Sabtu, 5 Rabiul Akhir 1446 H / 27 Mei 2023 06:26 wib
30.495 views
Konser Coldplay Bukti Matinya Empati Negeri
Oleh: Dewi Royani
Band Rock Alternatif asal Inggris, Coldplay akan menggelar konser di Indonesia untuk pertama kalinya pada 15 November 2023. Agenda konser pun telah memunculkan gegap gempita di industri hiburan Tanah Air. Hal itu salah satunya ditandai dengan fenomena para penggemar band asal London, Inggris tersebut untuk berburu ticket war.
Di akun sosial media resmi PK Entertainment selaku promotor konser Coldplay di Indonesia disebutkan, tiket termahal dibanderol dengan harga mencapai Rp 11 juta, sedangkan yang termurah Rp 800 ribu (katadata.co.id,15/5/2023). Meskipun harga tiket yang terbilang mahal, para penggemar berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan tiket demi melihat Coldplay dari dekat. Dikutip tvonenews.com, salah satu fans Coldplay berna Danar, rela menjual kulkas dan motor demi bisa membeli tiket seharga Rp11 juta kategori Ultimate Experience sebesar Rp11 juta.
Namun, di tengah antusiasme yang tinggi di sebagian masyarakat dalam menyambut konser Coldplay terdapat penolakan dari beberapa pihak. Di antaranya dari Persaudaraan Alumni (PA) 212. Pasalnya Chris Martin vokalis grup band Coldplay diduga seorang LGBT dan ateis. Dikhawatirkan berpotensi membawa kampanye LGBT. Senada dengan PA 212, MUI menolak konser Coldplay Jakarta. Dikutip metro.suara.com,wakil ketua MUI Anwar Abbas menjelaskan alasan MUI tolak konser Coldplay karena band asal Inggris itu ikut mendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Ia menilai apabila Indonesia mendukung adanya konser Coldplay, maka sama saja negara ini menerima kehadiran orang yang memperjuangkan LGBT.
Hal itu dianggapnya tidak sesuai dengan konstitusi RI, yakni Pancasila dan UUD 1945 di PAsal 29 Ayat 1.
Seperti itulah sebagian sikap masyarakat ketika dihadapkan dengan konser musik. Mereka menilai konser musik adalah salah satu aktivitas yang masuk dalam bucket list orang-orang atau aktivitas yang harus dilakukan sebelum meninggal. Padahal sejatinya menonton konser musik bukan termasuk kebutuhan dasar manusia. Konser yang bersifat hiburan semata kini dianggap sesuatu yang wajib dilakukan. Hal ini terjadi karena negara mengadopsi aturan sekuler kapitalisme. Aturan tersebut telah mengikis pemahaman yang benar. Alhasil masyarakat tidak mampu mengambil skala prioritas. Menonton konser dianggap lebih penting dibanding memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Dalam pandangan sekuler kapitalisme standar kebahagiaan hidup adalah capaian materi. Salah satunya adalah dengan mencari hiburan. Menonton konser adalah salah satu cara hiburan saat ini.
Mereka rela mengeluarkan dana besar untuk hiburan tersebut. Dalam pola pikirnya hanya ingin meraih kesenangan semata. Efek baik dan buruk tidak lagi dipertimbangkan. Isu tidak sedap grup band asal London Inggris sebagai pendukung hak-hak kaum Sodom tidak dihiraukan. Demikianlah, ketika kesenangan dan kebahagiaan menjadi tujuan hidup.
Pada aspek sosial, gaya hidup hedonis kerap menjadi trend yang dibangga-banggakan oleh masyarakat. Hanya demi lifestyle dan citra diri di hadapan komunitasnya, menonton konser musisi dunia dianggap suatu keharusan. Padahal di sisi lain, sebagian orang hidup dalam kemiskinan yang mengakibatkan sulitnya memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Jika mengacu pada standar Bank Dunia jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 110 juta jiwa atau 40% dari populasi penduduk Indonesia (cnbcindonesia.com,11/5/2023).
Menilik dari tingginya antusiasme masyarakat membeli tiket konser yang harganya mahal, menandakan bahwa jurang kesenjangan sosial di negeri ini begitu dalam. Si kaya dengan mudahnya mengeluarkan uang Rp. 11 juta hanya untuk kesenangan. Sedangkan bagi si miskin uang sebesar itu dapat digunakan untuk makan satu tahun. Mirisnya budaya hura-hara ini pun difasilitasi oleh negara.
Realita ini mengkonfirmasi bahwa dengan penyelenggaraan konser ini menunjukkan tak ada empati dari penyelenggara konser dan pihak pemberi izin terhadap segala masalah yang sedang dihadapi masyarakat secara menyeluruh.
Berbeda halnya dengan Islam. Di dalam Islam sungguh seorang muslim dituntut untuk peduli dengan sesama. Seorang muslim tidak layak untuk bersenang-senang di atas penderitaan orang lain karena sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara. Allah berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.
Adapun Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan demam.”
Negara pun dalam Islam diposisikan sebagai pengurus seluruh kebutuhan rakyat. Baik seluruh kebutuhan jasmaniyah maupun ruhiyahnya. Negara senantiasa berusaha menjaga akidah umat. Dan semua tindakan harus bersumber dari syariat Islam, berdasarkan hukum halal haramnya perbuatan. Segala perbuatan yang bukan prioritas, harus ditiadakan. Karena dapat mengikis keimanan individu Muslim. Wallahua'lam bishawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!