BAGDAD (voa-islam.com)- Presiden Suriah Bashar Assad menyebut serangan udara AS dan koalisi tidak mengubah apa pun. Situs antiwar.com menulis setelah lebih tiga bulan AS membom, ISIS hanya kehilangan sedikit wilayah.
ISIS, demikian situs itu menulis, kehilangan sejumlah kota di sepanjangan perbatasan Kurdi-Irak -- terutama dekat wilayah Iran. Saat yang sama, ISIS mengambil alih lebih banyak wilayah di Propinsi Anbar.
Di Suriah, meski pertempuran masih berlangsung, ISIS gagal total merebut Kobane sesuai jadwal. Di medan pertempuran lain, ISIS mencatatkan kemenangan gemilang.
Di Propinsi Deir ez-Zor, misalnya, ISIS baru saja merebut Pangkalan Udara Suriah. Sukses serupa juga dibuat di Idlib, dan wilayah lain.
Mengutip sejumlah sumber di pemerintah Irak, Baghdad menghibur diri dengan mengatakan tidak ada kota besar baru yang berhasil diraih ISIS. Namun Bloomberg melaporkan tentara Irak dan milisi suku-suku Sunni lari dari Ramadi, ibu kota Propinsi Anbar.
Ramadi kini dipertahankan satu kekuatan, yaitu milisi klan Al-Dulaimi. Kasus Ramadi membuktikan serangan udara Irak sama sekali tidak mengurangi kemampuan ISIS mengorganisir pertempuran.
Sampai memasuki musim dingin, Mosul belum juga bisa direbut. Padahal, AS dan koalisi telah menjatuhkan banyak bom di sekitar kota, dan milisi Kurdi -- bersama milisi Shiah -- mengklaim telah mengambil alih dam.
Banyak orang bertanya-tanya mengapa Irak tidak jua berusaha merebut kembali Mosul, jantung Muslim Sunni dan kota terbesar di utara Irak. PM Irak Haidar al-Abadi menjawab semua itu dengan membeberkan adanya 50 ribu prajurit hantu di militer Irak.
Prajurit hantu adalah istilah untuk serdadu yang mati tapi tak dilaporkan, atau mereka yang pensiun tapi masih menerima gaji. Jumlah serdadu pensiun, tapi masih tercatat dan menerima gaji, mencapai 23 ribu. Lainnya prajurit tewas, atau membelot ke ISIS.
Gaji prajurit tewas yang masih dibayarkan dinikmati komandan lapangan sampai para jenderal, segelintir pejabat kemendagri dan kementerian keuangan. Militer Irak menghadapi perangnya sendiri, yaitu korupsi.
Kelompok-kelompok milisi Shiah ternyata lebih suka membantai Sunni, ketimbang memperlihatkan kemampuan mereka memerangi ISIS. Di sisi lain, suku-suku Sunni dihadapkan pada dilema; berkiblat ke ISIS dan memeranginya, atau sebaliknya.
Mereka yang memilih memerangi ISIS berharap mendapat pasokan senjata dari AS dan Irak. Yang diharap tidak pernah datang. PM Al-Abadi harus berpikir ribuan kali untuk menyalurkan senjata ke suku-suku Muslim Sunni. Milisi Shiah pasti tidak setuju dengan gagasan ini.
Pemerintah Irak meragukan kesetiaan suku-suku Muslim Sunni, yang notabene Arab. Jika senjata dan pelatihan militer diberi, bukan tidak mungkin yang terjadi adalah konflik sektarian Sunni-Shiah.
Muslim Sunni di Irak, moderat atau bukan, pasti lebih suka membalas pembantaian Shiah ketimbang memerangi ISIS. Milisi Shiah terlanjur keenakan membantai Sunni tak bersenjata, ketimbang menghadapi Sunni bersenjata.
Di Swiss, dalam pertemuan negara-negara anti-ISIS, Menlu AS John Kerry memperlihatkan kepribadian ganda Paman Sam. Ia berbohong ketika mengatakan serangan AS dan koalisi menghancurkan dan melemahkan ISIS, tapi juga jujur dengan mengulangi pernyataan bahwa perang udara melawan ISIS akan berlangsung bertahun-tahun.
Bagaimana dengan Turki? Negeri ini adalah faktor kunci dalam perang melawan ISIS, tapi AS tak bisa menggunakannya. Wapres Joe Biden menekan Turki agar mengizinkan penggunaan Pangkalan Udara Incirlik. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak keras.
Jika Incirlik digunakan, pesawat AS leluasa membom ISIS setiap jam dan lebih efisien. ISIS mungkin bisa dilumpuhkan dalam hitungan bulan. Bagi Turki, urusannya bukan dengan ISIS, tapi Suriah. Erdogan lebih suka mendorong perubahan rejim di Damaskus, ketimbang terlibat perang dengan ISIS.
Sikap Turki adalah keuntungan ISIS. Ankara cukup piawai memainkan pengaruhnya, dengan memperlihatkan sikap anti-ISIS paling minimal. Yaitu membiarkan wilayahnya dilintasi Peshmerga yang menuju Kobane. Kedua melatih ratusan milisi Kurdi.
Nampaknya, menghadapi ISIS butuh waktu yang panjang seperti asumsi Kerry benar, bahwa perang melawan ISIS akan berlangsung bertahun-tahun, berapa tahun AS membom sia-sia? Berapa banyak dana yang harus dikeluarkan, dan berapa banyak warga sipil yang harus tewas di tangan koalisi AS?
Dibagian lain, hampir setiap hari, Ahmed al-Dulaimi mengangkut mayat-mayat dari bawah reruntuhan bangunan. Pekan ini saja, sedikitnya 17 tewas saat pasukannya mati-matian mempertahan Ramadi, kota di sebelah barat Propinsi Anbar.
Al-Dulaimi dan tentaranya dalah kelompok terakhir yang mempertahankan Ramadi. Lainnya; tentara Irak melemah, dan sejumlah milisi suku melarikan diri. Cepat atau lembat, Ramadi akan jatuh. Al-Dulaimi tahu itu. Namun, ia harus melawan dan melawan, sampai orang terakhir.
"Jika kami tidak melawan, ISIS akan membunuh kami," ujar Al Dulaimi kepada Bloomberg lewat telepon. "Kami diitinggalkan para politisi, tentara Irak, dan pemimpin suku."
Ramadi terkepung, dan pengepungan kota ini adalah bukti sahih betapa pemboman AS dan koalisi gagal melemahkan ISIS. Klaim Menlu John Kerry, bahwa pemboman AS membuat ISIS hancur dan melemah, isapan jempol belaka.
Menurut Al Dulaimi, ISIS tidak ingin kegagalan di Kobane terulang di Ramadi. Kota ini sangat strategis, dan ikon suku-suku Muslim Sunni. Kejatuhan Ramadi akan membuat ISIS mencekik komunitas Sunni.
Al Dulaimi menyadari suku-suku Sunni dalam dilema. Baghdad tidak mempercayai mereka, sehingga tidak ada senjata yang dikirim. Di sisi lain, milisi Shiah tidak ingin orang Sunni punya senjata karena -- jika ISIS bisa dikalahkan -- yang terjadi adalah perang Sunni-Shiah.
Shiah ingin membantai semua Sunni. Di sisi lain, Sunni berusaha membalas dendam terhadap Shiah, jika urusan mereka dengan ISIS selesai. Perang di Irak memang semakin rumit, dan ISIS memanfaatkan situasi ini dengan baik.
Tidak pernah ada perdamaian di Timur Tengah selama AS dan Sekutunya terus mendorong perang, dan ingin membunuh lebih banyak lagi terhadap Muslim, dan didukung para pemimpin munafiq Arab. [afgh/dbs/voa-islam.com]