Ahad, 3 Jumadil Akhir 1446 H / 4 Februari 2024 23:06 wib
37.857 views
Tobat Ekologis, Membalas Kebaikan dan Berterima Kasih pada Tuhan dan Alam
Oleh: Natasya
Baru-baru ini, Gus Muhaimin Iskandar banyak menyebutkan tentang Taubat Ekologis demi memperbaiki lingkungan yang sudah sangat banyak dirusak demi kepentingan segelintir manusia. Mengingat istilah ‘Taubat Ekologis’ ini bersumber dari agama Katolik, maka hal ini jadi ramai diperbincangkan. Bahkan tidak hanya di kalangan umat Katolik, di kalangan umat Islam pun ikut membahas istilah ini.
Di dalam Islam sendiri, taubat adalah sesuatu yang sangat diharuskan ketika seorang hamba telah membuat suatu dosa atau kesalahan. Yang mana, taubat ini, tidak hanya tentang melakukan permintaan maaf kepada Allah dan diri sendiri, namun juga sebuah komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut lagi. Maka, Taubat Ekologis, sederhananya, bisa kita artikan sebagai permintaan maaf kita kepada Tuhan dan alam. Yang mana, tidak hanya tidak lagi melakukan kerusakan pada alam, namun juga memperbaikinya.
Allah menyiapkan semua isi bumi sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun, bagi segelintir manusia yang serakah, pemanfaatannya cenderung untuk dirinya sendiri dan merugikan alam dan manusia lain. Seperti contoh, pertambangan nikel. Mungkin banyak yang mengira bahwa pertambangan nikel adalah sesuatu yang sangat menguntungkan.
Tentu saja. Namun tidak banyak yang merasakan dampak negatifnya. Pemerintahan terus-terusan mengatakan bahwa nikel adalah suatu anugerah, namun bagi sebagian rakyat, pertambangan nikel adalah momok yang mengancam kehidupan mereka. Contohnya di Sulawesi, ada 5 desa yang dikabarkan kesulitan air bersih akibat tercemar oleh lumpur penggalian penambangan nikel.
Ada lagi, Food Estate, yang masih panas dibahas hingga hari ini. Food Estate juga merupakan salah satu bukti dari lalainya pemerintah dalam mengelola alam sebagai sumber kehidupan manusia. Sekitar 600 hektar hutan harus ditebang pohonnya, namun hasilnya, proyek ini gagal akibat kurangnya penelitian dan informasi.
Itulah mengapa Jared Diamond—seorang ilmuwan dan pengarang—menyebutkan bahwa kematangan kelembagaan adalah pembeda dari negara kaya dan negara miskin. Maksudnya adalah, kualitas kelembagaan adalah kualitas dari negara tersebut dalam mengelola negaranya.
Walau negaranya miskin akan sumber daya alam, namun kualitas kelembagaannya bagus, maka negara tersebut akan bisa lolos dari kemiskinan. Sebaliknya, walau kekayaan alam di negara tersebut sangat melimpah, namun kualitas kelembagaannya buruk, maka negara tersebut tidak akan mencapai apa-apa selain kerusakan dan kemiskinan. Dan Indonesia sudah benar-benar membuktikan hal tersebut.
Kekayaan alam kita melimpah ruah. Namun, dalam memproses semua kekayaan alam tersebut, kelembagaan kita terlalu buruk, sehingga hingga saat ini, negara kita masih miskin dan kalah dengan negara-negara yang minim sumber dalam alam.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41)
Alam memang bisa memulihkan dirinya sendiri. Namun, jika manusia tidak memberikan waktu, dan dirusak secara brutal, maka alam akan kehilangan kesempatannya dalam memulihkan diri. Padahal alam banyak membantu kita, tapi kita enggan membalas kebaikannya. Na’udzubillah. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!