Ahad, 22 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Agutus 2017 23:13 wib
5.732 views
Intrik Kapilatis Dibalik Mahalnya Harga Garam
Oleh:
Ayunin Maslacha*
BEGITU fenomenal dan tak masuk akal. Sekira itulah yang akan terlintas dalam benak setiap orang yang memahami Indonesia sebagai negara maritim, dengan luas perairan sekira 64,97% dari total luas wilayahnya. Namun negeri ini dilanda kelangkaan garam yang seharusnya mampu dipenuhi dengan kondisi alam yang demikian. Begitulah ramai-ramai diberitakan dalam sepekan terakhir.
Beberapa pihak menyatakan kemungkinan penyebab kelangkaan garam itu. Diantaranya masalah anomali iklim, dugaan adanya campur tangan kartel garam, ataupun operasi yang dilakukan pihak kepolisian atas beredarnya garam ilegal yang dicampur zat-zat kimia berbahaya bagi tubuh manusia, seperti yang terjadi di Tulungagung beberapa waktu lalu (jatimtimes.com 15/07/2017). Namun penyebab yang paling gemar dipublish oleh media adalah anomali iklim.
Seperti yang banyak diberitakan media, para ibu rumah tangga, pedagang makanan hingga pengusaha asinan mulai mengeluhkan mahalnya garam sejak setelah lebaran tahun ini, hingga pada saat ini garam menjadi lebih mahal dan bahkan langka. Jika saja benar penyebab kelangkaan garam adalah cuaca tak menentu, namun menurut BMKG prakiraan kemarau di Indonesia dimulai pada bulan Mei, Juni, Juli 2017 (detik.com 07/03/2017). Hal ini diperkuat oleh data dari accuweather.com bahwa didaerah penghasil garam terbesar dinegri ini mengalami cuaca yang cukup terik pada bulan Mei, Juni, Juli 2017 seperti di Cirebon, Jawa Barat dan Sampang, Madura. Andaipun hambatan penghasil garam itu murni karna cuaca, maka tak perlu membuat garam susah didapatkan dipasaran dan jikalau ada harganya menaik 300%-700% ditempat berbeda.
Gonjang-ganjing masalah ini menyita perhatian pemerintah. Lantas pemerintahpun membuat kebijakan mengganti ketentuan impor garam konsumsi yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 yang mendefinisikan garam konsumsi memiliki kadar Natrium Chlorida (NaCl) paling sedikit 94,7% menjadi berpacu pada Peraturan Menteri Perindustrian No 88 tahun 2014 yang di antaranya menyebutkan garam industri aneka pangan mengandung NaCl 97% (katadata.co.id25/07/2017). Hal ini supaya memudahkan impor garam dari Australia sebanyak 75.000 ton melalui PT. Garam untuk bahan baku garam konsumsi (sindonews.com28/07/2017).
Terselip Intrik Kapitalistik
Pada bulan Juni lalu, Bareskrim Polri resmi menangkap Direktur Utama PT. Garam, Achmad Boediono (AB) sebab penyalahgunaan izin importasi garam industri. AB dan komplotannya juga meminta izin impor garam konsumsi, namun tak pernah direalisasikan. Malah mengimpor garam industri juga sebanyak 75.000 ton dengan rincian 55.000 ton dari Daimler Salt (Australia) dan 20.000 ton dari HK Salt (India) dengan kadar NaCl 97% sampai 99%. Kemudian garam industri ini dikemas model garam konsumsi yang padahal sangat berbahaya bagi kesehatan. Fantastisnya, garam industri seharga Rp 400/kg jauh dibawah harga garam konsumsi sekitar Rp 1.200/kg! (Seword.com 12/06/2017).
Jika dulu, impor garam industri dengan kadar NaCl 97% yang dipasarkan sebagai garam konsumsi harus menempuh jalan tikus, kini pemerintah dan BUMN-nya memberanikan diri untuk terbuka pada masyarakat perkara itu dengan dalih cuaca yang buruk.
Kita semua tahu, garam adalah komoditas yang sangat penting, yang maknanya meski dibuat seberapa mahalpun harganya, kristalan asin itu takkan sepi permintaan. Mayoritas masyarakat juga tak tau persis apakah anomali cuaca ialah penyebab atau sebatas kilah. Namun keputusan impor garam adalah kekeliruan. Meski Kementrian, Kelautan dan Perikanan menjamin impor garam akan diselaraskan dengan UU No.7 Tahun 2016, tapi tetap saja menambah pesaing bagi petani garam lokal. Sebelumnya PT. Garam hanya sedikit menyerap garam petani lokal dibanding impor karna dinilainya kisaran harga garam lokal masih lebih mahal. Apalagi menyalahi aturan yang dibuatnya sendiri mengenai kadar NaCl-nya. Meski Kemendag mengatakan akan mengelolanya ulang supaya kadar NaCl garam impor tersebut menurun (detik.com 28/07/2017).
Perizinan impor garam industri jelas menampakkan diselipkannya intrik kapitalistik, dimana penguasa menjadi pedagang yang ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya bukan menjadi penguasa yang seharusnya mengayomi rakyat. Penguasa dan BUMN-nya seolah menempatkan petani garam lokal sebagai pesaing centra bisnisnya, sementara rakyat non-pedagang diposisikan sebagai pembeli.
Kenapa tidak membuat kebijakan yang pro rakyat saja? Bisa menggunakan keseluruhan bahan baku dari garam lokal untuk konsumsi jika memang kadar NaCl garam lokal tak sesuai untuk industri. Atau mengoptimalkan pengelolaan tambak garam oleh petani lokal. Atau mendaya gunakan teknologi pengkristalan air laut hingga menjadi garam supaya tidak melulu mengkambing hitamkan cuaca. Tapi mungkin itu mustahil, sebab diterapkannya sistem Kapitalisme dalam pengaturan negara, kesengsaraan rakyat meningkat jadi hal biasa. Maka, masihkah ada harapan baginya? *Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!