Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 20 September 2019 19:52 wib
6.346 views
Pembatasan Usia Pernikahan, Solusi atau Ilusi?
Oleh:
Ifa Mufida
Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik
REVISI UU Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 tentang usia pernikahan yang sudah digodog beberapa bulan ini akhirnya disahkan. Pemerintah, Badan Legislatif dan Panitia Kerja DPR menyepakati bahwa batasan usia yang dibolehkan melakukan perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, usia 19 tahun.
Revisi ini dianggap oleh beberapa pihak akan bisa menyelesaikan masalah pernikahan dini pada anak. Mereka menganggap bahwa pernikahan dini akan menghilangkan hak anak untuk mengenyam pendidikan dan mencari pengalaman bekerja khususnya untuk remaja perempuan. Pernikahan dini juga digadang menjadi penyebab maraknya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sebagaimana penjelasan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nihayatul Wafiroh mengenai pentingnya mengubah batas usia perkawinan. Perubahan tersebut sangat penting untuk menghapus diskriminasi, mengurangi kematian ibu dan anak, angka perceraian, hingga kekerasan seksual. Menurut beliau juga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus batas usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan akan menghapus diskriminasi (republika.co.id).
Pertanyaannya benarkah pengesahan revisi UU Pernikahan akan menjadi solusi segala permasalahan tersebut?
Faktanya penyumbang pernikihan dini terbanyak pada remaja adalah karena married by accident (MBA), karena hamil duluan. Bahkan bisa jadi hal ini adalah fenomena gunung es, karena yang tidak diberitakan jauh lebih banyak. Belum lagi kasus ikutan setelah terjadi MBA, seperti aborsi dan pembuangan bayi cukup sering terjadi. Begitu juga merebaknya penyakit Infeksi menular seperti HIV/AIDS yang sekarang lebih banyak menyerang remaja.
Selain itu, maraknya kekerasan dalam rumah tangga bukan semata-mata karena pernikahan dini. Akan tetapi justru karena faktor lain. Menurut menteri perdagangan perempuan dan perlindungan anak, Yohana Yembise yang mengutip Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa satu dari setiap tiga perempuan usia 15 hingga 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual, satu dari setiap empat perempuan yang pernah/sedang menikah mengalami kekerasan berbasis ekonomi, dan satu dari lima perempuan menikah mengalami kekerasan psikis (republika.co.id).
Dari sini, bisa kita lihat bahwa pembatasan usia pernikahan tidak punya arti apapun bila perilaku seks bebas di tengah-tengah remaja tidak dicegah. Sebab seks bebas ini justru yang menyumbang angka paling besar terjadinya pernikahan dini. Sungguh Ironi, ketika pernikahan dini terus dipermasalahkan sedang perzinaan dan seks bebas justru dibiarkan dan dianggap hal yang biasa. Padahal ada ancaman besar ketika ada perzinaan yang merebak di suatu negeri. Rasulullah Saw bersabda, “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu negeri, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri” (HR al Hakim, al Baihaqi dan at Thabrani).
Kemudian berkenaan dengan kekerasan dalam rumah tangga maka sesungguhnya hal ini tidak berhubungan secara signifikan dengan usia pernikahan. Akan tetapi, terkait erat dengan kedewasaan dari pasangan tersebut dan sejauh mana mereka memegang teguh ajaran agama (syariat Islam). Faktor ekonomi juga berperan besar terhadap terjadinya KDRT ini. Faktor ekonomi ini selain dari kemampuan laki-laki untuk mencari nafkah, juga tidak bisa dilepaskan dari tata kelola dan kebijakan dari pemerintah.
Di dalam Islam tidak pernah disebutkan secara pasti batas minimum usia pernikahan, yang disebutkan hanyalah ukuran kemampuan menikah. Hal ini didasarkan hadist riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas'ud. Rosulullah bersabda, " Hai pemuda, siapa diantara kalian yang telah mampu maka menikahlah. Menikah itu menundukkan pandangan dan lebih baik untuk kemaluan. Namun siapa yang belum mampu maka hendaknya ia puasa, karena itu lebih baik baginya."
Dari hadist di atas menjelaskan bahwa batasan syarat menikah adalah kemampuan secara finansial, meski tidak harus kaya. Selanjutnya juga harus siap mental, yaitu siap menjalankan kewajiban baik sebagai suami maupun istri. Terkait batasan usia, hal itu bergantung pada kondisi masing-masing orang, dan tidak bisa disamakan. Hal ini pun juga sangat dipengaruhi oleh pendidikan mereka, baik pendidikan mereka di lingkup keluarga dan masyarakat (non-formal) atau pendidikan mereka di lingkup sekolah formal.
Kondisi pendidikan formal kita saat ini harusnya bisa mecetak generasi yang gemilang. Namun faktanya justru pendidikan saat ini dibangun dari asas sekuler-liberal. Bahkan kurikulum agama beberapa kali ingin dihapuskan dari pendidikan kita. Wajar jika potret anak didik negeri ini adalah anak didik yang cenderung bebas, rusak adabnya, dan minim tanggung jawab.
Tujuan pernikahan di dalam Islam selain untuk mencegah perbuatan zina juga memberikan ketentraman suami terhadap istrinya dan memberikan ketentraman istri terhadap suaminya. Oleh karena itu, pernikahan di dalam islam justru mencegah KDRT dan mengokohkan fungsi keluarga. Keluarga yang dilandasi dengan keimanan kepada Allah akan menjadikan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Hal ini terwujud karena setiap anggota keluarga faham akan tugas dan kewajiban mereka dan senantiasa melandaskan aktifitas mereka untuk terikat dengan syariat Islam.
Dengan demikian, pembatasan usia pernikahan yang diambil pemerintah saat ini sejatinya bukan menjadi solusi hakiki terhadap permasalahan keluarga. Akan tetapi justru akan menjadi ilusi, tersebab kebijakan ini justru menyisakan segudang permasalahan. Seharusnya, merebaknya seks bebas justru yang harus lebih dahulu dicarikan solusi. Karena seks bebas telah nyata merusak tatanan kehidupan di masyarakat. Harus ada upaya sistemik dan konkret untuk menuntaskan masalah sosial ini.
Dari aspek pencegahan, pemerintah harus membuat regulasi yang ketat terhadap konten pornografi dan pornoaksi yang saat ini bebas berkeliaran di media sosial. Perlu adanya pendidikan pergaulan bagi siswa didik agar faham batasan aurat, faham tentang perintah menundukkan pandangan dan keharaman “mendekati” perbuatan zina semisal pacaran. Bukan seks edukasi versi saat ini yang justru membuat remaja penasaran dan terjebak pada perbuatan tercela. Sedang pada aspek terapi harus ada hukum yang tegas dan memberikan efek jera terhadap perilaku zina.
Pemerintah juga harus memberikan regulasi pengaturan ekonomi yang benar, mengingat KDRT juga dipicu oleh faktor ekonomi. Keluasan lapangan pekerjaan harus diupayakan oleh pemerintah agar bisa menyerap tenaga kerja laki-laki. Sebab di pundak bapak (kaum laki-laki) kewajiban memberi nafkah ditambatkan. Bukan seperti sekarang, justru lapangan kerja seolah menyerap tenaga kerja perempuan karena tenaganya dianggap murah.
Sistem pendidikan dan kesehatan juga harus dijamin oleh pemerintah sebagai pelayanan yang mudah dan murah, bahkan bisa digratiskan. Hal ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam mengelola kepemilikan umum. Di dalam Islam, kepemilikan umum haram dijual dan dimiliki oleh individu atau swasta. Kepemilikan umum seperti air, hutan, dan barang tambang harus dikelola oleh negara secara penuh dan dikembalikan hasilnya untuk kesejahteraan masyarakat termasuk untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, yang jauh lebih penting adalah bagaimana sistem pendidikan dan pergaulan bisa membentuk insan yang memiliki kepribadian islam yang tangguh. Bahkan banyak dikisahkan di dalam Islam bagaimana pemuda Islam di usia belia bisa membangun keluarga yang bervisi surga dan bermanfaat bagi umat. Kontrol dari masyarakat juga sangat penting. Bagiamana masyarakat harusnya memiliki kepedulian terhadap kondisi yang ada di sekitarnya, bukan masyarakat yang individualistik dan permisif
Sudah saat nya negeri yang mayoritas muslim ini meninggalkan kehidupan sekuler dan kembali kepada tata aturan Islam. Sudah saatnya negeri ini menerapkan syariat Islam secara Kaffah, Insya Allah berkah. Wallahu A’lam bi shawab. *
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!