiga Strategi Perang ISIS Membuat AS dan Sekutu Gagal di Irak dan Suriah
BAGDAD (voa-islam.com) - Terus menjadi perdebatan di kalangan ahli perancang strategi perang, pemikir intelijen, dan para pengambi kebijakan di pusat-pusat kekuasasan, mengapa sampai hari ini ISIS, masih tetap mampu bertahan?
Pertemuan negara-negara industri di KTT G7, yang membahas agenda keamanan global, tak luput ISIS menjadi bahan diskusi dan perdebatan di antara mereka, bagaimana mengakhiri ISIS? Bahkan, G7 mengagendakan pertemuan dengan Perdana Menteri Irak, Haidar al-Abadi, dan secara khusus Presiden Obama bertemu dengan al-Abadi.
Perdana Menteri Irak, al-Abadi sudah pesimis, dan menuduh Barat tidak serius menghadapi dan melawan ISIS. Langkah-langkah yang dijalankan oleh rezim di Bagdad, tak mampu mengalahkan ISIS, justru korban bertambah banyak. Pasukan Irak juga sudah kehilangan moral, berperang.
Setahun setelah Abu Bakar al-Bagdadi medeklarasikan pembentukan kekhalifahan atau Daulah Islamiyah Irak dan Suriah (ISIS), kelompok itu masih tetap kuat. Meski AS dan sekutunya sudah menjatuhkan ribuan kali bom ke posisi-posisi ISIS di Irak dan Suraih.
Tujuan serangan-serangan udara yang dilancarkan ke Irak dan Suriah sejak Agustus 2014 lalu, menurut Presiden AS Barack Obama, adalah “melumpuhkan dan kemudian menghancurkan” ISIS.
Kenyataannya, ISIS malah menunjukkan kemampuannya bertahan yang mengejutkan dan tampil lebih kuat. Sebuah kajian yang menganilis strategi perang ISIS mencoba menjelaskan alasan mengapa ISIS, nampak begitu kokoh dan sangat kuat.
Inti strategi militer ISIS adalah konsep “Bertahan dan Berkembang”, seperti yang diungkapkan dalam majalah mereka, DABIQ, edisi November 2014. Majalah DABIQ dengan sangat jelas memberikan informasi, bagaiman straTegi perang ISIS, ketika menghadapi AS dan sekutunya, yang sekarang berusaha mengakhiri ISIS di Irak dan Suriah.
Dengan mempraktikkan teori itu, ISIS dapat bertahan di wilayah-wilayah yang dianggap menjadi pusat keuatan 'stronghold' mereka di Raqqa di Suriah dan Mosul di Irak.
Bulan lalu, lokasi pertahanan ISIS melebarkan ke Ramadi, ibu kota Provinsi Anbar, serta berhasil menguasai pertahanan rezim Bashar al-Assad kota Palmyra di Suriah. Jatuhnya Ramadi dan Palmyra telah membuat Gedung Putih menjadi terhentak, dan tak mampu lagi berpikir dengan logis, bagaimana ISIS terus berkembang.
Menurut majalah DABIQ, ISIS membangun kekuatannya dengan cara membagi dunia menjadi tiga bagian. Inilah strategi yang digunakan oleh ISIS bukan hanya bertahan menghadapi gempuran udara dan perang darat, tapi ISIS melebarkan pengaruh ke wilayah yang lebih luas.
The Institute for the Study of War (ISW), sebuah lembaga intelijen berpusat Washington DC, mengistilahkan pengotakan itu dengan “tiga lingkaran geografis”.
Lingkaran terdalam ialah di Irak dan al-Sham (Suriah), lingkaran kedua ialah Timur Tengah dan Afrika Utara, dan lingkaran terluar ialah Eropa, Asia dan Amerika Serikat.
Setiap lingkaran harus dikuasai menggunakan tiga strategi militer, yakni perang konvensional, perang gerilya, dan serangan teror. Ketiganya telah digunakan secara efektif di lingkaran terdalam.
Di lingkaran kedua, dampak perang konvensional dan gerilya sudah mulai dirasakan, Contohnya, sejumlah serangan terhadap militer dan kepolisian di Sinai, Mesir, dan penguasaan beberapa kota di Libia, termasuk bekas kantung kekuatan Moamar Khadafi di Sirte.
Sementara itu, para "lone wolves" atau penyerang tunggal telah membawah taktik teror kelingkaran luar, sebagaimana tampak dalam serangan-serangan di Australia, AS dan Kanada. ISIS telah berhasil dengan memanfaatkan padang pasir untuk melawan militer Irak.
Taktik Tempur ISIS
Selain memiliki strategi global, ISIS juga menerapkan taktik tempur yang spesifik :
Di Irak dan Suriah, taktik penggunaan bom mobil atau Vehicle Borne Improvised Explosive Devices (VBIEDS) terbukti menjadi senjata perang yang sukses. Bom semacam itu dipasang di mobil Hummer AS yang dirampas dari militer Irak.
Taktik VBIEDS inilah yang sangat ditakuti dan dianggap paling mengerikan oleh pasukan Irak dan milisi Syi'ah, karena membawa korban yang sangat besar.
Wilayah-wilayah perkotaan yang lebih kecil diserbu menggunakan “manuver jepit” dengan menempatkan bom mobil di kedua sisinya, disusul militan-militan yang menggunakan rompi bunuh diri lalu diikuti prajurit dan kendaraan-kendaraan yang dilengkapi persenjataan.
Kota-kota besar dikuasai dengan metode gabungan antara infiltrasi, khususnya melalui komunitas Sunni yang terpinggirkan di Irak, dan "Strategi Belt" atau sabuk.
Dengan strategi itu awalnya kota-kota dan pedesaan yang di sekitar pusat kota besar dikuasai terlebih dahulu, dan menutup jalanan. Serbuan makin digencarkan melalui anggota-anggota ISIS yang bergerak maju dan mulai memasuki pusat kota layaknya sabuk.
ISIS menggunakan wilayah gurun pasir yang luas di Suriah dan Irak, menarik diri ke dalamnya untuk kemudian muncul dari sana juga sesuka mereka. Taktik itu memerlukan mobilitas tingkat tinggi, organisasi yang efisien, serta pasokan amunisi dan air yang banyak.
Walaupun serangan udara telah menghambat pergerakan di padang, ISIS mengatasi itu dengan memecah pasukan menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan sulit terdeteksi.
Dengan itu, jumlah anggota ISIS yang sedikit bisa menghadapi pasukan dalam jumlah besar sementara anggota ISIS lainnya menyerang sebuah kota, pangkalan militer atau lokasi strategis lainnya seperti sebuah bendungan atau kilang minyak.
Berdasarkan penjabaran tersebut, tampak jelas bahwa ISIS merupakan pasukan tempur yang kuat, sangat termotivasi dan terdisiplin. Selain itu mereka adalah organisasi dengan rencana yang jelas, tersusun secara sistematis dan memiliki strategi perang yang terbukti berhasil.
Bandingkan dengan pengakuan Obama yang mengatakan setelah satu tahun berperang “kami masih belum memilki strategi untuk mengalahkan ISIS”. Memang, Obama bukan lawannya ISIS. AS sudah loyo, dan tidak lagi memilliki nyali perang. Moralitas mereka sudah hancur. Wallahu'alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!