Ahad, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 31 Desember 2017 18:08 wib
5.269 views
Hukum Buatan Manusia VS Hukum Sang Khaliq
Oleh: Helmiyatul Hidayati
(Seorang Blogger dan Anggota Komunitas Menulis REVOWRITER)
Death Note adalah manga fiktif dari Jepang. Komik karya Tsugumi Ohba dan Takeshi Subata ini menceritakan tentang seorang pemuda bernama Light Yagami yang menemukan sebuah ‘senjata pembunuh paling hebat’ di dunia, yaitu sebuah buku kematian.
Dengan buku kematian, membunuh orang hanya cukup dengan menuliskan namanya dan membayangkan wajah pemilik nama tersebut, lalu orang tersebut akan mati dalam 40 detik karena serangan jantung.
Light Yagami adalah seorang anak dari seorang kepala polisi di Jepang, ia memang terkenal sebagai ‘detektif muda’ yang kerap kali membantu memecahkan kasus ayahnya. Karena itulah ia dekat dengan hukum, belajar hukum dan mencintai hukum. Cita-citanya juga mulia : Menginginkan kedamaian dunia.
Siapa sangka hukum Jepang (dalam cerita tsb) baginya sangat bobrok. Banyak penjahat yang menurutnya harus dihukum, tapi malah melenggang bebas di masyarakat karena alasan ‘kurang bukti’ atau adanya praktek suap pada pejabat/penguasa.
Maka, Light Yagami tampil sebagai KIRA yang memberikan hukuman pada mereka. Dengan aksesnya sebagai ‘bagian dari kepolisian’, ia bisa mengakses data penjahat hampir di seluruh Jepang dan membunuh mereka satu-persatu. Lama-lama bahkan hanya pemuda nakal yang mengganggu gadis di jalan pun ia bunuh. KIRA lama-lama merasa bahwa dirinya adalah ‘dewa’ yang bisa mengambil nyawa siapapun dan kapanpun.
Karakter L (Lawlett) dan N (Near) pun hadir sebagai lawan dan membongkar praktik KIRA. Dalam versi filmnya, pengakuan Light Yagami kira-kira begini, “Dilihat dari sudut pandang kalian, aku memang pembunuh dan kalian adalah hukum negeri ini. Tapi di antara kita, siapakah yang membuat dunia menjadi lebih damai? Perampokan, pembunuhan, pembakaran. Aku sudah membunuh banyak kriminal, untuk melindungi rakyat. Kriminal-kriminal yang tidak bisa kalian sentuh dengan hukum kalian. Aku menghabisi mereka semua untuk kalian (negara).”
Meskipun ini cerita fiksi, ada benang merah yang menarik dari cerita ini. Yaitu tentang betapa lemahnya hukum buatan manusia. Karakter Light Yagami melihat banyak ketidak adilan akibat hukum yang tidak ditegakkan di negerinya, yang notabene hukum itu tentulah buatan para penguasa-penguasanya.
Kemudian Light Yagami, hanya karena memiliki sebuah alat istimewa ia pun membuat hukum sendiri. Menentukan sendiri siapa yang salah, dan siapa yang benar. Mana yang bisa ia bunuh, dan mana yang harus ia selamatkan. Padahal itu artinya dia juga melakukan hal yang sama seperti para penguasanya. Membuat hukum yang tidak sempurna, dan hukum yang tidak sempurna pastilah merugikan rakyat.
Light Yagami tidak belajar, bahwa bukan karena memiliki suatu ‘alat’ maka hukum bisa dijalankan dengan benar dan menyejahterakan semua pihak. Alat yang dimaksud dalam dunia nyata bisa saja berupa kekuasaan dan kewenangan yang biasa dimiliki oleh pejabat atau penguasa suatu negeri.
Hukum dalam cerita tersebut terbukti tidak berpihak pada rakyat sehingga mengganggu ‘nurani’ Light Yagami. Kemudian dia, yang notabene juga manusia, berusaha membuat hukum sendiri. Dan lagi-lagi karena semakin dibutakan oleh nafsu, lama-lama ia pun terseret menjadi seorang kriminal.
Padahal manusia, hidup bahkan alam semesta bersifat terbatas, lemah, serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Segala sesuatu yang terbatas maka dia tidak azali. Jika bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), maka ia TIDAK memiliki keterbatasan.
Maka sudah pasti segala sesuatu yang diciptakan oleh makhluk yang terbatas akan memiliki keterbatasan pula. Apa lagi jika ia memiliki pemahaman yang salah, lebih parahnya jika pemahamannya salah tapi menganggap hanya dia yang benar sendiri.
Dengan demikian segala sesuatu yang terbatas ini, pasti diciptakan oleh sesuatu yang lain yaitu sesuatu yang tidak terbatas dan sesuatu yang bersifat azali. Yaitu sang Maha Pengatur.
Banyak contoh kasus di negeri kita, bagaimana para penguasa pusing tujuh keliling merumuskan sebuah hukum untuk suatu perkara kecil, harus pula dengan acara studi banding kemana-mana, pun meeting berkali-kali namun keputusan pasti tak di dapat. Jikalaupun terbentuk sebuah hukum, jika masa/rezim berganti, bisa jadi hukum dan atau pengertiannya terhadap sesuatu pun akan berubah. Tergantung siapa yang bertahta.
Kejadian MK menolak perluasan tafsir soal LGBT dan perzinaan dan menimbulkan gaduh di dunia maya akhir-akhir ini membuktikan bahwa manusia tidak bisa membuat hukum sendiri dengan sempurna. Penolakan ini berakibat pada tidak dipidanakannya perbuatan LGBT dan Zina yang jelas-jelas menyalahi aturan agama dan masyarakat.
Penciptaan hukum oleh manusia tergantung pada banyak hal (atau bisa jadi pada permintaan), sehingga hasilnya pun tidak logis dan bisa jadi akan tendensius pada kelompok tertentu. Bukan lagi soal kepentingan ummat.
Bandingkan dengan hukum Syariah Islam, yang sejak zaman diturunkan sejak detik ini tidak ada yang berubah. Isinya jelas dan tegas. Hukum Syariah Islam bersifat Jawabir (Penebus siksa akhirat) dan Jawazir (membuat jera, mencegah terjadinya suatu tindak kriminal terulang kembali)
LGBT, Zina dan turunannya telah jelas penjelasan serta hukumnya di dalam Al-Qur’an. Jika seorang penguasa muslim benar-benar memperhatikan ini, maka tak perlu repot-repot untuk toleh kiri dan kanan sekedar memutuskan suatu perkara. Juga tak perlu ada kekhawatiran bahwa pada suatu masa hukum akan berganti bila penguasanya tak lagi sama.
Hukum Syariah itu telah lengkap, mengatur berbagai dimensi, mulai dari hubungan dengan Allah, kemudian hubungan dengan diri sendiri hingga hubungan dengan orang lain/masyarakat. Mulai dari bangun tidur hinggi bagun negara.
Jika seseorang mengakui bahwa Allah adalah sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, maka seorang muslim harusnya juga yakin bahwa Allah menciptakan makhluknya tidak mungkin tanpa petunjuk. Adalah hal yang sangat mustahil bila Allah menciptakan manusia tanpa pedoman yang mengatur kehidupannya.
Entah berapa kali dan berapa banyak ketukan palu yang terjadi, atau berapa banyak perkara yang dicatat dan dipelajari, maka selama manusia masih membuat aturan sendiri berdasarkan diri dan kemampuannya yang terbatas, maka hasilnya pun akan terbatas.
Jadi, jangan heran bila sesuatu yang jelas-jelas meresahkan masyarakat dan tampak jelas hukumnya (haram) dalam Islam akan selalu memiliki ‘celah untuk lolos’ dalam sistem hukum buatan manusia.
Sebagai seorang muslim, tidak patut rasanya kalo merasa ‘aneh’ dengan hukum syariah Islam. Tujuan penegakan hukum syariah Islam adalah untuk Islam Rahmatan Lil Alamin. Bagaimana Islam bisa menjadi Rahmatan Lil Alamin, jika perangkatnya diabaikan? [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!