Kamis, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Januari 2015 11:50 wib
10.637 views
Kecelakaan Pesawat dan Pelajaran yang Bisa Diambil Kalangan Harokah
Ikhwatul Iman rohimakumulloh,
Dengan segala kerendahan hati, kami mencoba menyusun penggalan-penggalan berita dan artikel/ tulisan yang bersebaran di dunia maya (internet) agar kita semua secara cepat dapat menyadari dan mengambil langkah-langkah antisipasi guna menghindari musibah ‘kecelakaan’ harokah yang kita perjuangkan. Semoga sang penulis berita atau artikel yang menjadi sumber dari susunan tulisan ini juga memaafkan penyusun karena tidak sempat meminta izin penukilan dengan modus copy-paste ini.
Ikhwanul Kiraam, Setidaknya ada 3 hal yang menjadi fokus analisa tentang penyebab kecelakaan AirAsia QZ8501. Kecelakaan pesawat yang membawa 155 penumpang, yaitu 138 penumpang dewasa, ada 16 anak dan satu bayi. Dan ada pula kru pesawat yang terdiri dari dua pilot, empat awak kabin dan satu teknisi.
3 fokus analisa itu menyangkut:
1. Cuaca yang buruk.
2. Pilot tidak diizinkan oleh Menara Pengawas untuk menaikkan ketinggian agar mendapat ruang manuver pesawat lebih luas dalam kondisi semacam itu.
3. Dan jadwal terbang dimajukan ke jam-jam penerbangan yang padat. Begitulah ulasan sebahagian pakar tentang sebab terjadinya kecelakaan pesawat Airbus A320-200 milik Air Asia dengan dengan nomor registrasi PK-AXC dan kode pesawat QZ8501.
Hikmah Harokiyah
1. Cuaca yang Buruk (?) sebagai gambaran Situasi dan Kondisi yang melingkupi Kaum Muslimin.
Sebenarnya mengatakan cuaca itu buruk adalah masalah aqidah, perkataan ini hanya lahir dari mereka yang kafir atau minimal kufur nikmat. Maksimal kita hanya boleh mengatakan perubahan cuaca, sedangkan berakibat buruk atau tidak amat tergantung bagaimana kita mengelola cuaca tersebut.
Bagi para petani dan mungkin yang lainnya, banyaknya awan Cumulonimbus (Cb) tentu sangat ditunggu karena dengan adanya awan yang merupakan ciptaan Alloh itu maka IA akan membuat mahkluknya yang lain, bernama hujan.
Sedangkan untuk para scientis dan tehnolog, keberadaan awan semacam itu merupakan peluang dan tantangan untuk menemukan dan membuat perangkat tekhnologi yang bisa mengamankan penerbangan pesawat dari kondisi cuaca dan dampaknya.
Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengabarkan bahwa kelak akan datang suatu masa dimana ummat Islam akan berada dalam keadaan yang sedemikian buruknya sehingga diumpamakan sebagai laksana makanan yang diperebutkan oleh sekumpulan pemangsanya.
Hadits tersebut berbunyi sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam kemudian menjelaskan apa sesungguhnya yang melatarbelakangi ummat Islam di masa itu sehingga menjadi terhina dan kehilangan kemuliaannya.
وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Jadi, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebut penyakit ummat Islam tersebut dengan istilah ”Al-Wahan”.
Suatu istilah baru yang menyebabkan para sahabatpun bertanya-tanya. Sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mendefinisikannya dengan uraian yang singkat namun sangat jelas.
فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.”
Iniah ‘awan Comulonimbus (Cb)’ yang dituduh sebagai penyebab cuaca menjadi kurang bershahabat oleh pakar penerbangan. Dimana ia juga melingkupi route ‘penerbangan’ jama’ah Islam yakni Al Wahn.
Cinta dunia dan takut mati menyebabkan seruan dan peristiwa Jihad terjadi namun tidak mampu didengar dan dipahami kebanyakan Ummat Islam.
Bahkan pada titik ekstrimnya, secara sadar atau tidak sadar, banyak kaum muslimin terjebak dalam memunafikan karena justru berkomplot dengan musuh-musuh Islam yang gencar memerangi Jihad dan Mujahidin.
Namun bagi kita tentunya, kebodohan awam dan kelemahan ulama tidak lebih menyakitkan daripada futurnya dan wujudnya pengkhianatan sebagian shahabat yang sejak mula satu jalan dalam perjuangan.
Walaupun semua akar dari permasalahan itu ternyata sama, yakni penyakit Al Wahn sebagaimana yang disabdakan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam diatas.
Bagaimana kebanyakan kita tidak tertular penyakit ini sedangkan kaum kuffar mendominasi hegemoni dunia dimana kekuasaan adalah wahana strategis untuk memaksakan gaya hidup kuffar yang serba materialistis.
Kita memang sedang menjalani era paling kelam dalam sejarah dimana kaum kuffar sedang mendapat giliran mengarahkan dan menguasai ummat manusia sedunia, maka konsep hidup kaum kuffar itulah yang mewarnai kehidupan manusia pada umumnya tanpa kecuali teradap ummat Islam yang berjumlah 1,6 milyar jiwa ini.
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ar-uum ayat 7)
Kaum kuffar tidak mengenal dan meyakini adanya kehidupan selain di dunia yang fana ini. Mereka sangat peduli dengan kemenangan, keberhasilan, kebahagiaan dan kekuasaan di dunia ini.
Mereka menyangka bahwa dunia merupakan kehidupan yang final. Sehingga mereka mati-matian berjuang untuk meraih segala target keberhasilan duniawi sambil lalai alias tidak peduli dengan keberhasilan di akhirat.
Mengapa demikian?
Karena sesungguhnya mereka tidak pernah meyakini adanya kehidupan akhirat. Ummat Islam yang lemah dan kehilangan giliran memimpin ummat manusia, akhirnya menjadi lemah pula dalam hal keyakinan serta sikap hidup.
Mereka mulai ketularan penyakit kaum kuffar, yakni mencintai dunia. Lalu mereka mulai melupakan bahwa kehidupan akhirat itulah sesungguhnya kehidupan yang sejati.
Lupa bahwa di dunia yang ada hanyalah fatamorgana dan sementara. Baik itu dalam hal kebahagiaan maupun penderitaan. Semua hanyalah fatamorgana dan bersifat fana.
Sedangkan di akhirat kelak, segenap kebahagiaan dan penderitaan bersifat sejati dan abadi.
Dewasa ini, sebagian besar saudara muslim kita akhirnya mengejar dunia sedemikian seriusnya, namun bermain-main dalam mengejar akhirat. Padahal Allah justru menggambarkan bahwa di dunia segala sesuatunya seharusnya tidak diambil terlalu serius, sedangkan untuk urusan akhiratlah semestinya seseorang berlaku tidak main-main.
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS Al-Ankabut 64)
2. Pilot dan Menara Pengawas serta hubungan keduanya secara imbal balik dalam perspektif Jama’ah Pergerakan Islam.
Kepemimpinan dalam Gerakan Islam Sekalipun kondisi jama’ah pergerakan Islam belum lagi mencapai kondisi ideal untuk menerapkan pola kepemimpinan syar’i secara utuh, akan tetapi nilai-nilai normatif dan praktis yang terkandung dalam koridor syar’i tetap menjadi pedoman sesuai level kemampuan pada realitas yang melingkupinya.
Peran Imam dengan para umaro’nya bisa diturunkan dalam jama’ah pergerakan sebagai hubungan antara Muraqqib ‘Aam dengan Dewan Tanfidziyah Jama’ah.
Seperti hubungan Menara Pengawas (perumpamaan Muraqqib ‘Aam) dengan Pilot (Captain), Co Pilot (Flight Officer), Flight Engineer, Senior Flight Attendant dan para Flight Attendant pembantu lainnya (perumpamaan Dewan Tanfidziyah).
Tentu saja agar penerbangan bisa mengikuti standar pedoman Internasional hingga tujuan terwujudnya keamanan dan keselamatan penerbangan tercipta, maka kriteria personal dan Alat Utama penerbangan beserta Instrument kedua pihak (Menara Pengawas/Muraqqib ‘Aam dan Pilot beserta pembantunya/ Dewan Tanfidziyah) harus terpenuhi.
Misalnya, Menara Pengawas/ Muraqqib ‘Aam/Amir Jama’ah harus memenuhi kriteria:
a. Penunjukan resmi atau pilihan ummat.
b. Bekerja dengan integritas dan kapabilitas yang memadai.
c. Bekerja dengan dukungan keberadaan ‘menara’ yang mampu mengakses pandangan secara luas dan lengkap, baik langsung (pandangan mata) ataupun instrument pengawasan lainnya.
d. Senantiasa membangun komunikasi yang baik dan jelas sekalipun ringkas.
Sedangkan Pilot dan Staff yang kita umpamakan sebagai Dewan Tanfidziyah/Amir Biniyabah harus:
a. Pengangkatan secara formal.
b. Memiliki prestasi, loyalitas, dedikasi dan track record perjuangan yang tidak tercela.
c. Sanggup bekerja pada tingkat tekanan yang tinggi (misalnya, minim apresiasi dan tingginya resiko serta tanggung jawab)
d. Bekerja dengan dukungan wahana (pesawat/ jamaah), bahan bakar (financial) dan instrument yang dibutuhkan dan personal pendukung penerbangan lainnya.
e. Ruang ‘inisiatif’ yang proporsional agar mampu bermanuver secara cepat dan aman.
f. Prosedur kerja yang baku dan teruji bagi keamanan dan keselamatan penerbangan.
g. Mendapat bantuan arahan dari Menara secara terus menerus, akurat, lengkap dan berkesianambungan.
h. Dll.
3. Jadwal Terbang sebagai nuansa rutin dan momentum gerakan Islam.
Disinilah peran keseluruhan Manajemen penerbangan/ pergerakan Islam untuk dapat membagi dan membaca agenda dan nuansa pergerakan secara syar’i dengan tetap mempertimbangan aspek waqi’i.
Kesalahan menjadwal, bukan saja membuat jatuh atau terjebaknya pergerakan pada satu momen penerbangan/ perjuangan namun juga bisa menjatuhkan atau membubarkan pergerakan dengan menyisakan residu berupa kredibilitas yang tercela, wa’iyyadzubillah!
Disamping korban jiwa dari para penumpang (a’dho) namun juga jatuhnya mental ideologis para pejuang berhadapan serangan dan kekuatan musuh yang terorganisasi dengan baik.
Peran para Mufakkir disini menjadi sangat penting dan pokok, hal mana justru kerja dan peran para Mufakkir masih belum diapresiasi secara baik. Wallohul Musta’an.
Berkaitan dengan jadwal adalah tiga hal yang harus terus dikelola dan dibaca dengan benar, yakni:
1. Tempat
2. Keadaan (situasi dan kondisi)
3. Waktu
Dalam konteks inilah maka kita membutuhkan sebuah badan dalam jama’ah yang berperan sebagai Think Tank.
Secara sederhana, Think tank adalah sebuah badan dalam jama’ah yang didedikasikan untuk penelitian dan pembahasan permasalahan yang dihadapi pergerakan. Think tank diperlukan mendukung kerja strategis pengembangan gerakan Islam.
Folus kiprahnya adalah berupaya meretas kemungkinan solusi terbaik atas permasalahan yang muncul, selain terlibat dalam penyebaran informasi dan advokasi untuk membangun ketertarikan dan keterlibatan masyarakat atas masalah-masalah pergerakan dan pembebasan Ummat.
Secara fungsional, lembaga Think Tank dalam jama'ah gerakan Islam diambil oleh Dewan Syuro maupun Majelis Syariah secara khusus. Mereka adalah para Naib Amir, baik yang difungsikan karena kafa'ah ilmiyahnya maupun posisi strukturalnya.
Think tank sendiri dapat ditemukan di seluruh dunia dengan berbagai fokus seperti isu lingkungan, teknologi, kemiskinan, hukum, kebijakan luar negeri, ekonomi, pendidikan. Sejumlah pemikiran cerdas di level dunia, didasari hasil kerja think tank.
Istilah slang “think tank” untuk aktivitas pemikiran, hadir pada awal abad XX, penggunaan dalam konteks kerja kolektif/terlembaga timbul sekitar tahun 1950-an, meskipun konsepnya sudah hadir merespon isu-isu yang jauh lebih tua.
Biasanya staf di sebuah think tank cukup banyak, dan idealnya sangat beragam, didukung pribadi-pribadi berkarakter dan pandai serta berpengalaman dalam memberi solusi inovatif dengan keragaman pendekatan.
Sungguh, Jama’ah sebagai lembaga pergerakan Islam, perlu keragaman disiplin pemikiran, bukan melulu “keseragaman pendekatan” yang nantinya memiskinkan gagasan.
Apalagi idealisme penegakan Syariat yang meniscayakan keberadaan dan peran kekhalifahan untuk melayani kaum muslimin dan kemanusiaan secara keseluruhan. Wallohu Ta’ala a’lamu bis showwab! (Abu Fatih/Voa-Islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!