Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 14 November 2012 10:02 wib
15.685 views
30 Dai Mendapat Pelatihan BIN & BNPT Untuk Dikirim ke Daerah Rawan
Jakarta (VoA-Islam) - Sebanyak 30 orang da’i yang tergabung dalam Majelis Silaturahmi Kiai dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia (MKSP3I) mendapat pelatihan dari BIN, BNPT dan Puslitbang Kemenag selama dua hari (12-14 November) di di Hotel Millenium Jakarta. Pelatihan ini akan ditindaklanjuti dengan mengirimkan para da’i ke berbagai tempat yang rawan masuk “ajaran radikal”. Demikian dikatakan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Prof Abdul Djamil di sebuah situs resmi Kemenag RI.
“Usai acara ini, mereka langsung ditempatkan di Bogor, Indramayu, Sukabumi, Kuningan, Cirebon, Pandeglang, Mesuji, Solo, Karanganyar, Sampit, Sampang, hingga Kediri,” ujar Abdul Djamil usai pembukaan Halaqoh Ulama dan Launching dai Rahmatan Lil Alamin Senin (12/11).
Menurut Prof Djamil, halaqah membahas berbagai isu-isu aktual problematika umat bertajuk “Memahami Keberagamaan di Indonesia dan Menegakkan Prinsif Islam Rahmatan Lil Alamin dalam Kehidupan berbangsa dan Bernegara”. Narasumbernya Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyad Mbai, tokoh nasional, cendekiawan, dan akademisi.
Sedangkan pembekalan Dai Rahmatan Lil ‘Alamin merupakan kegiatan lanjutan setelah Halaqoh. Pembekalan bertujuan untuk memberi wawasan pengetahuan serta pemahaman tentang kegiatan dakwah di lapangan yang meliputi aspek, deskripsi geografis, demografis, dan aspek aktivitas dakwah.
“Para da’i diarahkan dakwahnya untuk ikut memerangi perbuatan asusila, korupsi, narkoba, tawuran, dan konflik horizontal,“terang Prof Djamil. Mereka juga harus bisa mengupayakan penanaman nilai dan perilaku kemanusiaan di setiap ideologi umat.
Ketua Umum MSKP3I Noer Muhammad Iskandar SQ menegaskan siap memberikan pencerahan bagi rakyat Indonesia yang tergabung dalam kelompok yang radikal ataupun kelompok yang longgar terhadap nilai-nilai keislaman. “Aliran sesat timbul karena miskinnya silaturahim. Kami siap menyebarkan lagi ajaran ahlussunah wal jamaah hingga ke pelosok agar selamat dari kelompok ekstremis,” tegasnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai tradisi keberagaaman Indonesia pada dasarnya unik. Umat, ujarnya, tidak perlu mendebatkan perbedaan yang ada. “Kita seharusnya sudah bisa melakukan sharing dan giving berupa ritual. Justru ajaran Islam yang saling bergesekan, bisa disalahgunakan atas nama demokrasi dan kebebasan memudahkan sebuah kelompok mengkafirkan orang lain,“ungkapnya.
Azyumardi memandang sebagai sebuah tantangan bagi pemerintah dan ulama. Dia berpesan, pihak-pihak tadi harus memelihara institusi, tempat ibadah, sekolah Islam, dan perguruan tinggi Islam harus diamankan agar tidak memprovokasi.“Sering-seringlah pemimpin ponpes dan pemimpin masyarakat berkhotbah di tengah lingkungan. Khotbah itu penting karena bisa jadi sarana memberikan perspektif pemikiran pada umat,“harapnya.
Azyumardi juga ingin agar pemerintah dan ulama mendekati setiap lapisan masyarakat untuk berdialog. Berikut menanamkan rasa nasionalisme. Hal tersebut untuk menghindari sektarianisme dan pembedaan mahzab seperti di Timur Tengah.
Rois Syuriah Nahdlatul Ulama KH Masdar Farid Mas’udi kemudian ikut menilai umat Islam harus siap dengan segala perbedaan karena mempunyai propabilitas beda paling tinggi. “Untuk menanggulanginya, negara juga tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama mayoritas dengan minoritas,” papar Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia ini.
Pentingnya pemerintah ikut campur, menurutnya, lantaran isu perbedaan mahzab kini diselipi politik. Bukan lagi terkait umat, tapi juga berebut kekuasaan. Konflik keagamaan ini disebutnya beragenda ideologis politik. “Prinsip menghalalkan segala cara menjadi stadium konflik beda mahzab menjadi berdarah-darah,“lanjut Farid. (desastian)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!