Jum'at, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Agutus 2015 08:13 wib
14.929 views
Malapetaka Hantu Krisis Ekonomi '98 Bakal Datang Kembali
JAKARTA (voa-islam.ccom) – Betapapun Gubernur BI Agus Martowardoyo dan Menteri Keuangan Bambang Sumantri Brojonegoro, menganggap 'enteng' krisis ekonomi yang ada di Indonsia, tapi hal ini tidak dapat menutupi kecemasannya yang mendalam. Ketika bertemu di forum terbatas, keduanya mengakui krisis sekarang ini benar-benar dahsyat.
Basis ekonomi Indonesia runtuh dan tak bernafas lagi. Ini akibat daya beli rakyat menurun drastis. Lihat di pasar, mall, dan pusat-pusat perbelanjaan, para penjaga hanya duduk sambil melamun, karena sepinya pembeli. Dagangan mereka tak tersentuh oleh pembeli, walaupun para pengusaha sudah menyiasati dengan memberi diskon 50 – 70 persen setiap item barang.
Semua pengusaha ritel menjerit. Mereka kehilangan pembeli. Rakyat sudah 'mati suri', tak sanggup lagi membeli. Rata-rata sektor ritel mengalami penurunan antara 15-30 persen. Ini terjadi secara massal. Memang daya beli rakyat sudah tidak ada lagi. Uang mereka tak berharga lagi akibat inflasi ditambah dengan kurs rupiah terhadap dollar terus terpuruk, dan sekarang sudah Rp 14.100/1USD. Sangat mengerikan.
Bahan-bahan kebutuhan pokok melonjak dengan tajam karena semuanya diimport. Harga sembilan kebutuhan pokok naik drastis. Harga daging sapi Rp 160 ribu. Harga daging ayam Rp 50 ribu/per potong. Harga cabe Rp 80.000 ribu rupiah. Tempe pun yang menjadi menu 'pokok' rakyat ikut-ikutan naik, karena bahan bakunya kedelai impor. Rakyat sekarang mulai gelisah, harga-harga sudah tidak terkendali lagi.
Kondisi ini masih ditambah dengan adanya kemarau panjang, dimana banyak petani yang mengalami gagal panen. Padahal, rakyat di pedesaan hidupnya hanya menggantungkan pada hasil tanaman sawah. Tapi, tanaman-tanaman yang ada mati, karena kekeringan. Sehingga, tidak ada lagi yang bisa diharapkan bagi kehidupan mereka sehari-hari.
Kebijakan pemerintah Jokowi ingin menciptakan swasembada pangan gagal. Lima target swasembada pangan semuanya gagal. Swasembada beras gagal, gula, jagung, kedelai, dan daging semua gagal. Karena pemerintah tidak pernah memunyai perhatian yang sungguh-sungguh 'BERDIKARI' di bidang pangan. Impor mendatangkan keuntungan bagi pengejar 'rente' (upah) bagi para penguasa, tanpa kerja keras.
Sektor Riil Menurun
Tentu yang paling mengancam menurunnya sektor riil. Bidang properti menurun antara 40-60 persen. Siapa yang sekarang ini mampu membeli rumah dengan harga paling rendah Rp 450 juta? Dengan tingkat penghasilan yang sekarang 'minus', banyaknya PHK, dan lesunya ekonomi, maka sektor properti ikut terpukul.
Otomotif ikut turun 15-20 persen. Ini berdampak bagi usaha-usaha rakyat yang menjadi rekanan perusahaan mobil. Mereka terancam kehilangan penghasilan. Semen ikut turun antara 25-40 persen karena pembangunan properti dan lainnya turun. Kelapa sawit turun antara 25-35 persen. Garmen turun antara 40-60 persen.
Sekarang sudah ribuan pabrik garmen yang gulung tikar, dan puluhan ribu buruh yang di PHK. Ini sangat dramatis. Bukan hanya akibat pertumbuhan ekonomi yang negatif, yang kisarannya hanya 4 persen, tapi dampak dari dollar yang naik. Produk-produk Indonesia berbahan baku impor, maka harga produksi menjadi naik. Di tengah krisis yang melilit, produk mereka tak terserap oleh pasar. Dampaknya banyak pabrik yang bangkrut.
Skenario Buruk
Skenario yang paling buruk bakal terjadi krisis ekonomi seperti tahun '98, berulang kembali. Ini seperti hantu yang sangat 'menakutkan', dan bakal muncul di tengah-tangah kekacauan politik yang sangat luar biasa. Tak mungkin hanya diatasi dengan pemerintahan yang sekapasitas Jokowi.
Skenario buruk itu, jika sektor properti melahap uang nasabah perbankan, dan enam bank besar kehilangan likuiditas membayar nasabahnya akibat uang mereka digunakan membiayai bisnis properti milik para 'taoke' Cina.
Enam bank besar di Indonesia digelontorkan ke sektor properti yang besar-besar, yang selama ini dianggap cukup likuid, seperti Agung Podomoro, Agung Sedayu, Tjiputra, Kelompok Eka Tjipta, dan sejumlah pengusaha properti lainnya. Ini persis yang terjadi di Amerika. Akibat kreditor di sektor properti gagal bayar, dan kemudian berdampak terhadap sektor perbankan.
Menurunnya sektor properti sampai 60 persen akibat daya beli masyarakat yang menurun, akan membuat pemerintah 'collaps' alias gulung tikar. Semua kondisi objektif krisis ekonomi ini, sudah dapat menjadi pemicu lahirnya malapetaka, tinggal siapa yang bakal memantiknya.
Digantikan oleh Jusuf Kalla?
Rumusan 1:4, yaitu Jokowi satu tahun, dan Jusuf Kalla empat tahun. Melalui lobby dan jaringan Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) yang mempunyai kedekatan dengan Washington, dan kekuatan Yahudi Eropa, kemungkinan bakal terjadi 'powershif' (pergantian kekuasaan).
Ini sangat tergantung bagaimana Gedung Putih melihat Jakarta. Apakah masih dapat digunakan atau tidak? Namun, Jusuf Kalla yang 'pedagang' itu, juga sangat 'rakus', dan bisa menghabiskan apa saja.
Sejatinya, ekonomi Indonesia yang hanya ditopang cadangan devisa $ 107 miliar, pasti bakal ambruk. Belum lagi masih dihadapkan dengan utang pemerintah dan utang swasta yang jumlahnya melebihi utang pemerintah kepada pihak kreditor yang jumlahnya lebih dari Rp 4.000 triliiun, dan utang swasta akan jatuh tempo Nopember ini.
Sekalipun, Cina menjanjikan bantuan kepada Indonesia Rp 100 triliun bagi dana 'contingensi' saat menghadapi krisis, tetap saja tidak bakal menyelamatkan ekonomi Indonesia dari badai krisis.
Selain itu, Indek saham berguguran lebih dari 15 persen. Usaha dan trik Cina yang mendevaluasi mata uangnya, tak serta merta mengubah ekonomi global. Karena mata uang dollar terus menguat, dan FED (Bank Sentral Amerika) terus menaikkan suku bunganya, sehingga sekarang saham kembali lari ke Amerika. Ini semakin memperburuk situasi ekonomi Indonesia.
Antara Beijing dan Washington?
Masalah yang paling pokok tak lain adalah Indonesia menjadi lahan perebutan antara Amerika dan Cina. Sekarang ke mana arah poros yag akan dibangun oleh Jokowi? Membangun poros ke Beijing atau ke Washinton? Ini pertanyaan kunci. Jika Jokowi membangun poros ke Beijing, maka Jokowi akan 'collaps', dan ia akan runtuh dari kekuasaan.
Apalagi, Cina sudah mulai masuk ke Papua. Washington tidak ingin Papua diotak-atik oleh siapa pun, termasuk Beijing. Itu karena Papua memiliki kandungan 'URANIUM' terbesar di dunia, dan itu sangat strategis bagi kepentingan militer Amerika. Bukan masalah 'Freeport'. Jokowi harus memahami geopolitik dan geostrategi yang ada, termasuk kepentingan Amerika di Indonesia.
Jika Washington melihat Jokowi lebih memilih Cina, pilihan hanya dua: Papua merdeka atau ganti boneka (Jokowi). Bagi Amerika itu hal yang sepele.
Apakah rakyat dan bangsa Indonesia membiarkan negeri ini hanya menjadi wilayah jajahah antara Amerika dan Cina? Indonesia hanya menjadi jajahan 'Asing dan A Seng'? Lebih baik berkalang tanah daripada dijajah. Wallahu alam. dta
Editor: RF
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!