Kamis, 1 Jumadil Akhir 1446 H / 16 Mei 2024 05:29 wib
7.163 views
Pornografi Anak, Mungkinkah Diberantas dengan Aturan ala Kapitalisme?
Oleh : Dede Anggi
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto menyebut Indonesia masuk peringkat keempat sebagai negara dengan kasus pornografi anak terbanyak. Korbannya tidak tanggung-tanggung, yakni dari disabilitas, anak-anak SD, SMP, dan SMA, bahkan PAUD. (Liputan 6). “Temuan konten kasus pornografi anak Indonesia selama empat tahun sebanyak 5.566.015 kasus. Indonesia masuk peringkat keempat secara internasional dan peringkat kedua dalam regional ASEAN,” ujar Hadi dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis (18-4-2024).
Namun, ia menuturkan jumlah tersebut belum menggambarkan kondisi di lapangan. Pasalnya, masih banyak korban yang enggan mengungkap kasusnya. Salah satunya dengan menurunkan atau melakukan takedown konten terkait itu di media sosial. Di lapangan, pornografi juga berdampak pada mahalnya perlindungan sosial bagi anak. Betapa banyak kasus pemerkosaan maupun pelecehan seksual pada anak. Menyedihkannya, tidak sedikit pelaku kasus asusila ini adalah orang terdekat korban. Ada ayah kandung, kakak kandung, kakek, paman, maupun teman dekat.
Pemicu tindakan tersebut beragam. Mulai dari pengaruh pergaulan bebas, minuman keras, konten pornografi yang mereka akses, hingga tuntutan ekonomi. Tentu realitas ini membuat kita miris. Saat ini, banyak aplikasi yang berkonotasi seksual dengan konten 18+. Pada usia anak yang masih belia, di kehidupan mereka hadir predator seksual. Tidak cukup melakukan pelecehan, perilaku bejat mereka direkam lalu diunggah demi meraup cuan. Meski menjadi objek eksploitasi, si anak yang tidak memahami hukum terkadang hanya pasrah hingga kasus tersebut menguap begitu saja.
Beragam langkah antisipasi dan upaya mereduksi kasus telah pemerintah lakukan. Sayang, semuanya seakan tumpul mengurai problem pornografi anak. Peringkat empat dunia dalam kasus pornografi anak sejatinya menunjukkan betapa negeri ini memiliki masalah sosial yang kompleks. Walhasil, hal ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyerukan pentingnya edukasi seks atau sekadar memeriksa kondisi psikologi pelaku. Jikapun terlihat mendiskusikan masalah ini, perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral seakan mental di tengah konsep kebebasan yang masyarakat anut. Ketika kasus pornografi anak membludak, misalnya, seampuh apa edukasi seksual pada anak jika kondisi sosial luput dari penelaahan?
Pemeriksaan psikologi pelaku tentu tidak boleh mengabaikan kondisi sosial dengan stimulus seksual yang bertebaran. Pornografi adalah masalah besar dalam sistem sekuler hari ini. Ini bukanlah masalah sederhana, tersebab dampaknya yang besar terhadap kondisi sosial masyarakat. Bukan hanya menambah daftar panjang penyakit sosial masyarakat, yang terpenting adalah nasab keturunan yang kian kacau. Belum lagi bicara mengenai kondisi mental para korban, besar kemungkinan mereka akan mengalami trauma hingga larut dalam keputusasaan.
Apakah ini masalah individual semata? Tentu tidak, bukan? Masyarakat sudah muak dengan banyaknya kasus asusila yang mengorbankan anak. Dengan demikian, penguasa sebagai representasi negara wajib memberikan perlindungan hakiki pada anak. Negara jangan hanya melihat pornografi sebatas dari apa yang disebut “konten dewasa”, sedangkan pada saat yang sama abai membenahi sistem sosial masyarakat. Hanya saja, dalam sistem sekuler, prinsip kebebasan yang dianut masyarakat seakan menjadi batu sandungan. Menjadi dilema tatkala negara harus melanggar prinsip kebebasan, sedangkan kasus terus bertambah. Ada dilema sosial bagi masyarakat sekuler, yakni menghadirkan agama sebagai solusi dan menjadikannya pilihan spiritual personal saat negara berlepas tangan. Akan tetapi, tidak ada pilihan selain kembali pada petunjuk Sang Khalik yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.
Industri pornografi muncul karena ada “pasar” yang membutuhkan pelampiasan dari stimulus yang ada di tengah masyarakat. Pornografi anak tidak ada bedanya dengan industri syahwat lainnya, yakni muncul karena mutualisme konsumen dan produsen. Di sisi lain, sistem ini menganut prinsip kebebasan untuk melampiaskan stimulus tersebut. Untuk mengurai masalah pornografi, Islam memiliki konsep khas. Pertama, menerapkan syariat yang melindungi sistem tata sosial.
Dalam Islam, sistem tata sosial (ijtima’iy) diatur dengan seperangkat syariat mengenai interaksi manusia. Secara umum, Islam juga memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga interaksi, tidak berdua-duaan, tidak bercampur baur dan berinteraksi (kecuali dalam perkara muamalat, pendidikan, dan kesehatan). Islam pun mengatur agar laki-laki dan perempuan sama-sama menjaga kemuliaan dan kehormatan demi terwujudnya tata sosial yang sehat.
Negara juga berperan melindungi masyarakat dari informasi dan visualisasi media yang mengacaukan sistem sosial masyarakat. Negara tidak boleh berkompromi dengan industri pornografi dengan alasan prinsip kebebasan. Negaralah yang justru akan menjadi perisai dan melindungi siapa pun dari paparan konten pornografi. Penelaahan terhadap syariat tidak akan memunculkan perdebatan panjang mengenai definisi pornografi. Dalam Islam, batasan aurat perempuan maupun laki-laki sudah sedemikian gamblang.
Kasus pornografi terkategori kasus takzir dalam syariat Islam. Jenis hukuman bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Pada kasus pornografi yang berkaitan dengan perzinaan, maka akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Bagi ghayru muhsan 100 kali cambuk, sedangkan muhsan berupa hukuman rajam. Demikianlah mekanisme Islam agar sistem sosial masyarakat sehat.
Kondisi ini sekaligus menjadi langkah strategis negara untuk melindungi seluruh warga, entah sebagai korban maupun mencegah mereka yang berpotensi menjadi pelaku. Menyelesaikan masalah pornografi anak membutuhkan penelaahan realitas dan komparasi sistemis. Sangat jelas kegagalan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dalam melindungi anak. Hanya sistem Islam yang memiliki konsep ideal untuk melindungi anak dan memutus mata rantai pornografi pada anak. Wallahu'alam Bishawab. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!