Rabu, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Agutus 2015 16:31 wib
5.085 views
Perda, Umat Islam Dilarang Ibadah di Tolikara adalah Bentuk Intoleransi
JAKARTA (voa-islam.com)- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI berdasarkan mandat dan kewenangan dalam Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah melaksanakan pemantauan dan penyelidikan atas Kasus Kerusuhan Tolikara pada Hari Raya Idul Fitri 17 Juli 2015 di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, pada 22 – 25 Juli 2015.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM dengan meminta keterangan Ketua DPRP Papua, Penasihat Majelis Muslim Papua (MMP), MUI Papua, PW Muhammadiyah Papua, PW NU Papua, Presiden GIDI, Bupati Tolikara, Pimpinan DPRD Tolikara, Kapolres Tolikara, Badan Pekerja Wilayah GIDI dan Tokoh Adat dan Pemuda Tolikara, Imam/Pimpinan Muslim Tolikara/mewakili korban Muslim, dan korban tembak Tolikara, serta keputusan Sidang Paripurna Komnas HAM, 5 Agustus 2015, dinyatakan telah terjadi PELANGGARAN HAM dalam peristiwa kemanusiaan Tolikara 17 Juli 2015.
Pertama, Kasus Intoleransi, berupa pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama seperti dijamin dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU 39 Tahun 1999 tentang HAM. Faktanya, (1) Bupati Tolikara, Usman Wanimbo, mengakui sudah menandatangani bersama dua fraksi DPRD Tolikara (2013) Perda tentang pelarangan dan pembatasan agama dan pengamalan agama tertentu di Tolikara. Perda itu dalam perspektif HAM dinilai diskriminatif. Bupati Tolikara berjanji akan memberikan dokumen Perda 2013 itu ke Komnas HAM. Fakta (2) Adanya surat dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Badan Pekerja Wilayah Toli nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang ditandatangani oleh Ketua Wilayah Toli, Pdt Nayus Wenda, S.Th dan Sekretaris, Pdt Marthen Jingga, S.Th, MA.
Surat yang ditujukan kepada umat Islam se-Kabupaten Tolikara ini dengan tembusan kepada berbagai instansi/lembaga itu memberitahukan adanya kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangkitan Ruhani (KKR) Pemuda GIDI tingkat Internasional pada 13-19 Juli 2015. Dalam surat itu juga berisi poin-poin LARANGAN, sebagaimana teks aslinya: (a) Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di wilayah Kabupaten Tolikara, (b) Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura, dan (c) Dilarang Kaum Muslimat memakai pakai Yilbab.
Surat tersebut juga sudah dikonfirmasi kepada Presiden GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo, S.Th., juga kepada BPW GIDI Tolikara dan kemudian mereka mengatakan sudah meralat. Fakta (3) Terjadinya gerakan yang massa yang menyebabkan bubarnya orang beibadah, shalat Idul Fitri 1436 H, 17 Juli 2015 pada rakaat pertama takbir ketujuh.
Kedua, Pelanggaran terhadap Hak untuk Hidup sebagaimana dijamin dalam pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Faktanya ada korban pemembakan yang menyebabkan seorang meninggal dunia an. Enis Wanimbo dan 11 orang luka tembak, yaitu Aitelur Yanengga, Endi Wanembo, Emison Pagawak, Aleri Wenda, Ailes Kogoya, Yulianus Lambe, Amaten Wenda, Perenus Wanimbo, Erendinus Jokwa, Keratus Kogoya, dan Gaubuli Jikwa.
Ketiga, pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman sebagaimana dijamin dalam pasal 9 ayat (2), 29 ayat (1), 30 dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Faktanya, peristiwa Tolikara tersebut telah mengakibatkan syiar ketakutan yang mengakibatkan hilangnya rasa aman warga negara, khususnya warga Muslim dan warga pendatang di Tolikara. Kekhawatiran itu semakin massif terutama dengan kemungkinan akan terjadinya bentrokan susulan. Apalagi pasca kejadian, warga setempat sempat membuat tulisan dan simbol-simbol tertentu, salib, agar rumah atau kiosnya tidak dirusak/dibakar. Bupati Tolikara mengakui itu dan telah memerintahkan untuk menghapusnya beberapa saat setelah peristiwa.
Keempat, pelanggaran terhadap Hak atas Kepemilikan sebagaimana dijamin dalam Pasal 36 UU 39 tahun 1999 tentang HAM. Faktanya adanya pembakaran yang menyebabkan terbakarnya kios/sentra ekonomi warga, rumah ibadah Muslim, dan rumah warga/properti.
Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, mendesak seluruh elemen Negara, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua dan Kabupaten Tolikara, maupun pihak kepolisian untuk menjamin ketidakberulangan (guarantees of non-recurrence) peristiwa serupa di Tolikara pada masa yang akan datang;
Kedua, mendesak Negara khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama serta pihak keamanan untuk memastikan adanya jaminan kebebasan beragama di masa yang akan datang di Tolikara sebagaimana dijamin pasal 28 E (1), 28E (2) dan 29 UUD 1945 serta pasal 22 ayat (1) dan (2) UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM serta pasal 18 Komentar Umum 22 ICCPR. Faktanya tidak ada jaminan tertulis bahwa Pemerintah Kabupaten Tolikara akan memperbaiki Perda 2013 yang diskriminatif itu. Di samping itu, pihak GIDI Tolikara juga masih berkeyakinan bahwa Tolikara adalah wilayah GIDI;
Ketiga, mendesak Negara khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten dan DPRD Tolikara) untuk hadir mengharmonisasi Perda 2013 Tolikara agar sesuai dengan perspektif HAM.
Keempat, mendesak Negara, khususnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi Papua dan Kabupaten Tolikara) sebagai penanggung jawab utama perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM untuk menunaikan kewajiban konstitusional dan hukumnya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan pasal 8 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM;
Kelima, mendesak Negara khususnya Menkopolhukam untuk memerintahkan Kapolri untuk penegakan hukum dengan menangkap dan mengadili siapapun inisiator dan aktor pelaku dalam peristiwa Tolikara secara adil, terbuka dan mandiri. Negara harus tunduk kepada konstitusi dan hukum. Negara tidak boleh tunduk kepada siapapun, apalagi terhadap aktor non-state.
Keenam, mendesak Negara khususnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi Papua dan Kabupaten Tolikara) untuk membiayai seluruh pengobatan korban tembak, membangun kembali rumah ibadah, kios/sentra ekonomi, rumah warga/properti, recovery fisik dan non fisik pengungsi terutama perempuan dan anak-anak, dan juga melakukan rekonsiliasi untuk keguyuban sosial masyarakat Tolikara supaya masyarakat Tolikara bisa hidup hidup rukun dan harmonis sebagai keluarga besar NKRI. Rilis ini diterima oleh voa-islam.com melalui pesan singkat beberapa waktu lalu. DR. Maneger Nasution, MA sebagai Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa Tolikara, Papua. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!