Senin, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 15 Desember 2014 17:04 wib
8.201 views
Kasus JIS Terkesan Seperti Kasus Eksploitasi Anak
Jakarta (voa-islam.com) - Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik, kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. HAM memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar HAM yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan atau tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik.
Belakangan ini marak terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia seperti yang terjadi pada salah seorang murid sekolah taman kanak-kanak Jakarta International School (JIS). Meski pada perkembangan persidangan kasus ini malah seperti ada kesan eksploitasi anak.
Ya, betapa tidak. Berdasarkan 19 kali persidangan, bukti-bukti atas tuduhan tindakan asusila terhadap sejumlah petugas kebersihan JIS dan dua orang pengajar JIS yang dilancarkan oleh Ibu Korban, TPW, sangat lemah, baik itu bukti medis, maupun keterangan saksi di persidangan. Bahkan dari keterangan saksi ahli di persidangan, terungkap bahwa kejadian tindakan asusila terhadap MAK tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi.
Namun, masih saja ada pihak-pihak yang mempercayai cerita Ibu TPW bahwa JIS menggunakan “kekuatan” untuk meredam kasus ini. Padahal, jika memang benar JIS mempunyai kekuatan untuk itu, maka tidak mungkin ada 6 orang petugas kebersihan yang saat ini menjadi tahanan kejaksaan, satu orang di antaranya tewas saat mendapat penyidikan dari pihak kepolisian. Dan kini para terdakwa itu dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Tidak mungkin pula ada dua orang tenaga pengajar JIS, satu orang WNA Canada, yang juga di tahan oleh Kejaksaan.
Meski bukti-bukti di persidangan mengungkapkan bahwa kejadian kekerasan seksual itu tidak ada, sang ibu bukannya bersyukur namun ia tetap ngotot mengatakan bahwa putranya telah mengalami tindakan kekerasan seksual tersebut. Ia pun meneruskan tuntutannya terhadap JIS dengan jumlah yang tadinya US$ 12 juta, menjadi US$ 125 juta, atau setara Rp 1,5 triliyun.
Sebagai masyarakat awam, tentu kita akan bertanya apakah motivasi dibalik itu semua. Mengapa ia tega mengorbankan putranya pula demi ambisinya itu? Bukankah tindakannya itu pun telah melanggar HAM putranya sendiri?
Pengacara terdakwa, Patra M. Zen, juga pernah mengatakan, bahwa bukan tidak mungkin seorang ibu itu menjerumuskan dan mengorbankan anaknya, atau melancarkan tuduhan palsu kepada pihak lain dengan menggunakan nama anaknya.
“Bukan tidak mungkin ada motif lain dari balik pelaporan sang ibu (ibu korban yang berinisial TPW), mengingat sudah 19 kali persidangan tidak ada bukti yang dapat dijadikan alasan menjerat para terdakwa, tidak ada bukti yang kuat bahwa tindakan sodomi itu telah terjadi,” katanya.
Karena itu, bisa jadi, kasus JIS ini bergeser dari kasus tindakan asusila terhadap korban yang berinisial MAK, berubah menjadi seolah-olah kasus eksploitasi anak oleh sang ibu, TPW. Dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh para terdakwa, menjadi pelanggaran HAM yang dilakukan Ibu TPW kepada putranya sendiri. (may/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!