Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 12 November 2012 10:54 wib
7.633 views
Menanti Kejayaan Islam di Nuuwar Melalui Program Beasiswa Pendidikan
Nuuwar (VoA-Islam) – Haru biru dirasakan sejumlah santri asal Irian (Nuuwaar) saat wisuda di Ponpes al-Hikmah, Bogor, Jawa Barat. Mereka mengaku rindu dengan orang tuanya karena selama tiga tahun tidak berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Karena memang itulah aturan yang ditetapkan AFKN, sebuah yayasan yang menjembatani para donatur untuk memberi beasiswa pendidikan bagi anak-anak Nuuwaar.
Dari tempat yang jauh, terpencil di pedalaman Irian, dengan mengarungi bahtera lautan yang luas, santri Nuuwar yang sebagian besar datang dari kalangan keluarga tidak mampu, harus meninggalkan kampung halamannya untuk menimba ilmu kebidanan di Medan, Sumatra Utara. Orang tua mereka telah melepaskan buah hatinya, dan merelakan kepegian anaknya dalam waktu yang lama. Setelah lulus, mereka akan kembali pulang ke Irian untuk berdakwah dan mengabdi pada masyarakat.
Saat ini sudah ribuan anak Irian telah disekolahkan secara cuma-cuma alias gratis. Awalnya dimasukkan ke berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan diantaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah 29 orang yang meraih gelar S-2.
Pendidikan bagi orang Irian adalah kunci untuk sebuah perubahan besar. Tanpa pendidikan, masyarakat Irian tak akan mengenal peradaban. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta Iman dan Taqwa (IMTAQ) adalah segala-galanya. Tanpa Pendidikan (ilmu) sama saja hidup dalam kebodohan, terbelakang, dan terus tertinggal.
“Kalau tidak dimulai dengan pendidikan, ke depan generasi Irian akan hancur, termasuk tatanan tauhid dan aqidahnya. Masyarakat Irian butuh pemikiran, perubahan, dan butuh ketenangan hidup. Selama ini kami dibiarkan hidup dalam kemiskinan. Ironisnya lagi, kemiskinan kami dijadikan proyek oleh mereka yang mengatasnamakan kepentingan rakyat,” ungkap pimpinan AFKN Ustad Fadzlan.
Dikatakan Fadzlan, generasi Irian harus dibekali dengan konsep ilmu yang benar. Dengan demikian, ketika sudah berilmu dan kembali ke kampung halaman, jiwanya akan terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Dan untuk mendapatkan ilmu yang benar, generasi muda Muslim Irian harus hijrah. Selama di perantauan, mereka akan banyak menimba ilmu dan pengalaman hidup yang bermanfaat. Hijrah adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, sulit bagi generasi Irian untuk bisa berkembang.
Untuk membawa anak-anak Irian belajar ke Jakarta, Sumatera, dan Jawa, AFKN menjalin hubungan kerjasama dengan stakeholder pimpinan pesantren, rektorat, pimpinan yayasan hingga Baitul Mal wa Tanwil. Bahkan pendekatan secara pribadi dengan mereka yang memiliki kepedulian dengan perjuangan AFKN mengangkat harkat dan martabat masyarakat Muslim Irian. Diantara mereka, ada yang bersedia menjadi ayah angkat, dan membiayai hidup mereka selama belajar di pesantren atau kampus, tempat anak-anak Irian menuntut ilmu. Adapun anak-anak Irian yang datang ke kota besar tersebut, berasal dari kabupaten yang berbeda. Ada dari Kaimana, Fakfak, Bintuni, Raja Ampat, Wamena, Sorong, Nabire, dan wilayah Irian lainnya.
Di Kampus Indonusa Unggul misalnya, Holiqkurraman Raus selaku Pembina AFKN memiliki andil besar dalam membantu anak-anak muda Muslim Irian. Mereka, selain diberikan beasiswa, juga mendapat fasiltas tempat tinggal dengan menyewa kost, dekat lingkungan kampus. Terutama yang ahwat. Sedangkan yang ihwan (laki-laki) tinggal di masjid. Mereka (ihwan) diberi tugas untuk memelihara kebersihan masjid dan memakmurkannya.
Setidaknya ada beberapa anak (Putra-putri) Muslim Irian yang mendapatkan kesempatan belajar di Univesitas Indonusa Unggul, sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Mereka adalah Muksin Patipi, Yusuf Sayop, Usman Iba, Siti Adia Akatian, Siti Woretma, Fitria Patiran, Siti Rahayu Gwas Gwas, Hajija Rumakabes (semua dari Fakfak), Eric Arta Saiyof (Sorong), Nasir Tonoi (Bintuni), Yahya Boimasa (Kaimana).
Selain di Kampus Indonusa Unggul, sejumlah mahasiswa asal Irian juga mendapatkan beasiswa di Kampus Universitas Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, Ciputat, salah seorang mahasiswanya adalah Muhammad Mudzakkir Asso yang meraih gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).
Menahan Keinginan
Namanya anak muda, pasti punya banyak keinginan. Terlebih berada di tengah pergaulan anak-anak kota metropolitan. Diantara teman-temannya ada yang pergi kuliah dengan mengendarai mobil atau motor merk terbaru. Sedangkan anak Irian hanya bisa memandangnya seraya berangan-angan.
Dikatakan Ustad Fadzlan, untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jakarta atau kota besar lainnya, anak-anak Irian diberikan kebebasan untuk memilih fakultas dan jurusan yang diminati. Tak ada yang melarang punya cita-cita untuk menjadi guru, tentara, polisi, pengusaha, arsitek, dokter, wartawan, mubaligh, semua dikembalikan kepada motivasi anak-anak Irian sendiri.
“Terpenting, dimana pun mereka bekerja dan apapun profesinya, generasi Muslim Irian harus tampil sebagai juru dakwah. Jika menjadi pengusaha, maka jadilah pengusaha yang berdakwah dengan hartanya. Bila menjadi wartawan, jadilah wartawan yang berdakwah denga penanya. Kalau menjadi tentara, jadilah tentara yang berakhlak, membela kaum yang lemah dan seterusnya.”
Kata Ustad Fadzlan, profesi da’i tidak dboleh ditinggalkan. Ketika masuk di kelompok masyarakat, yang harus didahulukan adalah dakwahnya, baru kemudian bicara struktur dan organisasi. Ini adalah amanah yang kami berikan kepada seluruh anak Irian agar menjaganya dengan baik. Jika tidak, bagaimana orang bisa tahu bahwa Islam bisa tumbuh dari Irian?
Untuk membawa anak-anak Irian untuk di sekolahkan ke Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, tentu membutuhkan strategi dan pendekatan yang baik kepada orang tuanya. Pendekatan yang paling sederhana adalah menunjukkan foto, majalah, atau apapun yang bisa menunjukkan tentang anak-anak Irian yang berhasil, berkat pendidikan. Untuk lebih meyakinkan orang tuanya, AFKN bisa membawa mereka ke Jawa. Sesampai di Jakarta, mata mereka pun terbuka dan memahami bahwa ilmu adalah kebutuhan yang sangat penting. Begitu kembali ke pulang, mereka bercerita kepada tetangga, kerabat, sanak dan saudaranya, bahwa orang Irian harus melakukan perubahan, dengan mengirimkan anak mereka belajar di pulau seberang.
Mengenai proses perekrutannya, sebelum anak-anak Irian dibawa ke Jakarta, da’i AFKN “bermalam” dulu di kampungnya selama 2-3 bulan, bahkan bisa sampai 2 tahun. Dalam pendekatan itu, kedua belah pihak bicara dari hati ke hati untuk menawarkan kepada orang tuanya agar anak-anak mereka dibina. Ternyata responnya luar biasa. Alhasil, AFKN bisa bawa 50-60 anak ke Jawa, baik yang Muslim maupun yang masih muallaf. “Ada beberapa kader kami di Pesantren Gontor yang hafidz Al Qur’an,” cerita Fadzlan merasa bangga dengan anak-anak binaannya.
Tentu saat dibawa ke Jawa, anak-anak Irian harus beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang berbeda. Tapi umumnya, mereka cepat beradaptasi, baik dalam hal pergaulan maupun pola makannnya. Sebagai contoh, anak Irian terbiasa makan sagu atau ubi, maka ketika makan nasi, perut mereka mendadak menjadi sakit. Atau kalau makan nasi habis “sebakul” (tambah porsi).
Tersebarnya anak-anak Irian yang dikirim ke beberapa pesantren di Jakarta, tak membuat AFKN lepas dari tanggungjawab. Artinya, pimpinan AFKN terus memantau perkembangan mereka. Jika ada yang sakit, atau ada masalah selama di perantauan, AFKN akan menjaminnya.
Setoran Hafalan Al Qur’an
Setiap Ramadhan dikumpulkanlah anak-anak Irian di Bekasi, markas AFKN sekaligus kediaman Ustad Fadzlan dan keluarganya. Di markas yang berdiri sejak 1985 ini acapkali menjadi pusat informasi dan tempat bertanya. Di sinilah, anak-anak bisa ketemu, saling bertukar pikiran dan pengalaman. Setelah bertemu, biasanya masing-masing akan termotivasi dengan perkembangan saudara-saudaranya sesama putera daerah. Dengan bertatap muka, pimpinan AFKN bisa mengetahui sejauhmana perkembangan anak-anak binaannya.
Yang menarik, setiap minggu, masing-masing ketua kelompok yang mewakili anak-anak Irian harus setoran hafalan beberapa ayat suci Al Qur’an. Jika tidak menyetor, Ustad Fadzlan marah dan tidak segan-segan menegur mereka. “Ustad bisa marah, kalau kami tidak setor hafalan ayat Al Qur’an. Tapi setelah ustad marah, beliau tersenyum lagi. Ustad hanya ingin memotivasi kami untuk serius belajar dan meningkatkan kualitas hafalan Al Qur’an.”
Diakui mahasiswa, selama belajar, ada juga rasa jenuh dan rindu kepada orang tua dan kampung halaman mereka. “Kalau kami kangen, kami akan menelpon, atau menulis surat. Setidaknya kerinduan kami dapat terobati,” kata salah seorang santri Nuuwar.
Kata Ustadz Fadzlan, sebenarnya pihak yayasan melarang para santrinya untuk berkomunikasi dengan pihak keluarganya selama mengikuti studi. "Karena biasanya, orang Irian kalau sudah bertemu dan berkomunikasi dengan saudaranya di kampung halamannya, jadi ingin kembali pulang. Khawatirnya malah mengganggu studinya di tempat mereka belajar." Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!