Senin, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 28 Oktober 2019 13:20 wib
4.556 views
Potensi Perlawanan
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Kabinet selesai, tapi masalah belum selesai. Atau mungkin awal lagi dari masalah. Masalahnya adalah soliditas, keakuran dan kebersamaan baik lingkungan dekat maupun luas. Ada yang sejak dini mengecam karena kecewa adapula yang mengintip dulu kemana angin bertiup.
Pertanyaan adalah berubahkah Jokowi kini sebagai penentu permainan ataukah tetap sebagai obyek yang dimainkan. Jika sebagai penentu berarti ada kemajuan, Jokowi lebih percaya diri untuk menjadil manajer dan konduktor. Bila tidak, berarti iklim internal masih seperti periode lalu bahkan potensi konflik membesar.
Untuk kondisi pertama potensi perlawanan terkuat datang dari luar kabinet. Kubu 02 yang sejak awal bersemangat untuk mengganti Presiden tidak terpengaruh oleh masuknya Prabowo dalam kabinet. Mereka melihat sumber masalah negeri adalah kepemimpinan Jokowi.
Isu komunisme, dominasi China, masalah pelanggaran HAM aksi 22 Mei, mahasiswa yang ditembak, ratusan petugas pemilu yang tewas, "pembuangan" HRS, merupakan persoalan yang tak mudah hilang dan akan terus menjadi tagihan. Kubu Jokowi yang kecewa daengan "rekonsiliasi" dan memarjinalisasi peran mereka, potensial melawan pula. Mahasiswa punya tuntutan soal Korupsi.
Di internal, perang tekanan saat penyusunan kabinet juga menyisakan dendam. Koalisi pendukung Jokowi yang 'all out' membela ternyata tidak mendapat kursi yang dibayangkan. Manuver Prabowo-Mega membuat impian pupus. Menjadi minimal.
Prabowo menjadi hantu yang mengganggu. Ada istilah "genk merah" Jenderal yang mungkin marah. Suryo Paloh bewoknya bergerak gerak. Akan terbangun kubu yang saling sikut dan bermain di dalam. Jika Jokowi lemah tentu konflik internal menjadi potensial menggerogoti kekuasaan.
Dua kementrian gojang ganjing. Kementrian Agama dan Pendidikan & Kebudayaan. Ada pemutusan sejarah dan proporsi. NU sangat kecewa atas pengambilalihan kursi Menteri Agama oleh TNI dari ormas Mathlaul Anwar. PB NU meradang, Ansor dan Banser bisa bisa terpapar radikalisme.
Di sisi lain Kemendikbud yang beberapa kali dipegang oleh tokoh Muhammadiyah kini lepas. Meski Muhajir menjadi Menko PMK tapi "kebutuhan" dan proporsi Muhammadiyah justru ditataran kebijakan teknis kementrian. Nadiem akan disorot tajam terus oleh Muhammadiyah dan dipelototi aktivis dunia pendidikan. Jika NU dan Muhammadiyah "bersatu kepentingan" bukan hal yang mudah untuk ditahan gerakannya.
Potensi perlawanan lain adalah dalam konteks global. Dengan Luhut masih memegang jabatan strategis sebagai Menko Maritim dan Investasi, maka kepentingan China dalam memperluas kekaisarannya melalui "new silk road" tetap terjembatani. Ekspansi bisnis dan politik China mengundang kekuatan Amerika. Ini lawan berat Jokowi. Papua diganggu saja Pak Jokowi sudah kelabakan. Brimob yang biasa beringas mati kutu. Jenderal dan agen Amerika masih kuat di negeri ini.
Potensi perlawanan menjadikan periode kedua Jokowi jauh lebih berat. Apalagi jika terjadi krisis ekonomi baik pengaruh global atau di tingkat nasional sendiri. Mampukah Jokowi bertahan ? Sangat tergantung pada perubahan sikap politiknya.
Jika sama saja seperti dahulu yang lebih mengedepankan pencitraan, oligarkhis dan jauh dari berkhidmat pada rakyat dan umat, maka Jokowi tidak akan menikmati kekuasaan hingga akhir. Mungkin cepat saja.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!