Senin, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Januari 2018 21:40 wib
3.977 views
Jurnalisme Islam Harus Berikan Solusi dan Mencerahkan
Oleh: Roni Tabroni*
Ada catatan sejarah yang tertera dalam al-Quran tentang Nabi Nuh AS. yang cukup menarik kaitannya dengan dunia informasi. Ketika Nabi Nuh diperintah Allah untuk membuat kapal, Nuh melakukannya di atas gunung. Ummatnya mentertawakan dan mencemoohnya.
Tetapi Nuh terus melaksanakan apa yang sudah diperintahkan tanpa menghiraukan orang-orang yang tidak mau mengindahkan seruannya.
Hingga datang suatu peristiwa di mana hujan turun berhari-hari hingga menyebabkan banjir bandang yang menutup seluruh permukaan bumi. Banjir itu terjadi berhari-hari sampai ummat Nuh yang taat dan berada di atas kapal itu cemas karena perbekalan yang menipis.
Sadar akan ummatnya yang resah, Nuh dalam cerita itu kemudian mengambil inisiatif untuk mengambil seekor burung. Burung ini lah yang diutus secara khusus oleh Nuh untuk mencari tahu apakah permukaan air sudah surut atau belum. Setelah beberapa saat burung terbang, kemudian kembali dengan membawa ranting pohon dipelatuknya.
Fenomena ini bagi Nuh merupakan isyarat bahwa permukaan air sudah surut, sebab sudah ada ranting pohon yang muncul ke permukaan air. Nuh menganalisis dan menafsirkan bahwa ranting pohon merupakan isyarat banjir sebentar lagi akan surut.
Informasi yang didapat dari seekor burung inilah yang kemudian disampaikan kepada ummatnya yang ada di atas kapal itu. Nuh menyampaikan bahwa tidak lama lagi air akan surut dan kita akan menemukan daratan. Dengan demikian kekhawatiran itu mereda, karena kehidupan akan berlanjut secara normal di daratan.
Bagi sebagian orang kisah ini mengisyaratkan aktivitas jurnalistik yang sudah dilakukan sejak awal. Nabi Nuh adalah Pimred pertama, burung adalah reporter pertama di dunia, dan kapal Nuh sebagai kantor redaksi yang pertama. Sedangkan ummat Nabi Nuh di kapal itu merupakan audiens atau konsumen media pertama.
Yang pasti dan lebih penting dari kisah di atas setidaknya kita akan mengambil pelajaran sebagai berikut:
Pertama, informasi itu memberikan ketenangan. Kisah di atas memberikan pelajaran bahwa sebuah kabar harus mencerahkan dan berorientasi pada solusi. Dengan kabar yang diberikan oleh Nuh, ummat menjadi tenang, tidak lagi resah tentang masa depannya.
Media Islam tidak layak memberikan informasi-informasi yang membuat publik cemas dan ragu dalam menjalani kehidupan. Media Islam akan berbeda dengan media lainnya yang selalu memanas-manasi situasi, bahkan cenderung destruktif, dan berorientasi pada rating atau popularitas.
Kedua, informasi dapat memberikan prediksi masa depan. Syaratnya ada pada kecerdasan crew media. Nuh mendapatkan ranting pohon yang dibawa seekor burung, jika Nuh bukan orang cerdas maka tidak akan bisa menerjemahkan dari simbol tersebut. Dengan kecerdasannya Nuh kemudian menafsirkan simbol itu menjadi sebuah berita yang memberikan prediksi masa depan.
Uniknya di sini adalah ketika Nuh mendapatkan ranting pohon, tidak hanya menyampaikan bahwa seekor burung membawa ranting pohon, tetapi kemudian ada proses penafsiran yang sangat cerdas. Proses penafsiran ini yang harus diperdalam oleh jurnalis sehingga dirinya dapat melakukan pembacaan yng komprehensif terhadap simbol-simbol zaman. Dengan demikian, jurnalisme Islam bukan hanya mengabarkan, tetapi juga mampu memprediksi masa depan. Tentu saja bahwa alat prediksi berupa ilnu pengetahuan yang memadai, bukan sesuatu yang sifatnya mistis dan sesuatu yang irrasional.
Tradisi media Islam, jika berkaca pada kisah di atas, tidak serendah media-media pada umumnya yang hanya beroientasi pada pasar, mendewakan rating, mencari sensasi, dan harus serba cepat. Media Islam sebaliknya, berorientasi pada kualitas informasi, kemanfaatan dari sebuah konten yang diproduksi, dan memikirkan dampak yang timbul di masyarakat.
Masalah keberpihakan juga bukan hal yang tabu bagi media Islam. Media pada umumnya mendeklarasikan dirinya independen dan tidak berpihak tetapi nyatanya sangat kuat muatan keberpiahkannya. Setidaknya selalu tunduk pada pemodal dan kekuasaan politik. Bahkan hanya persoalan kue iklan banyak media yang mengorbankan fungsi edukasi.
Bagi media Islam, praktek jurnalistik dilakukan karena ada kebutuhan mendesak dari ummat untung mengetahui sesuatu. Termasuk di dalamnya memberikan edukasi tentang fenomena kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, konteks keberpihakan bagi media Islam mengacu pada nilai-nilai agama yang selalu mengedepankan kepentingan kemanusiaan dan kebenaran. Medi Islam tidak menjaga image untuk sebuah kebenaran bahwa kita perlu berpihak. Sebab tidak ada media yang bebas nilai, setiap media yang hadir dipastikan sudah disertai nilai-nilai dari pembuatnya.
Yang menjadi tugasnya adalah bagaimana membangun kualitas media Islam agar dapat lebih berwibawa. Ketika media Islam disegani maka diharapkan selain dapat menjadi rujukan informasi, juga media Islam berfungsi sebagai sumber nilai dan ispirasi.
Sedangkan membangun media yang berkualitas berawal dari SDM yang baik. Di sinilah PR bersama bagaimana menciptakan SDM-SDM yang handal yang mampu bersaing dengan jurnalis media umum bahkan melampauinya. Sebab jika kita berkaca pada kisah Nabi Nuh, ternyata kita tidak hanya butuh orang yang terampil membuat berita tetapi nuga yang cerdas melakukan analisis dan memprediksi masa depan.
Penulis adalah Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!