CAIRO (voa-islam.com) - Universitas al-Azhar merupakan 'milestone' (tonggak) sejarah yang sangat penting dalam membangun dan menyebarkan nilai-nilai Islam ke seluruh penjuru dunia.
Namun, bersamaan dengan cengkeraman rezim al-Sisi yang berkuasa sekarang, mereduksi peranan al-Azhar yang dianggap menjadi saranan penyebaran ekstrimisme.
Sheikhul al-Azhar Sheikh Ahmed Thayib yang menjadi pendukung al-Sisi, dan terlibat dalam penggulingan Presidenn Mohammad Mursi, merencanakan melakjukan perubahan secara radikal terhadap kurikulum al-Azhar.
Al-Azhar hanya akan menjadi tempat belajar tentang Islam, yang sudah dioreintasikan kepada kepentingan 'penjajah' asing, dan menyenangkan mereka, sejalan dengan rezim berkuasa di Mesir yang mendapatkan dukungan Barat dan Zionis Israel.
Imam Besar Universitas Al Azhar, Mesir, menyerukan perubahan secara radikal atas sistem pengajaran Islam di Universitas al-Azhar. Ini menggantisipasi lahirnya faham radikal dan ekstrim dari al-Azhar. Syeikh Ahmed al-Tayib mengatakan hal tersebut, Minggu 22 Februari, dalam konfistem konferensi kontraterorisme di Mekkah, Arab Saudi.
Dibagian lain, rencana untuk 'globalisasi' itu diumumkan Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry, saat menghadiri konferensi memerangi ekstrimisme di Washington, Amerika Serikat.
Shoukry mengatakan bahwa tindakan kelompok militan merupakan penghinaan atas Islam. "Pada akhrinya tanggung jawab untuk menghadapi ideologi kekerasan berada di kalangan umat Islam sendiri," tuturnya.
Mesir melancarkan serangan udara atas posisi-posisi kelompok militan di Libia setelah 21 Kristen Koptik (Ortodok) asal Mesir dipancung oleh kelompok militan yang mengaku memiliki hubungan dengan Negara Islam atau ISIS tersebut. Sejatinya 21 Kristen Koptik itu, tidak lain, pasukan militer Mesir yang dikirim ke Libya untuk memerangi Mujahidin oleh al-Sisi.
Sementara itu Menlu Amerika Serikat, John Kerry, mengingatkan kelompok-kelompok ekstrimis Islam memiliki strategi jangka panjang.
Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah yang ingin memerangi terorisme harus berpikir lebih meluas tentang bagaimana menghadapi ideologi radikal dan menghentikan teroris mengeksploitasi keluhan-keluhan orang.
"Anda harus melakukan semua hal. Anda harus menarik orang-orang itu dari medan perang, tempat mereka berada sekarang," kata Kerry menjelaskan. Dia juga menyerukan kerja sama antar negara untuk menyusun sebuah rencana guna mencegah ideologi kekerasan berkembang.
Saat membuat konferensi Rabu (18/02), Presiden Barac Obama menegskan bahwa perang bukan dengna Islam, namun dengan teroris yang menyelewengkan Islam'.
Perwakilan dari lebih dari 60 negara hadir dalam konferensi yang digelar menyusul adanya serangkaian serangan Islamis di Denmark, Prancis dan Australia.
Menurut al-Thayib terorisme terkait dengan interpretasi yang salah atas Quran dan ajaran Nabi Mohmmad, yang dipimpin oleh sejumlah orang.
Lahirnya gerekan jihad yang sekarang memerangi kepentingan Barat, membuat para 'pengabdi' Barat di sejumlah negara, termasuk Mesir, penguasanya ingin menjadi lembaga pendidikan Islam, tidak boleh melahirkan faham-faham ekstrim dan fundamentalis yagn mengancam kepentingan Barat di dunia Islam.
"Harapan satu-satunya bagi Bangsa Islam untuk memulihkan persatuan adalah mengatasi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas kecenderungan ini, yang menuduh umat Islam kafir," katanya seperti dikutip kantor berita AFP.
Sekalipun, Sheikh al-Tayib tidak merujuk pada yang menamakan diri ISIS dengan menyebut 'kelompok-kelompok teroris'. Namun, bisa dipahami langkah yang akan diambil Sheikhul al-Azhar ini mencerminkan akan terjadi perubahan secara drastis sistem pendididikan di al-Azhar di masa depan.
Konferensi selama tiga hari di Mekkah ini dilaksanakan oleh Liga Muslim Dunia, yang terdiri dari organisasi nonpemerintah, dan dihadiri ulama-ulama senior dari berbagai negara Islam.
Pekan lalu, dalam konferensi memerangi ekstrimisme di Washington, Menteri Luar Mesir, Sameh Shoukry, mengumumkan al-Azhar akan memperluas upaya pengajaran toleransi Islam secara global.
Al Azhar -yang berawal dari masjid dan kini memiliki universitas- merupakan lembaga terkemuka Islam Sunni terkenal di dunia yang mengajarkan studi-studi Islam, antara lain Syariah Islam.
Semua langkah yang sekarang digalang oleh sejumlah ulama itu, nampaknya hanya menjaga kepentingan para penguasa di negara-negara Islam yang sudah menjadi alat kepentingan penjajah Barat, yaitu Amerika, Eropa, yang ditunggangi kepentingan Zionis-Israel.
Bagaimana Sheikhul al-Azhar ingin memperluas toleransi di dunia Islam? Siapa sejatinya yang tidak toleran?
Mengapa Sheikhul al-Azhar tidak mengutuk dan berbicara tentang kejahatan dan kebiadaban Barat, Amerika dan Eropa yang sudah menjadi 'proxy' Zionis, dan melakukan kejahatan kemanusiaan di Palestina, Irak, Afghanistan, dan sejumlah negara lainnya?
Tapi, justru memutarkan balikan fakta, di mana Musllim dituduh tidak toleran? Komplotan para penjahat yang berkedok 'ulama' yang sudah bersedia menjadi alat Amerika, Eropa, Zionis, dan para penguasa negeri-negeri Muslim yang tangan penuh dengan lumuran darah Muslim. (mashadi/dbs/voa-islam.com)