Selasa, 27 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Mei 2012 09:27 wib
9.351 views
Risalah Adzan dan Otokritik untuk Muadzin, Mau Tahu?
JAKARTA (VoA-Islam) - Melihat fungsinya, azan bertujuan agar seruan itu sampai ke tempat yang jauh. Pada zaman Wali Songo, bedug menjadi pelengkap, agar seruan shalat terdengar di seluruh desa. Di era modern ini, teknologi semakin maju, maka digunakanlah loud speaker. Bagi yang terusik, azan dianggap suara yang bising dan gaduh. Padahal, azan mengajak manusia agar bergaya hidup sehat, belajar mendisiplinkan diri, dan sangat membantu pelajar dan pekerja melakukan aktivitas dengan membiasakan diri bangun pagi.
“Bagi saya, azan itu bentuk syiar Islam, dan menandakan seseorang berada di negeri muslim. Yang merasa terganggu dengan azan, cari saja komplek perumahan yang tidak ada masjidnya. Gitu aja kok repot. Ketika saya ke Mesir, nyatanya, tak ada azan yang dibatasi kok,” ujar dai kondang Ustadz Subki al Bughuri kepada Voa-Islam.
Barangkali yang perlu menjadi otokritik bagi pengurus masjid di kampung-kampung, seperti disarankan Ketua Musholla Nurul Iman di Depok, adalah mengatur loud speaker yang jernih, tidak dengan volume yang full, dan tentu saja menetapkan muazin bersuara indah saat mengumandangkannya. “Terpenting, loud speaker tidak digunakan untuk hal lain, selain azan. Ada pengurus yang lagaknya seperti penyiar radio, dari fajar hingga dhuha ngerocos, tak henti-henti. Usai azan, lalu ngaji, dilanjuti shalawatan. Akibatnya masyarakat jadi terganggu,” ujarnya.
Risalah Azan
Tak banyak umat Islam yang tahu, bahwa azan ternyata punya risalahnya sendiri. Sejarah mencatat, azan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, suatu hari Nabi Muhammad Saw mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu shalat dan mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid untuk melakukan shalat berjama’ah.
Di dalam musyawarah itu, beberapa sahabat mengajukan usulan. Diantara mereka, ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu shalat telah tiba. Apabila benderanya telah berkibar, hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada khalayak lainnya. Ada juga yang mengusulkan terompet sebagai media memanggil orang shalat, seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan, membunyikan lonceng seperti yang dilakukan oleh orang Nasrani.
Yang unik, ada seorang sahabat yang menyarankan, agar dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang, walaupun ia berada ditempat yang jauh. Yang melihat api itu, hendaklah datang menghadiri shalat berjamaah.
Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi. Namun, karena aturan itu harus diputuskan segera, Rasulullah saw memberi gambaran, bahwa panggilan itu harus ada unsur ajakan ”assalatu jami’ah” (marilah salat berjamaah). Lantas, muncullah gagasan dari Umar bin Khattab, agar menunjuk seseorang yang bertindak sebagai penyeru kaum Muslimin untuk sholat berjamaah setiap waktunya tiba. Kemudian saran ini diterima dan disetujui Nabi dan seluruh sahabat yang hadir. Ketika itu ditunjuklah Bilal sebagai muazin. Bilal dipilih, karena ia memiliki suara lantang dan indah.
Mengapa muazin berlomba-lomba meraih keutamaan azan? Karena dari Abu Hurairah, ia pernah mendengar Rasulullah saw pernah bersabda: "Seorang muazin akan diampuni dosanya sejauh suaranya dan setiap yang basah dan kering akan memintakan ampunan baginya yang melaksanakan shalat berjama'ah, maka baginya akan ditulis 25 kebaikan dan dihapus dosa-dosanya diantara waktu sholat."
Shahih Ibnu Majah, dari Ibnu 'Umar, Rasululloh Saw bersabda: "Barangsiapa mengumandangkan Azan selama 12 tahun, maka wajib baginya surga serta ditulis setiap hari enam puluh kebaikan dengan azannya itu, dan pada setiap iqomah tiga puluh kebaikan." Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!