Selasa, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Februari 2018 23:48 wib
3.491 views
Kepada Siapa Hukum Harus Diserahkan?
Oleh: Salsabila Maghfoor*
Nampaknya, bahasan ini telah menjadi persoalan yang genting dalam konstitusi negara kita hari ini. Pasalnya, banyak kebijakan dan peraturan yang terus dilahirkan, tapi tidak benar-benar membaikkan keadaan. Bahkan ada banyak permasalahan dan kejahatan yang terus bermunculan seperti bergiliran mengambil posisi dalam panggung media pemberitaan.
Tersebutlah kasus pembunuhan dengan berbagai motifnya, kasus pelecehan, pecurian, perampokan, korupsi, suap dan lain sebagainya telah banyak mewarnai Indonesia dewasa ini. Tapi herannya, justru prinsip bahwa peraturan-itu-ada-untuk-dilanggar lah yang justru mendominasi sehingga jumlah pelanggaran pun tidak juga berkurang jumlahnya. Malahan terus saja meningkat. Dalam tulisan ini, penulis ingin menyoroti kasus seputar pergaulan ditengah lingkungan masyarakat yang kiranya mampu memberikan gambaran bahwa kita tengah menghadapi ancaman besar bagi generasi kedepan.
Semakin maraknya kasus pedofilia yang menimpa anak-anak, tentunya menjadi persoalan yang tidak lagi dapat dipandang remeh. Beberapa waktu lalu terungkap kasus pedofilia kelas kakap, sebagaimana yang dilansir oleh liputan6.com (06/01/2015) dimana seorang laki-laki berinsial WS atau Babeh melakukan sodomi kepada 41 korban yang merupakan anak-anak dalam kisaran usia 6 hingga 15 tahun.
Bahkan, yang sempat viral beberapa waktu lalu adalah adanya video mesum perempuan dewasa dengan anak seumuran SD yang dijadikan ajang bisnis berdasar pesanan. Dan ternyata pembuatnya adalah keluarga dari korban itu sendiri. Motif perilakunya adalah karena iming-iming imbalan yang menggiurkan.
Hal ini tentu saja membuat geram Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait. Ia mendesak para penegak hukum untuk menjadikan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejaahatan pidana luar biasa yang pelakunya patut dihukum berat. Ia meminta semua predator seksual dituntut dengan UU No. 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Salah satu sanksi didalamnya yang membuat jera adalah adanya hukuman seumur hidup, hukuman mati, serta kebiri.
Selain persoalan sodomi, ada banyak persoalan seputar penyimpangan pergaulan yang semakin menambah deret perilaku menyimpang yang mengkhawatirkan ditengah masyarakat kita. Pembuangan bayi hasil perkosaan atau perzinahan juga telah banyak ditemukan kasusnya. Yang terbaru adalah kasus di Malang sebagaimana dilansir oleh suryamalang.com, warga simpang gajayana digemparkan oleh penemuan bayi yang telah mengapung di aliran sungai di jl. Simpang Gajayana, Lowokwaru Malang. Setelah terungkap, ternyata ibu dari sang bayi merupakan korban pemerkosaan yang dilakukan oleh temannya sendiri.
Beberapa kasus diatas hanyalah segelintir permasalahan yang tampak sebagai fenomena gunung es. Apa yang tidak tampak di permukaan pastilah lebih mengkhawatirkan. Bisa saja lebih besar. Yang sungguh-sungguh mengherankan, peristiwa ini bukan hanya sekali dua kali, melainkan selalu saja berulang dan cenderung tidak bisa betul-betul dimatikan.
Ada yang mesti dievaluasi dari penegakan hukum di negara kita. Sekalipun penulis bukan berasal dari latar hukum, namun penegakan hukum yang bijaksana tentunya menjadi keinginan kita bersama. Tampaknya memang sistem persanksian yang ditetapkan belum betul-betul mampu memberikan efek jera kepada pelaku. Hukum yang diterapkan belum mampu memberikan antisipasi secara preventif dan kuratif. Hal ini tentu menjadi evaluasi besar, sebagai bukti bahwa ternyata masih ada kerusakan dan kemandulan sistema hukum yang ada dalam menjaga masyarakat.
Bukan tidak mungkin bila kita ingin berbenah memperbaiki sistem hukum yang ada. Sebab memang selamanya kita hanya akan jatuh ke dalam lubang yang sama bila persoalannya tidak dituntaskan pada muara akarnya. Masalahnya, segala perilaku dan aktivitas masyarakat hari ini banyak dipengaruhi oleh sistem yang telah sedemikian kuat mengakar dan memberikan corak tersendiri ditengah-tengah lingkungan, yakni sistem Kapitalis yang hanya menyandarkan segala sesuatunya berdasar materi. Maka tidak heran bila pelayanan yang diberikan akan berbanding lurus dengan besarnya materi yang dijaminkan.
Pelayanan rakyat secara sistemik selalu saja mengedepankan mereka yang mampu secara materi. Bila tidak, jangan harap bakal dilayani sepenuh hati. Ini adalah biang yang harus dienyahkan. Kita tentu menginginkan solusi yang benar-benar solutif, bukan? Dan ini terbukti sudah tidak bisa diharapkan lagi pada sistem yang ada saat ini.
Sebagai muslim, kita tidak perlu bingung, sebab apa yang Allah aturkan sebenarnya menjadi pedoman yang sudah lebih dari cukup untuk mengatur koridor hidup kita. Ada batasan yang secara langsung diaturkan oleh Rabb pencipta manusia, sehingga penerapannya pastilah sesuai dengan fitrah manusia. Sebab memang, Rabb kita-lah yang paling mengetahui betul bagaimana seluk beluk pengaturan dan penjagaan ciptaanNya. Maka bila kita menginginkan perbaikan, tentu pertanyaan dalam judul diawal tadi akan dengan optimis kita jawab : Kepada Allah dan Rasul-Nya lah hukum harus diserahkan.
Bukankah Allah telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
Lantas, aturan Allah yang manakah yang pantas kita dustakan? [syahid/voa-islam.com]
*) Aktivis Komunitas Peduli Negeri (@komunitaspedulinegeri)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!