Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 11 Juli 2012 16:36 wib
10.880 views
Revolusi Rakyat Jakarta Menentukan Pemimpin
Pilkada DKI Jakarta kemungkinan akan menjadi dua putaran. Karena tidak ada satupun calon gubernur yang mendapatkan suara 50 persen lebih. Sehingga, kemungkinannya pilkada di DKI akan diulang.
Hasil penghitungan melalui quick count melalui berbagai media di Jakarta, diluar prediksi semua pengamat politik, dan menjungkirkan semua asumsi yang ada. Calon incumbent terjungkir, dan nampaknya kemungkinan bakal terdepak dari jabatannya sebagai gubernur.
Melihat hasil pilkada di DKI ini nampaknya terjadinya suatu perubahan yang mendasar persepsi dan paradigma berpikir masyarakat. Hal ini, sangat nampak dengan jelas, perilaku politik mereka, terwujud dalam pilihan politik, khususnya dalam menentukan pilihan tokoh. Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, tentang kecenderungan rakyat Jakarta.
Pertama, pilkada di DKI ini di warnai suara golput yang tinggi, hampir mencapai 40 persen. Angka golput yang tinggi ini, nampaknya tak terprediksi, dan menjadi "question" besar, khususnya bagi pengamat politik. Selama ini diasumsikan bahwa suara golput akan turun, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada akan sangat tinggi. Meskipun, berbagai anjuran melalui media, dan pernyataan tokoh, tetapi tidak mengubah sikap sebagian rakyat yang tetap memilih golput.
Suara golput yang tinggi, menggambarkan sebagian rakyat Jakarta tetap merasa tidak terwakili aspirasi mereka oleh tokoh-tokoh yang dicalonkan oleh partai politik. Sebagian rakyat Jakarta sudah terlanjur tidak percaya dan ragu terhadap tokoh-tokoh yang ada.
Kalangan terdidik yang "well inform" dan ideologis, tetap tidak bisa yakin dengan para tokoh yang ada. Tokoh yang ditampilkan oleh partai politik itu, di mata mereka meragukan, dan tidak dapat menjadi sandaran aspirasi mereka, khususnya dalam kehidupan politik di Jakarta. Inilah merupakan gambaran bagaimana sikap para kalangan terdidik yang ideologis, di Jakarta, lebih memilih sikap skeptis melihat pilkada, dan memilih diam. Jika ini jumlah mereka semakin besar akan menciptakan "balance of politict" di Indonesia. Apalagi, Jakarta menjadi barometer politik nasional.
Kedua, pilkada di DKI seperti menjadi tempat "killing ground" (ladang pembantaian) bagi Partai Demokrat yang mendukung Foke dan Partai Golkar yang mendukung Alex Nurdin, yang secara telak terjungkir. Foke mendapatkan dukungan suara 32 persen, sementara Alex hanya mendapat 5 persen suara. Tidak seperti yang diprediksikan dan hasil-hasil polling sebelumnya. Di mana Foke selalu berada diurutan atas. Sedangkan, Alex Nurdin yang didukung Partai Golkar, PPP, dan sejumlah partai lainnya, tidak ada rakyat yang mau mendukung.
Foke sudah terlalu tua, dan sangat tidak menarik, serta berkuasa beberapa kali bersama Sutiyoso di DKI Jakarta. Tidak ada yang surprise yang dihasilkan oleh Foke selama memimpin di DKI. Sementara itu, Partai Demokrat yang mendukungnya sudah "tenggelam dengan mega korupsi". Tidak mungkin Partai Demokrat dapat mendongkrak Foke, yang sudah tidak populer lagi. Foke tidak populer dan Partai Demokrat tidak populer. Jadi sulit akan menang.
Sementara itu, Alex Nurdin, yang pernah di periksa KPK, terkait denga Wisma Atlet, di Palembang, sangat tidak populer. Apalagi, Partai Golkar yang mengusungnya hancur, akibat korupsi yang dilakukan oleh Zulkarnaen Djabar, berkaitan dengan al-Qur'an. Golkar benar-benar bisa "bangkrut dan hancur", akibat kasus korupsi al-Qur'an. Pantas, kalau Alex Nurdin, tidak mendapatkan dukungan suara.
Bahkan, konon saat penghitungan suara, Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang baru saja ditahbiskan menjadi calon presiden dari Partai Golkar, sudah pergi ke Amerika Serikat, istirahat, dan tidak mampu melihat kondisi hasil pilkada DKI, yang pasti akan sangat berdampak terhadap pencalonannya sebagai calon presiden di 2014 nanti.
Sepertinya, Jokowi, walaupun dicalonkan oleh PDIP, yang termasuk "the old party", tetapi Jokowi memiliki kepribadian yang kuat, dan prestasinya di Solo, yang membela rakyat kecil, nampaknya mempunyai daya tarik. Rakyat Jakarta bukan hanya tertarik dengan model kampanye Jokowi, tetapi tokoh yang berasal dari Solo ini mempunyai kepribadian yang kuat, dan Jokowi mendapatkan dukungan suara 43 persen.
Wong Solo ini, selama menjadi walikota, melarang hypermart, melindungi pedagang kecil, dan berhasil mengubah birokrasi di Solo yang menjadi bersih dan efessien. Semua dapat dilihat dan dibandingkan dengan Foke, atau tokoh-tokohnya lainnya. Inilah yang menghasilkan perubahan dukungan suara kepada Jokowi.
Namun, apakah nantinya Jokowi, serius dan dapat memegang komitment dan janjinya? Memang, harus dibuktikan, khususnya terhadap rakyat kecil di Jakarta, yang memerlukan perlindungan.
Ketiga, tokoh PKS, Hidayat Nurwahid, yang mendaftar sebagai calon hanya satu jam sebelum pendaftaran ditutup, dan menggantikan "Bang Sani", menjadi calon gubernur, tak mendapatkan dukungan dari rakyat Jakarta. Rakyat di Jakarta tak "doyan" alias "emoh" dengan mantan Presiden PKS dan Ketua MPR itu. Hal itu, sangat nampak dukungan yang diberikan oleh rakyat.
Jika tahun 2004, Hidayat Nurwahid, berhasil memutihkan Jakarta, dan memenangkan pemilihan di DKI, ternyata Hidayat dalam pilkada di DKI tahun 2012 ini, tokoh yang konon dianggap bersih ini, suaranya jeblok, dan hanya mendapatkan dukungan suara 11,7 persen. Artinya, jauh dibandingkan dengan perolehan suara pemilu di DKI, tahun 2004 maupun 2009. Di mana suara PKS mencapai hampir 20 persen. Mungkin yang memilih Hidayat dalam pilkada DKI kali ini, hanya sebagian kader dan simpatisannya saja.
Mungkin rakyat tahu, selama ini, yang diangkat dan dipromosikan kepada publik yaitu "Bang Sani", sebagai calon gubernur. Konon, "Bang Sani" sudah dipersiapkan oleh Anis Mata, selama dua tahun. Entah sudah berapa duit, yang digunakan untuk publikasi selama hampir tujuh bulan. Seluruh pelosok DKI Jakarta penuh dengan poster dan gambar "Bang Sani".
Rakyat Jakarta, mungkin juga tahu, bahwa "Bang Sani" akan disandingkan dengan Foke. Tetapi, saat terakhr pendaftaran, tiba-tiba namanya digantikan oleh Hidayat Nurwahid. Seperti tidak masuk akal bagi rakyat Jakarta, perilaku politik PKS. Mungkin karena PKS gagal mendampingkan Sani dengan Foke, kemudian mengangkat Hidayat Nurwahid.
Tetapi, saat pemilihan gubernur DKI, 2007, sebelumnya PKS sudah memasang Jenderal Polisi, Adang Dorodjatun, dan kalah. Namun, rakyat menjadi tahu, betapa telah terjadi politik "transaksional" yang penuh dengan uang. Hal itu, seperti diakui oleh Sekjen PKS, Anis Mata,di berbagai media, menerima uang mahar dari Adang Dorodjatun, yang jumlahnya mencapai Rp 76 miliar. Memori rakyat belum hilang tentang kisah di masa lalu, keterkaitan PKS dengan Adang.
Maka, tak aneh kalau Hidayat Nurwahid, yang konon bersih itu, tak dapat memikat hati rakyat Jakarta. Terbukti, Hidayat hanya mendapat suara 11,7 persen. Rakyat Jakarta "emoh" memilih tokoh partai dakwah, yang dulu memiliki jargon : bersih, peduli, dan profesional.
Perolehan suara Hidayat Nurwahid ini sungguh sangat memukul bagi masa depan PKS di tahun 2014 nanti. Partai ini bisa terancam gulung tikar, dan tidak mencapai PT (Parlemen Treshold), yang sekarang diubah menjadi 3,5 persen. Betapapun, DKI Jakarta akan menjadi barometer politik secara nasional. Jika DKI Jakarta, PKS tidak mendapatkan suara dukungan rakyat, maka bisa diprediksi masa depan dari partai dakwah itu.
Memang, sepertinya Jokowi menarik dibanding yang lain, sederhana hidupnya, tidak korup, bersih, dan tegas membela rakyat. Tidak banyak basa-basi. Mungkin pilkada di DKI, benar-benar sebuah pelajaran bagi siapa saja yang berkuasa. Bagaimana kehidupan dan sikap hidup seorang tokoh, itulah yang akan dinilai oleh rakyat. Termasuk bagaimana track record partai yang mengusungnya.
Pilkada DKI bisa menjadi alat ukur, bagaimana rakyat menentukan pilihan terhadap tokoh yang akan menjadi pemimpin mereka. Inilah revolusi rakyat DKI, yang berhasil mengubah kehidupan para tokoh yang tidak memiliki karakter, dan keberpihakan kepada rakyat, pasti akan tergusur. Tokoh-tokoh yang berbau korup, atau diusung partai korup, dibuang oleh rakyat.
Namun, siapa saja yang berbuat dan beramal tidak dalam rangka taat, tunduk, patuh, beribadah, dan menegakkan hukum Allah Azza Wa Jalla, pasti akan menjadi sia-sia segala yang diusahakannya. Apalagi, kalau orientasinya hanya kepentingan materi, kesejahteraan, serta nilai-nilai duniawi yang selalu menjadi tujuannya, tak bakal bermanfaat bagi kehidupannya kelak. mi
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!