Selasa, 16 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Juni 2015 12:13 wib
22.202 views
Jokowi Kalah Cerdas Dari Luhut Panjaitan dan Andi Wijayanto
Analysis Kepimpinan Jokowi
Penulis Nuim Hidayat,
Melihat kepemimpinan Jokowi selama beberapa bulan ini, terlihat bahwa Jokowi seperti dikatakan Fadli Zon dalam pemilihan presiden lalu. Jokowi tidak pernah menanggapi hal-hal aktual yang penting dimana masyarakat perlu jawabaan. Masalah Rohingya, jilbab TNI dan lain-lain. Tidak ada ide-ide segar dari Jokowi.
Nampaknya konspirasi Barat, Cina dan non Muslim di negeri ini berhasil. Saat ini yang mengendalikan istana bukan lagi orang-orang Islam. Yang tersisa hanya Jusuf Kalla, itupun di belakang (asisten ekonomi) Kalla ada Sofjan Wanandi dari CSIS (pusat pemikiran Cina dan Katolik).
Kalla lebih cerdas dari Jokowi –sayang kekuasaannya hanya wakil presiden—sehingga berani mengambil tindakan soal Rohingya. Yaitu Kalla menyatakan bahwa pengungsi Rohingya boleh tinggal di Aceh. Pernyataan ini seperti menegur Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang saat itu menyatakan bahwa pengungsi Rohingya tidak boleh mendarat di Aceh dan hanya boleh diberikan bantuan makanan di kapalnya.
Mengapa kaum Cina dan Barat menginginkan Jokowi? Ya karena mereka tidak menginginkan Islam bangkit di negeri ini. Mereka tidak menginginkan Indonesia menjadi negara hebat yang dapat memimpin dunia Islam (mengalahkan dunia Barat). Mereka menginginkan Indonesia tetap menjadi negara sekuler, menjadi negara lemah, dengan dominasi kekuasaan dipegang oleh kaum Cina dan antek Barat.
Dr Sri Bintang Pamungkas menyatakan bahwa lebih dari 85% tanah di ibukota Jakarta dikuasai kaum Cina. Begitu pula tanah di pulau Jawa. Ekonomi Indonesia mayoritas dipegang kaum Cina. Sedangkan bahan-bahan tambang mayoritas dipegang oleh Barat.
Kembali ke Jokowi. Jokowi kini hanya menjadi tukang stempel atau tandatangan. Mantan walikota Solo ini hanya memahami pembangunan Indonesia harus jalan terus, tol ditambah dan seterusnya. Ia tidak memahami bagaimana detil-detil pertarungan politik yang terjadi antara Cina, Muslim, Katolik, Hindu, Kristen dan lain-lain di negeri ini.
Ia tidak memahami bagaimana pergantian militer yang adil dan seterusnya. Keawaman Jokowi terhadap Islam menyebabkan ia juga tidak memahami bagaimana sebaiknya membuat kebijakan sehingga Muslim dapat berperan lebih adil dalam perpolitikan di negeri ini.
Yang faham semua itu adalah Andi Wijayanto dan Luhut Panjaitan. Yang pertama adalah ahli militer dan yang kedua adalah mantan perwira militer. Keduanya sangat faham bagaimana politik dan ekonomi dikendalikan di negeri ini. Tentu ada orang-orang lain selain dua orang itu yang ahli juga dalam perpolitikan yang menjadi penasehat Jokowi. Yang jelas tidak ada cendekiawan Islam yang ahli politik dan militer di belakang Jokowi.
Makanya tidak heran ketika rencana demonstrasi besar-besaran mahasiswa mau dilangsungkan, beberapa hari sebelumnya langsung digembosi dengan pertemuan dengan Jokowi. Siapa yang merencanakan itu? Tentu bukan Jokowi. Tapi orang-orang di belakang Jokowi.
Pertemuan mahasiswa dengan Jokowi juga menyebabkan mahasiswa-mahasiswa (mayoritas Islam) turun semangatnya untuk menurunkan Jokowi. Tentu mahasiswa yang miskin dalam pengalaman politik akhirnya ‘menyerah’ melihat omongan halus Jokowi.
Jokowi kini sebenarnya seperti Pak Harto yang dulu pertama naik kekuasaan tahun 1966. Bila dulu dibelakang Soekarno adalah PKI dan PNI, maka di belakang Pak Harto adalah CSIS, organisasi pemikir Katolik ciptaan Amerika. Maka kebijakan awal Orde Baru adalah meminggirkan umat Islam dari politik dan militer serta memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Cina dan non Muslim saat itu.
Sehingga pendidikan, budaya, ekonomi, politik dan militer disetting CSIS dan kawan-kawannnya ke arah sekuler. Pancasila dibawa ke sekuler dan dilawankan dengan Islam. Pada awal Orde Baru tokoh-tokoh Islam banyak ditangkapi dan dituduh sebagai anti Pancasila dan seterusnya.
Alhamdulillah sekitar tahun 1988, setelah duapuluh dua tahun, Pak Harto mulai sadar. Pak Harto mulai meninggalkan CSIS dan ganti merangkul Habibie dan ICMI sebagai think tanknya. Saat itu kemudian Pak Harto membuat Bank Muamalat, Harian Republika dan lain-lain. Kaum non Islam, Cina dan Barat mengetahui hal itu. Mereka paranoid dan ketakutan Islam mulai menapaki pemerintahan dan militer.
Maka mulailah dibuat skenario untuk menurunkan Soeharto. Opini yang dibuat keluar adalah korupsi Soeharto, padahal tujuan sebenarnya adalah ingin menggusur Seharo dan think tanknya.
Tentu dalam penggulingan Soeharto ada orang-orang Islam yang dijadikan tumbal. Seperti kata tokoh Masyumi Anwar Harjono,”Mereka menari di atas gendang orang lain.” Itulah sebenarnya yang terjadi.
Dalam penaikan Jokowi hampir sama kasusnya dengan penggulingan Soeharto. Mereka menggunakan orang Islam, kiyai dan umatnya –khususnya di PKB- untuk mendukung Jokowi. Orang-orang Islam seperti itu tidak melihat siapa sebenarnya yang bermain di belakang Jokowi.
Kini mungkin orang-orang pintar Islam yang mendukung Jokowi sadar, bahwa mereka ‘ditipu’. Khususnya yang tidak mendapat jatah bagi-bagi kekuasaan dalam pemerintahan Jokowi.
Maka tidak heran bila Jokowi memilih Sutiyoso daripada Asad Ali misalnya dalam penentuan Ketua BIN. Karena yang menentukan bukan Jokowi, tapi orang-orang yang di belakangnya. Jokowi diberikan informasi-informasi yang jadi, untuk dilalap.
Bukankah pemimpin dalam mengambil keputusan tergantung informasi yang masuk? Jelas-jelas Asad Ali punya kemampuan intelijen yang tajam dan pengalaman Timur Tengah yang lama, jauh lebih baik dari Sutiyoso. (Meski demikian kita berharap Sutiyoso tidak mengebiri umat Islam).
Jokowi kini mirip Soekarno yang merangkul PKB (sebagian NU) dan menyingkirkan Muhammadiyah serta ormas-ormas Islam ‘modernis’ lain. Memang repot bila punya presiden yang tidak punya visi Islam. Hanya presiden yang punya visi Islamlah yang akan membuat Indonesia menjadi negara hebat. Karena mayoritas Indonesia adalah umat Islam.
‘Trio Macan’ Pengendali Jokowi
Julukan Jokowi adalah boneka kini menjadi kenyataan. Jokowi sebaga presiden kini banyak blusukan, menghadiri undangan-undangan dan tidak punya pemikiran yang strategis.
Sungguh nasib kurang beruntung bangsa Indonesia. Setelah dipimpin 10 tahun oleh presiden SBY, anak manis Amerika, kini presiden Jokowi setali tiga uang. Bahkan lebih parah. Jokowi tidak mampu menghadapi trio macan yang kini memegang kekuasaan riil di istana. Siapa mereka? Surya Paloh, Andi Wijayanto dan Jusuf Kalla. Megawati sebenarnya masuk juga dalam lingkaran pengendali istana. Cuma karena intelektualnya kurang, Mega jadi kurang berperan di sana.
Siapa Surya Paloh? Laki-laki brewok kelahiran Aceh ini dikenal ideologis. Ia ingin dikenang sebagai penerus ide-ide sekuler Soekarno. Gayanya bicara juga dimirip-miripkan dengan Soekarno. Sayang intelektualitasnya masih kalah dengan presiden pertama itu.
Surya Paloh
Surya Paloh lahir di Kutaraja, Banda Aceh, 16 Juli 1951. Ia adalah pengusaha pers dan pimpinan Media Group yang memiliki harian Media Indonesia, Lampung Post, dan stasiun televisi Metro TV (tahun 2000). Ia sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Nasional Demokrat. Surya Paloh aktif dalam politik dan dia adalah mantan Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar periode 2004-2009.
Sewaktu mahasiswa, selain berbisnis, Surya juga menekuni politik. Surya pernah membuat organisasi massa Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Setelah KAPPI bubar, ia menjadi Koordinator Pemuda dan Pelajar pada Sekretariat Bersama Golkar. Beberapa tahun kemudian, Surya Paloh mendirikan Organisasi Putra-Putri ABRI (PP-ABRI), lalu ia menjadi Pimpinan PP-ABRI Sumatera Utara. Organisasi semacam ini di Jakarta pada tahun 1978, dikenal dengan nama Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI).
Surya Paloh mendirikan Surat Kabar Harian Prioritas (1986). Pada tahun 1989, Surya Paloh bekerja sama dengan Drs. T. Yously Syah mengelola koran Media Indonesia. Di samping Media Indonesia dan Vista yang terbit di Jakarta, Surya juga bekerjasama menerbitkan sepuluh penerbitan di daerah. Kesepuluh media tersebut adalah Harian Atjeh Post dan Mingguan Peristiwa di Aceh, Harian Mimbar Umum di Medan, Harian Sumatra Ekspres di Palembang, Harian Lampung Pos di Bandar Lampung, Harian Gala di Bandung, Harian Yogya Pos di Yogyakarta, Harian Nusa Tenggara dan Bali News di Denpasar, Harian Dinamika Berita di Pemimpin Perang BanjarBanjarmasin, serta Harian Cahaya Siang di Manado.
Meski kelahiran Aceh, Surya dikenal sebagai abangan. Beberapa wartawan menyatakan bahwa Surya jarang shalat, bahkan kadang ‘minum-minum wine’. Karena itu tidak heran bila Metro TV diserahkan pengelolaannya ke mayoritas non Islam di jabatan-jabatan pentingnya.
Andi Wijayanto
Andi Wijayanto lahir 3 September 1971. Ia tadinya adalah seorang pengamat pertahanan dan politikus Indonesia. Ia menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sejak 3 November 2014. Sebelumnya ia sebagai Deputi Tim Transisi Presiden Jokowi. Anak Theo Syafei –Theo dikenal sebagai Kristen Radikal di PDIP- ini juga dikenal sebagai pengamat terorisme. Dalam analisa-analisanya, ia seringkali terlihat sinis dengan kelompok Islam militan.
Dosen tetap pada FISIP di Universitas Indonesia itu memiliki hubungan sangat dekat dengan PDIP, sedekat hubungan ayahnya Theo Syafei dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Andi, demikian biasa dipanggil, juga memiliki pengaruh kuat di lingkungan internal partai pengusung pasangan capres Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Marcus Mietzner, peneliti tentang Indonesia dari Australian National University (ANU) menyebut Andi sebagai salah satu figur dan pemikir penting (di hadapan Megawati) pada pemenangan Jokowi – JK. Banyak konsep kampanye hingga debat capres Jokowi yang merupakan pemikiran orisinil Andi Widjajanto. Kapasitas Andi jauh berlipat-lipat melebihi kapasitas capres yang didukungnya. Di waktu kampanye pemilihan presiden Juli lalu, Andi seringkali mendampingi Jokowi. Ia sering duduk berdampingan dengan Jokowi dan ‘membrifing’ materi-materi yang penting untuk kampanye.
Andi pernah kuliah di FISIP jurusan HI di Universitas Indonesia lulus 1996. Kemudian ia mendapat gelar sarjana dari School of Oriental dan African Studies University of London. Ia juga mendapat Master of Sciences dari London School of Economics dan Master of Sciences dari Industrial College of Armed Forces, Washington DC – Amerika Serikat pada 2003.
Andi pernah tercatat sebagai Koordinator di Gerakan Non Blok Study Center dan juga aktifsebgai peneliti di jurusan HI – FISIP UI. Andi juga tercatat sebagai Dewan Editor pada jurnal politik internasional Global. Pernah juga bekerja sebagai Managing Director di PACIVIS, Center for Global Civil Society Studies Universitas Indonesia hingga jabatan Direktur Eksekutif pada PACIVIS dan Direktur Ekonomi Pertahanan di Institut Pertahanan dan Studi Keamanan – UI.
Andi juga tercatat sebagai anggota National Security Task Force, yang diselenggarakan oleh Pro Patria untuk merumuskan Polri Bill, Bill Pertahanan, Angkatan Bersenjata Bill, dan Strategic Defense Review selama 2001-2002. Selama tahun-tahun itu juga, Widjajanto menjadi seorang peneliti di Institut Penelitian Untuk Demokrasi dan Perdamaian (RIDEP) guna menganalisa dan mempublikasikan beberapa artikel pada dinamika keamanan saat ini di Asia Tenggara.
Ia juga pernah menjadi Koordinator proyek dan Fasilitator Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen, yang diselenggarakan oleh PACIVIS selama 2005-2006 terkait rumusan RUU Intelijen Nasional. Pernah juga menjadi dosen di SESKO TNI (Staf Militer dan Komando Tinggi) untuk melakukan postur pertahanan dan Strategis Kepemimpinan Modul.
Pada tahun 2006, Andi menjadi anggota Tim Penelitian “Sistem Pertahanan Nasional Project” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan Perundang-Undangan untuk meninjau Sistem Pertahanan Nasional Indonesia. Pada tahun itu juga, ia menjadi anggota Delegasi Indonesia dalam “ke-3 Malaysia-Indonesia Colluqioum”, yang diselenggarakan oleh ISIS-Malaysia dan CSIS-Jakarta, Kuala Lumpur, Malaysia, 17-20 Juli 2006.
Sedangkan Jusuf Kalla, orang sudah banyak mengenalnya. Wakil Presiden ini, meski punya kemampuan lobi yang mengagumkan, tetapi karena jabatannya sebagai wakil, ia tetap wewenangnya terbatas. Dalam lobi ke Jokowi, ia kalah dengan Theo dan Andi.
Karena Theo dan Andi punya pengaruh yang kuat ke Jokowi, maka sulit diharapkan Jokowi punya kebijakan yang menguntungkan umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Ini nampak dengan kebijakan Jokowi mengangkat Ahok ‘lewat jalan tol’, menaikkan BBM tiba-tiba, mendekat ke Cina dan Amerika, tidak mempermasalahkan kasus Muslim Rohingya ketika bertemu dengan presiden Myanmar dan lain-lan.
Walhasil, melihat kebijakan Jokowi seperti itu, anggota-anggota DPR yang Muslim, mesti lebih keras dan cermat mengawasi pemerintahan Jokowi. Agar pemerintah ini tidak semena-mena terhadap umat Islam
Wallahu azizun hakim.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!