Jum'at, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 10 April 2020 16:27 wib
5.922 views
Syubhat Anjuran Merokok di Tengah Wabah Covid-19
Oleh:
Syahrullah Asyari
Alumni Ma'had Al Birr Makassar, Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNM
ORANG Arab saat ini menyebut virus corona (covid-19) sebagai "فيروس كورونا" dibaca "Fairus Kuruna". Dalam kamus al Munawwir (Arab-Indonesia), kata "كورونا" dibaca "Kuruna" digandengkan dengan kata "جيكيه" dibaca "Jiykeh" menjadi "كورونا جيكيه" artinya "Koruna Cekoslowakia". Kata "كورونا" yang dimaksud dalam kamus al Munawwir ini adalah nama mata uang sebuah negara.
Adapun penggunaan istilah "كورونا" yang menunjuk pada makna virus atau penyakit belum ditemukan dalam kamus berbahasa Arab, baik kamus al Ma'aniy (المعاني), maupun kamus berbahasa Arab lainnya, seperti: معجم الغني (Mu'jamu al Ghaniy) dan معجم المعاصرة (Mu'jamu al Mu'ashirah). Terlebih lagi dalam لسان العرب (Lisaanu al Arab). Dengan demikian, kata "كورونا" yang menunjuk pada makna virus atau penyakit dapat dikatakan sebagai kata yang relatif baru bagi orang Arab saat ini. Ini termasuk kata bahasa Arab serapan dari bahasa 'ajam. Sehingga, kata ini tidak memiliki akar kata bahasa Arab.
Terkait istilah virus corona yang berbahasa Arab, ada sebuah tulisan berjudul, "Beruntunglah Para Perokok Berat di Dunia". Tulisan ini berisi syubhat anjuran merokok untuk melawan Virus Corona. Dalam tulisan ini, ada tautan berbahasa Arab yang mengesankan adanya kaitan virus corona dengan merokok. Tautan yang dimaksud adalah sebagai berikut. https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/قرناء/. Saya persilakan pembaca untuk mengakses laman tersebut secara langsung.
Lalu, apa itu "قرناء"?
Kata "قرناء" adalah bentuk jamak dari kata "قرين" dibaca "Qariin" artinya "teman" atau "pasangan" atau "gabungan" atau "rangkaian". Kata "قرناء" adalah salah satu dari banyak bentuk perubahan (تصريف) yang berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu: "قرن - يقرن - قرنا" artinya "merangkaikan, memasangkan, menggabungkan, menghubungkan". Karena "قرناء" adalah bentuk jamak, maka kata ini menunjuk pada makna banyak "teman" atau banyak "pasangan" atau banyak "gabungan" atau banyak "rangkaian".
Selanjutnya, ada apa antara "قرناء" dan rokok?
Istilah "قرناء" ini sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan rokok. Juga, pada tautan berbahasa Arab itu, sama sekali tidak disinggung tentang rokok. Apalagi penjelasan tentang pencegahan virus corona dengan asap rokok. Sama sekali tidak ada. Justru isi tulisan tentang rokok tersebut menuai kontroversi dan menebar syubhat di tengah kaum muslimin. Karena tulisan itu intinya merekomendasikan merokok untuk melawan virus corona (Covid-19). Landasan menyatakan demikian adalah penjelasan yang disandarkan pada Prof. Ali Bolgana, seorang pakar dari Mesir.
Tentu saja, penjelasan semacam ini butuh klarifikasi lebih lanjut. Pasalnya, rekomendasi yang disandarkan pada penjelasan Prof. Ali Bolgana itu bertentangan dengan penjelasan para pakar kaliber dunia yang tergabung dalam Science Media Center di Inggris, seperti: Prof. Ian Hall, Professor of Molecular Medicine, University of Nottingham; Prof. Gordon Dougan, Department of Medicine, University of Cambridge; dan Prof. Robert West, Department of Behavioural Science and Health at University College London. Ketika mereka ditanya tentang merokok dan kaitannya dengan Covid-19, mereka justru merekomendasikan para perokok untuk berhenti merokok, karena mereka rentan terkena gangguan pernapasan. Lebih detail, saya persilakan pembaca mengakses laman berikut. https://www.sciencemedia centre.org/expert-reaction-to-questions-about-smoking-and-covid-19/.
Menurut hemat saya, hubungan antara قرناء dan rokok adalah seperti yang orang sebut sebagai cocoklogi. Diduga karena Prof. Ali Bolgana adalah pakar yang pendapatnya tentang "merokok untuk melawan corona" dijadikan sandaran berasal dari Mesir, maka pembuat tulisan berisi syubhat itu pun menyesuaikan dengan konteks Arab. Akhirnya, dipilihlah kata bahasa Arab "قرناء" dibaca "Qurnaa'", karena kemiripan penyebutannya dengan "corona". Wallahu a'lam.
Bagi orang awam, khususnya para perokok, tulisan berisi syubhat ini tentu saja merupakan angin segar untuk melegitimasi kebiasaannya. Meskipun sebenarnya antara "قرناء" dan rokok tidak ada kaitan sama sekali. Motif pembuat tulisan berisi syubhat itu boleh jadi, karena alasan komersial memanfaatkan situasi wabah covid-19 ini untuk meningkatkan nilai jual rokok, atau hanya karena alasan solidaritas sesama perokok untuk melakukan pembelaan diri atas kebiasaannya, atau alasan yang lain.
Atas semua itu, sebenarnya Allah subhanahu wata'ala telah mengajarkan kepada kita untuk membiasakan klarifikasi (tabayyun) atas kebenaran informasi yang diperoleh (Lihat QS. al Hujurat: 6). Saat ini, para ilmuwan dunia tengah berlomba menemukan vaksin untuk Covid-19. Artinya, sampai sejauh ini, otoritas kesehatan dunia belum menyatakan secara resmi ditemukannya vaksin itu. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh begitu mudah percaya dengan informasi dari sumber yang tidak jelas dan sangat mungkin menyesatkan masyarakat, seperti tulisan berisi syubhat anjuran merokok untuk melawan Virus Corona. Apalagi menyebarluaskannya. Ini adalah konsekuensi dari keimanan kita akan datangnya hari pembalasan.
Tulisan pada pembungkus rokok, "merokok membunuhmu", adalah peringatan keras bagi masyarakat, betapa bahayanya merokok. Tulisan itu tentu bukan tanpa argumentasi medis yang ilmiah dan logis. Lebih jelasnya, silakan akses di google hasil riset dari banyak pakar, baik dari dalam, maupun dari luar negeri tentang pengaruh rokok bagi kesehatan. Anehnya, sejumlah orang kebakaran jenggot, ketika ulama memfatwakan "merokok itu haram". Padahal, fatwa itu lahir sebagai respon ulama atas alasan medis bahwa merokok membahayakan jiwa perokok, maupun orang-orang di sekitarnya, karena salah satu tujuan diturunkannya syari'at (مقاصد الشريعة) oleh Allah subhanahu wata'ala adalah menjaga manusia dari perilaku yang dapat membinasakan dirinya (حفظ النفس).
Lebih aneh lagi, di tengah Wabah covid-19, justru muncul syubhat berupa anjuran merokok dengan maksud sebagai vaksin atau obat untuk melawan Virus Corona. Padahal, fatwa bahwa merokok haram sudah jelas dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda,
"إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم". أخرجه البخاري معلقاً
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat dari sesuatu yang Allah haramkan bagi kalian.” Hadits ini diriwayatkan oleh al Bukhari secara mu'allaq
Orang yang kebakaran jenggot atas fatwa haramnya rokok, mungkin akan mengatakan bahwa ulama juga manusia, sehingga mungkin saja salah. Ini tentu reaksi yang berlebihan. Kita katakan, kalau ulama secara individu mungkin salah, tentu individu yang bukan ulama lebih mungkin salah. Mengapa? Karena ulama dalam hadits yang shahih dijamin bahwa merekalah pewaris nabi yang paling berhak menjelaskan perkara agama kepada kita sepeninggal beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"إن العلماء ورثة الأنبياء، إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر". رواه الترمذي وغيره وصححه الألباني
"Sesungguhnya ulama adalah pewaris nabi. Sungguh para nabi, mereka tidak mewariskan dinar maupun dirham. Sesungguhnya mereka hanya mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu yang mereka wariskan, maka ia telah mengambil keuntungan yang berlimpah." Hadits ini diriwayatkan oleh at Tirmidzi dan selainnya, Syaikh al Albani menshahihkan hadits ini.
Bahkan, orang yang paling takut kepada Allah subhanahu wata'ala di antara hamba-hamba Nya dalam berkata dan berbuat, termasuk menyikapi masalah rokok, hanyalah ulama. Mereka berfatwa atas dasar ilmu dan rasa takut (خشية) kepada Nya, bukan karena suatu kepentingan atau karena memperturutkan hawa nafsu. Inilah salah satu makna dari QS. Fathir: 28. Oleh karena itu, ketika suatu perbuatan telah dihukumi oleh mayoritas (jumhur) ulama, apalagi hukum atas suatu perbuatan itu adalah kesepakatan (ijma') ulama, maka seorang muslim mestinya menunjukkan sifat seperti sifat mu'min yang dipuji oleh Allah subhanahu wata'ala, ketika perintah atau larangan sudah jelas baginya, yaitu: sami'naa wa atha'naa (سمعنا وأطعنا), kami dengar dan kami ta'at (Lihat QS. an Nur: 51).
Perkataan "ulama juga mungkin salah" adalah perkataan yang biasanya dilontarkan oleh penganut relativisme dalam tradisi pemikiran Barat postmodernisme. Biasanya perkataan itu bertujuan mereduksi, atau bahkan ingin menggugurkan otoritas ulama sebagai satu-satunya kelompok yang mewarisi nabi dalam menjelaskan perkara agama ini. Bukan berarti tidak boleh berkata, "ulama juga mungkin salah", tetapi seorang muslim, pada khususnya, harus berhati-hati dengan perkataan tersebut, karena perkataan ini taruhannya adalah aqidah. Perkataan ini bisa berujung pada nihilisme. Yaitu paham bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada, karena yang salah dan yang benar sama saja. Tanpa sadar seseorang yang melontarkan perkataan tersebut mungkin sudah terjatuh pada peniadaan otoritas ulama saat ini, atau secara tidak langsung mengatakan bahwa QS. Fathir: 28 tidak berlaku lagi saat ini. Na'udzubillah min dzalik
Lalu, seperti apa orang yang boleh berfatwa?
Sederhananya adalah seperti yang disebutkan oleh al Imam al Ghazaliy rahimahullah bahwa jika ia betul-betul sudah yakin akan ilmunya berdasarkan al Qur'an, as Sunnah, Ijma', dan Qiyas, maka ia boleh berfatwa. Jika meragukan, maka ia jawab saja tidak tahu (laa adriy). Adapun menurut As-Sya’bi rahimahullah, menjawab tidak tahu termasuk setengah dari ilmu. Sementara itu, sahabat yang mulia Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu dengan tegas menyebut seseorang yang begitu gampang menjawab persoalan agama sebagai orang gila.
Terakhir, pembaca yang semoga senantiasa dirahmati Allah subhanahu wata'ala, ketahuilah bahwa ada dua jenis hidayah. Pertama, hidayah al irsyad (هداية الإرشاد). Kedua, hidayah at taufiq (هداية التوفيق). Hidayah al irsyad itulah ilmu agama Islam yang kita diperintahkan untuk mempelajarinya dan bahkan boleh jadi kita sudah memiliki hidayah al irsyad ini. Adapun hidayah at taufiq adalah kemampuan untuk beramal berdasarkan hidayah al irsyad yang sudah diperoleh. Inilah hidayah yang sangat mahal. Al Imam al Ghazaliy rahimahullah berkata, "مجاهدة النفس" artinya "Perjuangan melawan nafs (diri sendiri)". Inilah suatu tantangan besar bagi seorang muslim dalam beramal shalih, ketika hidayah al irsyad sudah ia dapatkan.
Semoga Allah subhanahu wata'ala senantiasa menuntun kita untuk mempelajari agama Nya dan memberikan kemampuan kepada kita untuk beramal berdasarkan ilmu Nya sesuai petunjuk para ulama.
Wallahu al Muwaffiqu ila Aqwami ath Thariq.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!