Ahad, 13 Jumadil Akhir 1446 H / 23 Juli 2023 13:30 wib
44.970 views
Menyoal Dikabulkannya Nikah Beda Agama
Oleh: R. Raraswati
Pernikahan beda agama menjadi fenomena baru di Indonesia. Beberapa pengadilan agama ketok palu mengesahkan pernikahan beda agama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Tangerang, Surabaya, dan Yogyakarta merupakan PN yang mengabulkan permohonan nikah beda agama. Bukan tanpa sebab, fenomena ini ditetapkan berdasarkan UU Adminduk dan alur sosiologi (detiknews.com, 25/6/2023).
Alasan Tak Logis
Untuk mengesahkan pernikahan beda agama dibuatlah berbagai alasan, diantaranya adalah sosiologi, keberagamaan. Sementara itu, Hakim PN Jakarta Pusat Bintang AL menyampaikan bahwa putusan sudah dengan pasal 35 huruf a UU 232006 tentang Adminduk dan berdasarkan putusan MA Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi izin nikah beda agama (detiknews.com, 28/6/2023).
Menurut Bintang, perkawinan beda agama wajar adanya karena letak geografis Indonesia, heterogenitas penduduk dan berbagai macam agama sah diakui keberadaannya, sehingga ia merasa ironis jika perkawinan beda agama tidak dibolehkan. Padahal, justru pendapatnyalah yang ironis karena memberi solusi dari suatu masalah dengan kacamata sekuler, memisahkan syariat agama dari kehidupan. Padahal hukum Allah dalam hal ini agama Islam harusnya ditempatkan pada posisi teratas. Allah yang menciptkan manusia, lebih mengerti aturan yang terbaik bagi hamba-Nya, bukan semata-mata karena letak geografis suatu wilayah ataupun keragaman penduduknya hingga menabrak syariat.
Lain halnya dengan PN Jakpus, Hakim PN Yogyakarta mengesahkan pernikahan pasangan Katolik dan Islam dengan alasan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat, mengingat keberagaman dalam pergaulan sehingga bisa mencegah “kumpul kebo”. Atas nama kemaslahatan masyarakat, seorang hakim rela menabrak syariat Islam yang sesungguhnya lebih sempurna dalam membuat aturan. Justru ketika manusia taat, tunduk dan patuh pada syariat Islam, kemaslahatan dapat diraih. Sungguh, semua alasan para hakim tersebut tidak logis dalam agama Islam.
Konsep Sekulerisme dalam Pergaulan
Sebelum muncul pengesahan nikah beda agama, ternyata ada pergaulan rusak yang terjadi. Pergaulan bebas tanpa batas karena mengesampingkan aturan agama menjadikan hubungan seseorang dilakukan atas dasar saling suka. Ditambah lagi dengan hak asasi manusia yang menjadi dasar dari setiap perbuatan pada penerapan konsep sekuler.
Konsep sekulerisme ini pula yang menjadi awal rusaknya pergaulan. Paham kebebasan dalam berbuat, seolah menjadi aturan yang harus dijunjung tinggi dibanding lainnya, termasuk syariat Islam. Konsep ini telah meracuni pemikiran umat secara individu maupun bermasyarakat. Maka dari itu, pernikahan beda agama dianggap wajar dan justru harus diperjuangkan.
Padahal jelas, dalam Islam dilarang seorang muslim menikah dengan nonmuslim. Keberagaman merupakan sesuatu yang fitrah, namun bukan berarti dijadikan alasan bolehnya seorang muslim menikah dengan pasangan beda agama. Ini alasan yang salah sebagai akibat diterapkannya konsep sekulerisme.
Hukum Nikah Beda Agama dalam Islam
Islam agama yang sempurna dalam mengatur seluruh lini kehidupan manusia. Pernikahan beda agama menurut fikih Islam ada tiga hukum.
Pertama, boleh bagi laki-laki muslim menikah dengan wanita kafir Ahli Kitab, yaitu wanita kafir yang beragama Yahudi dan Nashrani dengan syarat selama tidak menimbulkan mudharat bagi laki-laki muslim tersebut. Dalilnya adalahAl-Qur’an Surah Al-Maidah: 5
Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu pernikahan tersebut bisa diharamkan secara syar’i jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), misalnya suami justru murtad mengikuti agama istrinya, meski hukum pokok yang mubah tetap ada dan tidak hilang. Berdasarkan kaidah fiqih menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, setiap kasus dari perkara yang mubah, bila terbukti berbahaya atau membawa pada bahaya, maka kasus tersebut diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 3/456).
Kedua, haram bagi laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik, yaitu wanita kafir yang beragama selain Yahudi dan Nashrani. Misalnya, laki-laki yang menikahi wanita beragama Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, atau penganut Komunisme (tidak beragama), atau penyembah berhala (watsaniyah), dan yang semisalnya, maka hukumnya haram. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya:“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu…” (QS. Al-Baqarah : 221).
Ketiga, haram bagi wanita muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim, baik laki-laki kafir Ahli Kitab maupun laki-laki kafir musyrik. Hal ini sebagaimana firman Allah dalamAl-Qur’an Surah Al-Baqarah: 221 dan Al-Qur’an Surah Al-Mumtahanah: 10.
Penutup
Syariat Islam merupakan aturan baku yang wajib dijadikan petunjuk hidup. Soal nikah beda agama, negara wajib menetapkan aturan dengan tegas, demi menjaga akidah umat. Negara juga wajib memberikan edukasi tentang syariat Islam secara menyeluruh kepada kaum muslimin. Dengan demikian, pernikahan batil tidak akan terjadi karena pemahaman dan kesadaran umat untuk terikat pada syariat Islam.
Wallahu a'lam bisshawwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!