Jum'at, 28 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Februari 2016 23:47 wib
9.120 views
Stop! Kriminalisasi Terhadap Guru
Oleh: Fatik Mukaromah,
(Mahasiswa IAIN Tulungagung Jurusan PGMI Semester Empat)
Bapak dan ibu guru adalah orang-orang yang terkena tanggung jawab secara langsung, mencetak generasi penerus bangsa ini. Mereka membantu para orangtua untuk membangun generasi yang akan menggantikan kedudukan para pemimpin di kemudian hari.
Namun bagaimana jadinya dan orangtua yang harusnya saling bersinergi justru saling mempidanakan satu sama lain. Guru yang diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa berusaha sekuat tenaga untuk mengajar, mendidik dan membina siswa-siswinya agar menjadi insan yang cendikia serta memiliki kedisiplinan yang tinggi. Beliau senantiasa mengajarkan nilai-nilai ketertiban dengan jalan yang dianggapnya telah sesuai dengan metode pengajaranya.
Namun adakalanya niat baik dari sang guru tidak lagi dipercaya oleh orang tua yang menitipkan anak-anaknya menimba ilmu di sekolah tersebut. Ketidakpercayaan ini mungkin akan menjadi sesuatu yang wajar, karena kita kini tengah hidup dalam sistem yang rusak. Sistem yang telah memberikan kita banyak fakta tentang kekerasan pendidik terhadap anak didiknya. Maka bukan suatu yang aneh jika akhirnya ada orang tua yang kemudian melaporkan seorang guru yang berusaha mendisiplinkan anaknya, karena dianggap sebagai tindakan pengaiayaan.
Seperti yang diberitakan oleh DetikNews, pada kasus guru SDN penjalin kidul V, Majalengka, Jawa Barat. Seorang guru bernama Aop Saopudin nyaris dipenjara saat mendisiplinkan siswanya yang berambut gondrong. Merasa tidak terima orang tua siswa malah mencukur balik rambut Aop dan kemudian mempolisikannya. Dalam penyidikan dan dakwaannya polisi dan jaksa mendakwa Aop dengan UU perlindungan anak. Versi polisi dan Jaksa, Aop mencukur siswa SD kelas III itu dinilai telah melakukan perbuatan diskriminasi dan penganiayaan terhadap anak hingga sang guru terancam 5 tahun penjara. Aop dituding melanggar pasal 77 huruf a UU perlindungan anak yang berbunyi :
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta"
Adapun pasal 80 ayat 1 UU perlindungan anak berbunyi :
"Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72juta.
Lantas kemudian jaksa juga memasukkan pasal dalam KUHP yaitu pasal 335 ayat 1 kesatu tentang perbuatan tidak menyenangkan. Pasal ini berbunyi :
"Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain"
Melalui tiga pasal ini, maka pada 2 Mei 2013, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Majalengka menyatakan Aop telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap anak didiknya yaitu mencukur rambut siswa yang melanggar aturan sekolah. Hukuman percobaanpun dijatuhkan.
Hukuman ini lalu dikuatkan di tingkat banding. Pengadilan Tinggi (PT) Bandung sepakat dengan PN majalengka. Dan atas putusan ini Aop lalu mengajukan ka
keadilan diketok MA dan membebaskan Aop. Hakim agung, sebagai pucuk pimpinan hakim-hakim di bawahnya mengoreksi total pandangan para hakim di bawahnya dan juga dakwaan jaksa san dugaan polisi.
Pada 6 Mei 2014, hakim agung Dr Salman Luthan dengan anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono membebaskan Aop. Ketiganya membebaskan Aop karena sebagai guru, Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang atau gondrong untuk menertibkan para siswa. Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.
Susahnya menjadi seorang guru, tanggung jawab yang besar tak selalu mendapat penghargaan yang besar pula. Terlebih semakin lama kepercayaan orang tua terhadap guru dari anak-anaknya semakin memudar. Terlihat dari reaksi orang tua yang kadang berlebihan dalam menanggapi tindakan guru dari anak-anaknya. Termasuk ketika sang guru memberikan sanksi yang tujuannya adalah untuk mendidik bukan menganiaya. Disisi lain UU perlindungan anak justru hanya memfasilitasi kebebasab bagi anak. Terbukti UU perlindungan anak yang merupakan adopsi konvensi Hak Anak tidak melindungi, malah menjerumuskan ke kebebasan.
Sudah saatnya pendidikan yang menjadi poin penting dalam mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan harus segera dibenahi. Berkenaan dengan hal itu, pemahaman terhadap karakter sebuah ideologi merupakan langkah awal dan mendasr ketika membicarakan sistem pendidikan. Ketidakpahaman terhadap basis sitem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.
Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki : (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Pembentukan kepribadian Islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya melalui pendekatan. Salah satu diantaranya adalah dengan menyampaikan pemikiran islam kepada siswa.
Tsaqofah (pemikiran) Islam adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan berdasarkan aqidah Islam yang sekaligus menjadi sumber peradaban Islam. Muatan inti yang kedua ini diberikan pada seluruh. Jenjang pendidikan sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan.
Sementara kurikulum dibangun berlandaskan aqidah Islam sehingga setiap pembelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqofah islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).
Dalam proses pendidikan keberadaan peranan guru menjadi sangat penting; bukan saja sebagai penyampai materi pelajaran (transfer of knowledge), tetapi sebagai pembimbing dalam memberikan keteladanan (uswah) yang baik (transfer of values).
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakayat secara mudah. Selain itu kesejahteraan guru sebagai pendidik juga harus diperhatikan.
Gaji yang diberikan hendaknya sepadan dengan semua jasa yang telah dituangakn, sehingga guru tidak lagi mencari-cari pekerjaan sambilan di tempat dan di waktu yang lain, dengan demikian guru akan mampu bekerja secara fokus dan optimal karena tidak lagi khawatir dengan semua kebuhutan hidup diri dan keluarganya.
Dengan demikian nuansa Islam akan selalu menjadi atmosfer dalam kehidupan masyarakat. Kepribadian islam yang diajarkan sejak dini akan meminimalisir adanya tindakan pembangkangan siswa terhadap gurunya, sehingga meminimalisir pula tindakan sanksi dari guru kepada muridnya. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!