Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 14 November 2012 08:57 wib
10.523 views
Matikan Pedagang Kecil, Tahun 2013 Jokowi Stop Izin Pembangunan Mal
Jakarta (VoA-Islam) – Bukan rahasia umum lagi, jika keberadaan mal di sejumlah kota besar kian menggurita. Bahkan kehadiran minimarket sampai masuk ke kampung-kampung. Yang pasti, ini akan mematikan pedagang kecil di sekitarnya. Atas dasar itu, Gubernur DKI Joko Widodo bakal menghentikan izin pembangunan mal untuk tahun 2013 di Jakarta. Namun untuk izin yang sudah terlanjur dikeluarkan, Jokowi tak bisa berbuat apa-apa.
"Untuk mal stop dululah, ya sudah tapi kan sudah ada izin yang keluar, dan masih banyak izin yang beredar," kata Jokowi di Jl Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (13/11/2012).
Untuk tahun mendatang, Jokowi akan fokus untuk membangun perumahan guna menormalisasi Kali Ciliwung. Rencana ini masih dibahas antara Pemprov DKI, Kemenpora dan Kementerian Pekerjaan Umum. Menginjak 2013 segera akan dimulai perumahannya.
Sebelumnya, Jokowi sudah meninjau sejumlah mal di Jakarta. Rencananya, dia juga akan menata sejumlah mal di Jakarta agar lebih bisa menampung kreatifitas publik. Nantinya, kawasan Blok M-Thamrin akan dijadikan creative public space. Tujuannya agar membangkitkan kreatifitas masyarakat.
Seperti diketahui, beberapa mal baru hadir di Jakarta hingga akhir tahun 2012 ini. Jakarta bakal mempunyai 75 mal akhir tahun ini. Hal ini menyebabkan Jakarta menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki mal terbanyak. Jakarta menempati urutan pertama disusul Surabaya sebagai kota-kota terbanyak yang memiliki mal. Namun demikian, jumlah mal di Jakarta masih kalah dengan Singapura maupun Hong Hong.
Jumlah mal di Indonesia saat ini kurang lebih mencapai 300 mal tersebar di Jawa maupun luar Jawa. Beberapa daerah yang masih minim mal antara lain Kalimantan dan Papua. Sementara itu di Jawa, Provinsi Jawa Tengah termasuk yang masih minim jumlah malnya. Perusahaan mal yang mendominasi antara lain Ciputra, Pakuwon, APG, Palm, Lippo dan lain-lain.
Menurut Litbang Kompas (2/1-2012), Minimarket di Jakarta ada 1.868 buah (meningkat 5% dalam 3 tahun terakhir), sementara itu Pasar Tradisional hanya 153 buah. Ada fakta yang sungguh miris: di Jakarta ada 2.162 minimarket tanpa ijin, di Bogor ada 400 minimarket tanpa ijin, Di Bandung ada 70 persen minimarket tanpa ijin, di Surabaya hanya 6 dari 209 mini market yg telah memiliki ijin operasi.
Inilah sejumlah minimarket yang menggurita di tengah masyarakat: Indomaret, Alfamart, Supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, Ramayana, Hypermart Carrefour, Hypermart, Giant, LotteMart, dan Indogrosir. Kondisi ini jelas mengarah pada praktik monopoli atau oligopoli, yang bertentangan dengan semangat UU no. 5 th 1999 mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pihak Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) sudah sering minta kepada pemda-pemda untuk menghentikan izin pendirian minimarket tanpa batas karena sangat merugikan pengusaha mikro.
Menurut pemantauan APPSI, pertumbuhan minimarket pada satu titik lokasi otomatis mematikan minimal 20 warung masyarakat. Jika pendiriannya yang liar itu dibiarkan, kelangsungan hidup masyarakat pada strata paling bawah akan punah. Kematian 20 warung di sekitar minimarket, berarti jumlah jiwa anggota keluarga yang kehilangan sumber pendapatan lebih besar dibandingkan daya tampung satu minimarket.
Memang pada era globalisasi sekarang ini, semua kegiatan usaha diizinkan. Tentu saja perlu regulasi dan pengendalian yg baik di lapangan. Sehingga jika pertumbuhan minimarket dalam jumlah tertentu serta zonasi yg tepat, itu tidak akan mematikan usaha masyarakat warung rumahan.
Bayangkan, 1 mall mematikan sekitar 100 pedagang, dan 1 minimarket mematikan sekitar 20 pedagang warung / toko kelontong. Sementara yg menikmati profit yang luar biasa itu hanya segelintir pemodal. Kebanyakan franchise minimarket itu milik konglomerat. Dengan matinya usaha – usaha kecil maka makin melebarkan gap, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin dan terkubur.
Ketika para pedagang di kampung – kampung atau di pasar – pasar tradisional itu gulung tikar, karena tidak kuat menyewa lapak yang seiring dengan menurunnya omset, maka untuk bisa tetap survive, kebanyakan mereka memilih untuk berjualan secara liar (di pinggir jalan), yg tentunya beresiko terjadinya penggusuran oleh petugas tibum (ketertiban umum) dari dinas tata kota. Inilah mengapa pedagang kaki lima tumbuh subur di negeri ini. Desastian/dbs
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!