Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Juni 2012 11:05 wib
9.162 views
Inilah Kepanikan Islamophobia terhadap Formalisasi Syari'at Islam
JAKARTA (VoA-Islam) – Secara historis, Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) pernah dideklrasikan oleh SM Kartosuwirjo di Jawa Barat, yang kemudian diikuti oleh Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Saat ini, Aceh telah menerapkan hukum Islam, sementara beberapa daerah di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Syari’ah Islam.
Perkembangan di tiga daerah itu menjadi momok bagi kaum liberal, sebagai wujud dari gejala keberhasilan ide “negara Islam”, yang kelak akan dikuti oleh daerah lain melalui efek domino. Kepanikan kaum liberal bisa dirasakan, ketika isu penegakan syari’ah Islam ditandai dengan keluarnya Perda-perda Ketertiban Umum (bersubstansi Syari’ah) di beberapa daerah.
Tak dipungkiri, kaum liberal kerap menyerang kelompok Islam yang selama ini mendorong penerapan syariat Islam di Indonesia. Kaum liberal menuduh pengetahuan kelompok Islam yang menghendaki pemberlakuan syariat Islam ini, miskin dengan peta sosiologis Indonesia. Mereka nampak “kebakaran jenggot” alias panik ketika Syariat Islam belum diberlakukan secara nasional, namun diupayakan melalui Perda-perda yang substansinya sesuai dengan syariah.
Kecemasan kaum liberal itu terungkap dalam buku “Ilusi Negara Islam” yang diterbitkan oleh Maarif Institute bekerjasama denganThe Wahid Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika. Dalam buku setebal 321 halaman tersebut, terdapat Kata Pengantar dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafi’I Maarif, Abdurrahman Wahid, dan KH. Mustofa Bisri.
Kaum liberal pun berdalih, bahwa penerapan syariah Islam secara formal dianggap bertentangan dengan konstitusi, Namun, ada celah yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu, yakni melalui wewenang otonomi daerah. Lalu kaum liberal, menuding gerakan Islam yang disebutnya “garis keras” bekerjasama dengan politisi dan pejabat (yang disebut oportunis) di daerah untuk memanfaatkan otonomi daerah untuk memberlakukan syariah Islam secara formal melalui Perda-perda.
Berikut kecemasan kaum liberal terhadap formalisasi syariat Islam: “Proses mengislamkan negara melalui penerapan syariah secara konstitusional adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Maka strategi yang ditempuh adalah ‘desa mengepung kota’, yakni melalui formalisasi syariah di daerah-daerah dengan Perda-perda Syari’ah. Nantinya, ketika semakin banyak daerah di tanah air yang menerapkan syariah sebagai hukum regional, maka langkah menjadikan syari’ah sebagai hukum nasional dan pendirian Negara Islam hanya soal waktu saja.”
Hal ini bisa disimak dari statemen seorang responden yang diteliti kelompok liberal terkait penegakan syariah dengan mengatakan: “Kalau masyarakat sudah Islami, syari’ah Islamnya jalan, maka jadi negara Islam dengan sendirinya tanpa diucapkan.”
Kepanikan Wacana Negara Islam
Penolakan kaum liberal terhadap pendirian atau formalisasi agama didasari oleh hasil Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1935, yang memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam, melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami.
Kaum liberal juga memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya dan tradisi bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, mereka menyebut aktivis Islam yang mendorong penerapan Syariat Islam di negeri ini sebagai aktivis Islam garis keras. Sementara kelompok liberal menyebut dirinya sebagai Islam moderat. Mereka pun menuduh jargon memperjuangkan Islam sebagai upaya memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata.
“Dengan dalih memperjuangkan dan membela Islam, mereka berusaha keras menolak budaya dan tradisi yang selama ini menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia,” tulisnya tendensius.
The Wahid Institute juga menganggap sempit, literal dan terbatas, jika Islam menjadi ideolongi politik. Mereka juga menyebut kelompok yang ingin mengubah wajah Islam Indonesia sebagai kelompok yang agresif, beringas dan intoleran, serta penuh kebencian. Bahkan, upaya mendorong penerapan syariat Islam sebagai usaha membelah persatuan dan kesatuan bangsa.
Fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, pluralism dan liberalisme pun dinilai kelompok liberal sebagai sesuatu yang bersifat kontra produktif dan memicu kontroversi. Lebih dari itu mereka menuding Fatwa MUI tersebut sebagai penyebab aksi-aksi kekerasaan atas nama Islam.
Berikut ini adalah kalimat-kalimat tendensius dan fasik, yang dinyatakan kelompok liberal terhadap wacana formalisasi dan implementasi hukum Islam, mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyah:
“Mereka menduga Tuhan akan puas kalau ada kekuasaan politik atau penguasa yang memerintah atas nama-Nya. Mereka berimajinasi Allah Swt akan bangga jika hukum Islam versi mereka menjadi hukum positif atau hukum negara. Bahkan – secara tak sadar – ada yang berpandangan bahwa Tuhan tidak berdaya sehingga Islam perlu dibela, atau barangkali hal ini hanya dalih belaka untuk agenda tersembunyi dalam meraih kekuasaan. Semua ini tidak bisa dipisahkan dari kebodohan…”
Sebetulnya yang bodoh, sempit, dan tidak berpengetahuan adalah justru mereka sendiri. Mereka tidak memahami hakekat penerapan syariat Islam. Kaum liberal juga tidak sadar, bahwa mereka juga sedang mengagendakan politik dan kekuasaan, tentunya berilusi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler dan liberal.
Kaum liberal menyatakan penolakannya terhadap setiap usaha formalisasi agama untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia. Mereka menyebutnya sebagai kesalahpahaman teologis yang harus ditolak. Aneh dan lucunya lagi, kaum liberal mengatakan, bukan bentuk negara maupun formalisasi agama yang dibutuhkan untuk menjadi muslim yang baik, tetapi keikhlasan kesadaran spiritual untuk selalu merasakan kehadiran Ilahi (ihsan). Lagi-lagi mereka menyebut upaya untuk mewujudkan masyarakat Islami melalui implementasi syari’ah maupun pendirian Negara Islam atau Khilafah Islamiyah sebagai manuver politik untuk meraih kekuasaan.
Dengan dalih yang tak logis, kaum liberal mengatakan, untuk menjadi khalifah Allah di bumi hanyalah mereka yang dalam beragama telah mencapai kualitas muhsinin dan mukhlis, yakni para Wali Allah Swt. “Para sufi memahami syari’ah sebagai jalan, bukan tujuan. Karena mereka sangat toleran dan inklusif ketika bertemu dengan para penempuh jalan yang berbeda.” Pernyataan ini hanyalah bentuk ketakutan dan kepanikan yang sangat akut terhadap syariat dan khilafah."
Apa yang dinyatakan kaum liberal atas tuduhan syariat Islam adalah sebuah ucapan yang fasik, tidak logis, sempit, dan sebuah kebodohan yang membelenggu. Mereka tak lebih agen-agen Barat yang disuplai dengan materi untuk menyerang Islam dari dalam. Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!