Selasa, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 17 November 2015 13:30 wib
7.519 views
Ustadz Hasan Mendadak Umroh Lalu Haji
YOGYAKARTA (voa-islam.com) - Medio Februari 2015, ponsel Ustadz Hasan Abwam menggaungkan nada panggilan dari nomor asing. Da’i Dewan Dakwah yang bertugas di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, ini segera membuka kontak.
‘’Assalamu’alaikum Ustadz,’’ terdengar suara pria di ujung sinyal.
‘’Wa’alaikumusalam,” jawab Ustadz Hasan kalem.
“Apa kabar Ustadz? Ini Saya Sukar, suaminya Mini, muridnya Ustadz dulu di TPQ.’’
‘’Alhamdulillah sehat. Oh ya,’’ balas Ustadz Hasan sembari mengingat-ingat siapa Mini yang disebut penelepon.
Ah ya, memang ada salah seorang santrinya dulu yang bernama Mini. Anak itu kabarnya hijrah ke Jakarta. Dari radio dengkul yang dia dengar, Mini konon sudah menikah dengan seorang pengusaha cat yang sukses di Ibukota.
“Maaf, Sukar ini apakah suami Mini yang tinggal di Jakarta dan pengusaha cat ya?’’ Ustadz Hasan memastikan.
‘’Benar Ustadz, Saya Sukar, suami Mini. Sekarang kami tinggal di Jakarta.’’
‘’Oh, iya, iya. Sukar, bagaimana kabar kamu dan keluarga?“ Ustadz Hasan mulai mencair.
‘’Alhamdulillah, Saya dan keluarga sehat Ustadz,’’ jawab Sukar. Ia lalu melanjutkan, ‘’Begini Ustadz, saya ada permintaan untuk Ustadz.”
‘’O, ada apa Kar?”
‘’Ustadz, bisa nggak Ustadz segera ke Jakarta untuk sebuah urusan penting?”
‘’Wah, kok mendadak begitu ya Kar? Ada urusan apa ya?“
‘’Maaf, ceritanya agak panjang. Nanti Saya jelaskan kalau Ustadz sudah di Jakarta,’’ jawab Sukar misterius.
‘’O, begitu....’’
Setelah diyakinkan Sukar, akhirnya Ustadz Hasan menggendong rasa penasarannya ke Ibukota. Berbekal catatan alamat dan nomor telpon Sukar, Ustadz asal Wonogiri ini meluruk ke Ibukota Jakarta menuju rumah bekas santrinya.
Mini dan Sukar ternyata tinggal di daerah Cipayung, Jakarta Timur. Dipandu lewat ponsel, akhirnya Ustadz Hasan sampai juga ke kediamannya.
Tiba di depan pintu sebuah rumah yang cukup besar, Ustadz Hasan memencet bel. Beberapa saat kemudian, muncul dari balik pintu pasangan tuan rumah sambil mengembangkan senyum lebar.
Demi melihat nyonya rumah, Ustadz Hasan ingat. Ini pasti si Mini.
‘’Assalamu’alaikum Ustadz,’’ sambut Sukar sambil menjabat dan memeluk tamunya.
‘’Wa’alaikumsalam,’’ balas Ustadz Hasan. Ia juga menerima sungkem dari Mini yang dulu santrinya di Dusun Karang, Desa Girikarto.
Pertemuan guru dan murid berlangsung cukup mengharukan dan penuh kehangatan.
‘’Bagaimana perjalanan dari Gunung Kidul ke sini Ustadz?’’ Sukar memulai pembicaraan.
‘’Alhamdulillah lancar,’’ jawab Ustadz Hasan. Karena rasa penasaran yang begitu besar, Ustadz Hasan kemudian langsung saja menanyakan urusan yang mengharuskannya ke Jakarta. ‘’Ya, Sukar dan Mini, jadi kira-kira urusan apa yang bisa saya bantu di sini?’’
Sukar dan istrinya tertawa kecil. ‘’Ustadz rupanya sudah penasaran ya dari kampung ya,’’ jawab Mini. ‘’Mbok, tolong buatkan Ustadz Hasan minuman,’’ serunya.
Bukan menjawab pertanyaan tamunya, Sukar malah ganti bertanya, ‘’Ustadz Hasan ada paspor?’’
‘’Paspor?’’ Ustadz Hasan bingung. Jauh-jauh dari Gunung Kidul kok ditanyain paspor, batinnya.
Tapi Ustadz Hasan ingat, dia pernah dibuatkan paspor oleh Ustadz Nardi Sahuri, Ketua Dewan Dakwah Yogyakarta, 4 tahun lalu. Sedianya, ia akan diberangkatkan haji. Namun, hingga kini belum ada panggilan juga.
‘’Ada Kar. Paspor untuk apa ya?’’ ucap Ustadz Hasan
“Begini Ustadz, sebenarnya Ustadz kami minta berangkat ke Jakarta ini, karena Saya dan Mini sudah mendaftarkan Ustadz untuk umroh dalam minggu ini. Kalau Ustadz Hasan sudah ada paspor, kita tinggal melengkapi dokumen Ustadz yang lain untuk pemberangkatan umrohnya,’’ tutur Sukar yang membuat Ustadz Hasan terpana.
‘’Saya berangkat umroh?’’ Seakan tak percaya yang didengarnya, Ustadz Hasan bertanya meyakinkan.
‘’Iya Ustadz, makanya saya telpon Ustadz agar buru-buru ke Jakarta untuk mengurus keberangkatannya. Insya Allah semua biaya sudah saya yang siapkan,’’ terang Sukar.
Ia mengatakan, sebenarnya sudah lama ia dan Mini ingin memberangkatkan Ustadz Hasan umroh. Tapi, sepertinya baru saat ini momentum yang tepat.
‘’Kami salut dengan perjuangan Ustadz, selama duapuluh lima tahun mengajarkan Islam di desa. Dari mulai masyarakat tidak mengenal huruf Hijaiyah hingga fasih membaca Al Qur’an. Dari masyarakat tidak bisa sholat hingga masyarakat mulai meramaikan masjid saat ini,’’ tutur Mini, yang mengaku mengikuti pemberitaan tentang Ustadz Hasan lewat media sosial, televisi, dan majalah.
Pada Ramadhan dua tahun lalu, Ustadz Hasan salah satu bintang dari serial ‘’Menggapai Ridho Allah’’ di TV One. Tayangan siang ini menampilkan kiprah para da’i Dewan Dakwah di berbagai daerah.
Film sejenis dalam format lebih pendek, juga ditayangkan melalui media sosial pada Ramadhan tahun ini.
Video tentang kiprahnya membina dan mengembangkan masyarakat, juga ada di situs Youtube dengan judul ‘’Bergulir di Musim Paceklik’’.
Selain itu, Ustadz Hasan beberapa kali tampil di media cetak dan portal internet yang mewartakan program dakwah pedalaman.
Mini melanjutkan, dirinya pun turut menjadi saksi perjuangan Ustadz selama ini. ‘’Jadi, anggaplah ini hadiah dari Kami untuk Ustadz atas dedikasi Ustadz selama ini. Mohon terima hadiah umroh ini ya Ustadz,’’ kata Mini yang dianggukkan Sukar.
Antara percaya dan tidak, namun berbalut syukur, seketika itu juga Ustadz Hasan tersungkur bersujud syukur dengan linangan airmata haru.
‘’Terima kasih, matur nuwun ya Sukar dan Mini,’’ ucapnya usai bersujud di ruang tamu. Tuan rumah pun jadi menangis terharu.
Setelah melengkapi dokumen keberangkatan, dan syukuran ala kadarnya di Desa Girikerto, pada medio Februari 2015 Ustadz Hasan Abwam berangkat umroh.
Haji Catering
Tujuh bulan berlalu setelah menunaikan umroh, suatu hari Ustadz Hasan Abwam kembali mendapat sebuah telepon penting. Kali ini dari orang yang dia sangat kenal dan biasa menghubunginya. Dialah Ustadz Sunardi Sahuri, Ketua Dewan Dakwah Yogyakarta, induk organisasi Ustadz Hasan.
“Assalamu’alikum Ustadz Hasan.’’
‘’Wa’alikumusalam Ustadz Nardi.”
‘’Apa kabar Ustadz?’’
‘’Alhamdulillah, baik Ustadz. Ada apa gerangan ini, pagi-pagi Ustadz Nardi sudah menghubungi saya? Pasti ada yang sangat penting?’’
“Hehe,’’ terdengar Ustadz Nardi terkekeh di ujung ponsel. ‘’Betul Ustadz Hasan. Alhamdulillah Ustadz Hasan dapat panggilan haji tahun ini, Ustadz.’’
‘’Hah, panggilan haji untuk saya Ustadz?’’
‘’Iya Ustadz. Antum bersama 11 rekan Dewan Dakwah Yogya yang lain bisa berangkat tahun ini untuk haji dengan menggunakan visa catering,’’ terang Ustadz Nardi.
Meski syukur dan bahagia tidak terkira, Ustadz Hasan menjawab dengan hati-hati.
‘’Saya sangat senang Ustadz dengan berita ini. Tapi saya harus berdiskusi dulu dengan keluarga,’’ katanya.
Ia berpikir, walaupun gratis, tetap saja haji plus ini memerlukan bekal uang yang cukup besar baginya. Sementara, banyak kebutuhan rutin keluarga yang musti didahulukan.
Seperti membaca galau anak buahnya, Ustadz Nardi menegaskan, ‘’Pokoknya Ustadz Hasan harus berangkat, bagaimanapun caranya.’’
‘’Iya Ustadz, nanti saya kabari lagi untuk kepastiannya setelah saya berdiskusi dengan keluarga.’’
Saat Ustadz Hasan bertelpon dengan Ustadz Nardi, rupanya Umi Hasanah istri Ustadz Hasan turut memperhatikan dan menyimak pembicaraan mereka.
Tentu saja, sebagai seorang istri dan juga da’iyah yang telah membersamai suami selama 25 tahun berdakwah di Gunung Kidul, ia turut senang dengan berita yang didapat suaminya. Namun....
“Abi, Umi tentu sangat senang Abi mendapat kesempatan pergi haji gratis. Tapi Abi harus jujur kepada Ustadz Nardi dengan keadaan keuangan kita. Untuk uang saku keberangkatan haji paling tidak butuh 5 juta. Sedangkan anak-anak kita harus bayar uang kuliah paling tidak 6 juta rupiah dalam bulan ini,’’ tutur Ummi Hasanah dengan nada senang namun juga prihatin.
Ustadz Hasan paham maksud istrinya. Ia harus lebih mementingkan usaha mendapatkan uang kuliah kedua anaknya. Sebab, mukafa’ah sebagai da’i, ibaratnya hanya cukup untuk makan. Usaha sampingan pun kecil-kecilan saja.
Ustadz Hasan dan Ummi Hasanah memiliki empat anak. Dua tertua sedang kuliah, yakni Ummu semester 5 di STIKES Global Yogyakarta. Lalu Ummah baru masuk kuliah di STAI Wonosari mengambil jurusan PAI. Adapun dua orang lagi Abu baru duduk di bangku kelas 3 SD. Adiknya baru berusia 4 tahun.
‘’Baik Mi, kalau begitu Abi beritahukan kepada Ustadz Nardi bahwa kondisi keuangan kita tidak memungkinkan untuk berangkat haji tahun ini,’’ jawab Ustadz Hasan, tanpa bisa menyembunyikan gurat kecewa di wajahnya.
Umi Hasanah juga sedih melihatnya. Tapi, bagaimana lagi, mereka harus realistis dengan kondisi dalam negeri rumah tangga. Malu kalau harus minta bantuan pada keluarga lain.
‘’Assalamu’alaikum, Ustadz Nardi,’’ Ustadz Hasan menghubungi seniornya. Ia lalu menjelaskan apa adanya kondisi keuangan keluarga, sehingga keputusannya tidak bisa berangkat haji.
‘’Oh, kalau masalah keuangan, kan di kantor ada uang. Ustadz Hasan pinjam saja dulu, nanti dikembalikan. Pokoknya Ustadz harus berangkat,” tandas Ustadz Nardi.
‘’Ngapunten Ustadz, yang namanya pinjaman kan harus dikembalikan. Saya tidak mau berhutang Tadz, nanti jadi beban di kemudian hari,’’ jawab Ustadz Hasan.
Tapi Ustadz Nardi bergeming. ”Nggak. Pokoknya Jenengan harus berangkat, bagaimanapun caranya. Titik.’’
Ustadz Hasan lalu berdiskusi lagi dengan sang istri. ‘’Piye iki Mi, Ustadz Nardi bilang nggak boleh batal haji. Pokoknya harus dicarikan cara bagaimana agar Abi bisa berangkat haji....’’
Sejenak suami-istri ini tepekur bingung. Hingga kemudian Ummi Hasanah berkata, ”Bagaimana kalau Abi hubungi Ibu Rini, ceritakan tentang berita ini. Barangkali beliau bisa membantu.’’
Ny Rini adalah salah seorang donatur yang biasa berbagi kepada masyarakat Dusun Karang binaan Ustadz Hasan. Ia sering mengajak ibu-ibu ke Karang untuk mendatangkan bantuan.
Walau agak nggak enak, Ustadz Hasan menuruti ide istrinya. “Assalamu’alikum, Ibu Rini,” sapanya via ponsel.
‘’Wa’alaikum salam Ustadz Hasan, apa kabar?”
‘’Alhamdulillah, baik. Ibu dan keluarga juga apa kabar?’’
“Alhamdulillah, sehat juga Ustadz.’’
‘’Begini Bu Rini, ada yang ingin saya bicarakan ke Ibu....,“ Ustadz Hasan dengan hati-hati mengungkapkan kesulitan yang tengah dihadapinya.
“Oh, alhamdulillah, kalau begitu Ustadz Hasan harus berangkat. Ustadz ini orang baik, ini panggilan Allah harus dipenuhi,” kata Ny Rini bersemangat usai menyimak cerita Ustadz Hasan.
Masya Allah, sambil menangis memeluk istri di sampingnya, Ustadz Hasan berkata kepada Ny Janet, ‘’Terima kasih Bu, terima kasih atas kebaikannya, jazakillah
Ia lalu memberi solusi. ‘’Ustadz Hasan, setelah ini silakan hubungi Ibu Janet. Ceritakan yang tadi Ustadz ceritakan kepada saya. Insya Allah Bu Janet akan membantu. Nanti kalau amsih kurang, Saya yang tutupi.”
Masya Allah, senang bukan kepalang Ustadz Hasan dengan tanggapan baik Ny Rini. Bergegas ia menghubungi Ny Janet, pengusaha batik di Jogja teman sosial Ny Rini.
‘’jadi beberapa yang Ustadz butuhkan untuk bekal naik haji,’’ tanya Ny Janet usai menyimak kisah Ustadz.
‘’Kira-kira 5 juta, Bu,” jawab Ustadz Hasan.
‘’Oh, kalau begitu biar Saya saja yang tanggung semuanya,’’ spontan jawab Ny Janet dengan tulus.
Masya Allah, sambil menangis memeluk istri di sampingnya, Ustadz Hasan berkata kepada Ny Janet, ‘’Terima kasih Bu, terima kasih atas kebaikannya, jazakillah.’’
Akhirnya, pada 11 Agustus 2015, jadi juga Ustadz Hasan Abwam beserta 11 rekan lainnya dari Dewan Dakwah Yogyakarta berangkat haji.
Alhamdulillah, Ustadz Hasan luput dari musibah ambruknya crane di Masjidil Haram.
Wartawan Al Jazeera Hasan Patel yang melaporkan dari Mekkah, mengatakan, seorang saksi menyebut crane jatuh di lantai tiga dari Masjidil Haram.
Tragedi itu didahului dengan hujan dahsyat disertai badai angin yang kecepatannya mencapai 83 km per jam.Inilah yang konon menyebabkan tower crane runtuh.
Korban meninggal akibat crane jatuh mencapai 107 orang dan 238 luka-luka. Hal ini disampaikan otoritas pertahanan sipil Arab Saudi seperti dilansir Al Jazeera, (12/9).
Ustadz Hasan Abwam juga sudah selesai menunaikan ibadah haji satu hari sebelum terjadinya Tragedi Mina.
Peristiwa Mina meletus di Jalan Arab 204 tepat pada Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1436 H. Ratusan jamaah haji meninggal dunia karena terinjak saat menuju tempat lempar jumrah di Jalan King Khalid, Mina.
Peristiwa terjadi di antara tenda-tenda di kota yang terletak 5 kilometer dari Mekah itu.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengungkapkan kejadian tersebut berawal dari berhentinya sekelompok jamaah secara tiba-tiba.
"Kejadian terjadi di jalan menuju tempat lontar jumrah di antara tenda-tenda di Mina. Awal kejadian karena ada sekelompok jamaah yang tiba-tiba berhenti, sehingga terjadi penumpukan dan desak-desakan," ungkap Arrmanatha (Liputan6.com, Kamis, 24/9/2015).
Total jamaah haji Indonesia yang menjadi korban meninggal dalam peristiwa tersebut sebanyak 129 orang terdiri dari 124 jamaah dari Tanah Air dan lima WNI yang telah bermukim di Arab Saudi (antaranews, Jumat 16/10/2015).
Menurut Kantor Berita Associated Press, jumlah korban meninggal dunia 1.399 dari data resmi 18 negara asal jamaah haji (Kamis, 8/10/2015).
Indonesia menempati peringkat ketiga terkait jumlah anggota jemaah yang meninggal dalam insiden Mina. Korban terbesar dialami jamaah asal Iran, yaitu 465 orang, disusul Mesir (148).
Setelah Indonesia, jumlah jemaah terbanyak yang meninggal dalam insiden Mina ialah Nigeria (99), Pakistan (89), India (81), Mali (70), Banglades (63), Senegal (54), Benin (51), Kamerun (42), Etiopia (31), Maroko (27), Aljazair (25), Ghana (12), Chad (11), Kenya (8), dan Turki (3). [robbyansyah/nurbowo]
Editor: Syahid
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!