Jum'at, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 4 September 2015 07:03 wib
11.658 views
Implikasi Pertemuan Raja Salman bin Abdul Aziz dengan Barack Obama?
WASHINGTON (voa-islam.com) - Raja Saudi Salman bin Abdulaziz bertemu dengan Presiden Barack Obama di Gedung Putih membahas stiuasi keamanan regional.
Pertemuan antara Raja Salman dan Obama itu, termasuk membahas Rencana Aksi Konfrehensif Bersama (JCPOA), sesudah tercapainya perjanjian antara Iran dan kekuatan dunia atas program nuklirnya yang kontroversial itu, Kamis, 3/9/2015.
Lebih khusus, kedua pemimpin itu, Arab Saudi dan Amerika akan membahas dampak dari perjanjian antara Iran dengan kekuatan dunia, dan dampaknya terhadap situasi keamanan regional, khususnya di kawasan Teluk.
Iran telah menciptakan kondisi instabilitas diberbagai negara, seperti di Lebanon, Irak, Bahrain, Yaman, dan dukungna terhadap pemerontak Syi'ah Houthi di Yaman. Ini menjadi kepratinan Raja Salman bin Abdul Aziz.
Sejak Raja Salman bin Abdul Aziz menggantikan Raja Abdullah bulan Januari lalu, Arab Saudi menghadapi situasi tidak stabil di kawasan di kawasan Teluk.
Kondisi ini membuat Raja Salman bin Abdul Aziz, kembali menengok ke Washington. Selama Arab Saudi menjadi Amerika Serikat sebagai 'payung' keamanan bagi negara 'petro dolar' itu.
Sebaliknya Amerika melihat Arab Saudi yang kaya minyak itu, sebagai sekutu strategisnya. Tapi, sekarang Arab Saudi telah dicampakan oleh Washington, sejak sudah tidak penting lagi bagi Amerika, karena Amerika menemukan cadangan minyak yang besar di negaranya, dan tidak perlu bergantung kepada Arab Saudi.
Karena itu, Amerika Serikat dibawah Barack Obama, lebih bersikap pragmatis, dan cenderung oportunis, di mana sekarang ini terjadi 'powershif' (pergeseran) kekusaan.
Amerika sekarang memegang 'kartu' Iran yang dimainkan, menghadapi kelompok radikal (teroris) Sunni. Di mata Amerika dengan sangat jelas memposisikan Arab Saudi, sebagai sumber lahirnya 'terorisme', yang bersumber dari ajaran Wahabi.
Amerika berubah haluan dan menggunakan 'proxy' (tangan) Syiah Iran menghadapi kelompok radikal Sunni, dan sekarang sudah berubah menjadi ancaman global, yaitu ISIS.
ISIS membuat Washington sudah kehilangan akal, dan sttategi mengeliminir ISIS ini. Sejatinya ISIS dan kelompok-kelompok radikal yang lahir di Timur Tengah adalah 'limbah' dari campur tangan Amerika di kawasan Timur Tengah dan Teluk, lebih dari dua dekade.
Sekarang Amerika mengkonsolidasikan seluruh kekuatan Arab melawan kelompok radikal, diantaranya ISIS. Amerika tidak dapat sendirian menghadapi ISIS. Dua dekade perang di Irak telah mengakibatkan Amerika sudah kehilangan kemampuannya menghadapi kekuatan baru yang jauh lebih ideologis.
Di tengah perubahan yang terjadi di Washington yang sekarang berkolaborasi dengan Iran, yang disebut Presidenn George Walker Bush sebagai 'evil' (stan), dan Amerika menggunakan 'evil' itu, menghadapi kelompok-kelompok radikal Sunni.
Kelompok radikal Sunni sekaarang dipandang sebagai ancaman global. Genderang perang itu, berlangsung sejak peristiwa 11 September 2001, pemboman atas Gedung WTC di Manhattan, New York. Berapa banyak dana yang digunakan oleh Amerika menghadapi ancaman kelompok radikal? Tak terhitung lagi.
Raja Salman bin Abdul Aziz, sejauh ini masih terus berusaha meniadakan ancaman nuklir Iran. Bahkan, Arab Saudi berusaha mempengaruhi Senat dan Kongres, agar membatalkan perjanjian nuklir Iran. Namun, Washington lebih takut ancaman yang datang dari kelompok radikal Sunni.
Dengan perjanjian nuklir antara Iran dengan kekuatan utama dunia, bermaksud 'mengikat' Iran dengan ikatan perjanjian, dan meminimalkan ancaman nuklir Iran, dan sebagai imbalannya, Iran akan mendapatkan 100 miliar dollar, termasuk dicabutnya sanksi ekonomi atas Iran oleh Barat.
Raja Salman hanya meminta jaminan dari Washington, khususnya terkait dengan keamanan regional, khususnya ancaman dari Iran.
Washington memberikan jaminan keamanan terhadap Arab Saudi, tapi Washington menekan Riyad agar mau bersama Amerika membasmi kekuatan radikal Sunni yang sekarang sudah menyebar di berbagai kawasan.
Amerika tidak ingin Suriah jatuh ke tangan ISIS. Itulah hakekat pertemuan antara Raja Salman dengan Barack Obama di Washington. Maka Washington, terus berusaha menekan Arab Saudi tetap berada dalam 'genggaman' Washington. Bersama-sama menghadapi ancaman ISIS.
Sekalipun, sikap Washington sangat hati-hati dan akan mengakomodasi keprihatinan Arab Saudi atas Iran. Tapi, tidak akan mengubah kebijakan dasar Washington atas Iran. Wallahu'alam. dta
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!