Jum'at, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Juli 2016 12:31 wib
6.518 views
Miras Beredar, Jokowi-JK Perusak Generasi
Oleh: Alimudin Baharsyah S.Sos (Ketua BE Kornas BKLDK)
Bulan April 2016 lalu kita dikejutkan dengan peristiwa pemerkosaan yang menimpa Yuyun (12 th) hingga tewas. Warga bengkulu itu diperkosa oleh 14 remaja yang sebelumnya menenggak minuman keras. Kepada Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, para pelaku mengaku sebelum melakukan aksi bejatnya meminum minuman keras dan menonton film porno.
Selain itu, para peminum miras juga banyak yang meninggal dunia. Menurut data Gerakan Nasional Anti Miras, ada sekitar 18.000 orang Indonesia mati karena minuman keras setiap tahunnya. Sedangkan untuk lingkup dunia menurut data WHO pada tahun 2011 mencapai 32.000 orang/tahun usia rata-rata 19-29 tahun. (Suara pembaruan, 2/9/2013). Berdasarkan data tersebut, Indonesia penyumbang kematian terbesar akibat minuman keras ini.
Ironisnya, ditengah maraknya kasus kejahatan dan kematian yang dipicu oleh minuman keras, pemerintah justru mencabut beberapa peraturan daerah (perda) yang melarang total peredaran minuman keras. Seperti yang dimuat oleh situs okezone.com pada 20 Mei 2016, Menteri Dalam negeri (mendagri) Tjahyo Kumolo mengatakan, dengan pencabutan perda tersebut, pemerintah tidak ingin dianggap melegalkan miras disejumlah daerah. Pasalnya pencabutan tersebut kata dia, hanya sementara lantaran untuk merampingkan pada peraturan sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
Pencabutan perda itu karena dianggap tumpang tindih dengan Perpres no. 74 tahun 2013 yang masih membolehkan minuman keras beredar di tampat-tempat tertentu. Padahal menurut Fahira Idris, alasan perda miras tumpang tindih dengan aturan yang lebih tinggi juga tidak mendasar. Menurut dia, ada poin khusus dalam perpres itu dimana kepala daerah diberikan wewenang untuk mengatur peredaran miras sesuai dengan kondisi kulturnya. Artinya, daerah bukan hanya punya wewenang mengatur perda yang mengatur miras, tetapi juga diberi ruang untuk membuat perda antimiras.
Sebelumnya, pengaturan peredaran minuman keras diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 3 tahun 1997 pada masa presiden Soeharto. Namun Keppres itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada bulan Juli 2013 atas gugatan dari Front Pembela Islam (FPI) pada oktober 2012. Namun kemudian Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 74 tahun 2013 untuk menggatikan Keppres yang telah dibatalkan oleh MA.
Keppres Soeharto, Perpres SBY dan Pencabutan Perda miras oleh Mendagri Tjahyo Kumolo merupakan tindakan yang tidak terpuji seorang penguasa. Alih-alih memberikan rasa aman, ketentraman, perlindungan jiwa kepada masyarakat, penguasa hari ini justru menebar racun minuman keras yang bisa menimbulkan kekacauan, pembunuhan, pemerkosaan dan mimbulkan berbagai kejahatan lainnya. Bahkan yang paling menjijikan, pemprov DKI jakarta memiliki saham 26,25 persen di PT. Delta Djakarta TBK sejak tahun 1970.
Lantas apa bedanya para penguasa dengan para pelaku kejahatan itu!
Para orangtua tua yang takut anaknya menjadi korban racun minuman keras kini semakin resah. Perda miras yang selama ini membantu membentengi anak-anak mereka dari pengaruh negatif minuman keras telah dicabut. Disatu sisi, para orangtua tidak selamanya bisa mengontrol anak-anaknya 24 jam, dan mereka tidak mungkin mengurung anaknya di rumah agar terhindar dari bahaya miras. Jika dibiarkan terus menerus, maka miras ini akan menghancurkan generasi umat kedepannya.
Pantaslah kita sebut pemerintah tidak serius melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari bahaya minuman keras. Sekaligus menjadi indikasi kuat bahwa pemerintah saat ini tidak jauh berbeda dengan para pembunuh Yuyun, karena melegalkan minuman keras sama dengan melegalkan kejahatan. Pencabutan perda miras juga semakin mengukuhkan bahwa Indonesia saat ini dikuasai oleh rezim neo liberalisme dan neo kapitalisme yang mengagungkan kebebasan dan keberpihakan kepada kaum pemilik modal.
Jika umat ini ingin keluar dari malapetaka yang mengakibatkan berbagai kerusakan, penindasan yang terus dirasakan oleh sebagian besar kaum muslimin, maka harus kembali kepada Al Quran dan As Sunah. Kemudian kita jadikan itu aturan hidup bernegara, agar Islam mampu melindungi jiwa, darah, harta, akidah dan akan memancarkan rahmatnya sampai ke seluruh alam. Wallahu alam. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!