Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 9 Mei 2019 17:24 wib
13.445 views
Pak Wiranto Apa Tidak Ingin Husnul Khotimah?
Oleh
Hersubeno Arief, Konsultan media dan politik
MUMPUNG dalam suasana bulan Romadhon, pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto.
Dalam Islam seluruh perjalanan hidup seseorang, amal perbuatannya, diukur bagaimana caranya dia mengakhiri hidupnya. Berakhir dengan baik ( husnul khoitimah ), atau berakhir buruk ( su’ul khotimah ).
Mana yang akan dipilih oleh Wiranto mengingat perjalanan panjang karir militer dan pengabdiannya di pemerintahan?
Wiranto baru saja merayakan ulang tahun ke 72 ( Lahir 4 April 1947). Secara kalkulasi manusia, usianya sudah cukup lanjut. Karir politiknya juga sudah memasuki tahapan akhir.
Bagaimana dia ingin dikenang oleh bangsa Indonesia? Apakah dikenang sebagai orang yang baik. Seorang perwira tinggi militer yang punya andil menjaga demokrasi, menjunjung kebebasan dan hak asasi manusia?
Atau sebaliknya dia akan dicatat dengan tinta buruk dalam sejarah perjalanan bangsa. Terpulang kepada Pak Wiranto sendiri.
Pernyataannya yang mengancam akan men-shutdown media massa, dan membentuk tim untuk mengamati dan memantau tokoh yang mencaci presiden, menunjukkan tanda-tanda kuat, Wiranto memilih opsi kedua. Opsi mengakhiri karir politiknya dengan buruk.
Kebebasan dan independensi media massa, kebebasan berpendapat menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan, termasuk mengecam presiden yang berkuasa, adalah dua fitur penting dalam sebuah negara demokrasi. Jauh sebelumnya para pendiri bangsa ( founding fathers ) juga sudah menjaminnya dalam rumusan pasal-pasal UUD 45.
Hanya di negara totaliter —fasis dan komunis— dua kebebasan itu dilarang. Mereka mengontrol dengan ketat dan menjadikan media sebagai alat propaganda. Para pengecam penguasa dibungkam, ditindas. Kalau perlu dilenyapkan, dibuang ke kamp pengasingan dan kerja paksa.
Pemerintah yang sepenuhnya mengontrol rakyatnya secara dramatis digambarkan oleh George Orwell dalam novelnya yang sangat laris “1984’”. Sebuah pemerintahan yang secara brutal mengontrol masyarakat sejak dalam pikirannya. Inilah sebuah massa yang banyak disebut sebagai orde Orwellian, terinspirasi dari rezim komunis Soviet dan perang di Inggris Raya.
Di Amerika Serikat (AS) tak lama setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden (2016), di berbagai kota berlangsung demonstrasi serentak. Mereka membawa poster bergambar Trump dengan tulisan Not My Presiden!
Di sejumlah plaza dan tempat-tempat terbuka, boneka Trump dalam ukuran besar dipajang dan dijadikan alat warga melampiaskan kemarahannya.
Ada yang memukulinya dan bergaya bak petinju. Ada juga yang bergaya jago kungfu melakukan tendangan salto. Boneka Trump benar-benar jadi alat warga menghinakannya.
Apakah Trump marah? Benar Trump marah. Dia juga menuduh media massa memprovokasi warga. Tapi hanya sampai disitu. Dia tidak melanjutkan dengan ancaman memberangus media, apalagi menangkap para pengecamnya.
Begitulah negara demokrasi. Orang bebas berekspresi, selama tidak melanggar hukum. Presiden bukanlah orang suci yang tidak boleh disentuh. Dia hanya pelayan rakyat. Menjadi penguasa karena mendapat mandat rakyat.
Sangat mengherankan
Melihat perjalanan hidupnya, pilihan sikap politik Wiranto ini sesungguhnya sangat mengherankan.
Bagaimana mungkin hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun menjadi pembantu Jokowi, dia berubah menjadi seorang true believer. Seseorang yang bertindak secara tidak rasional, benar salah membela Jokowi. Pejah gesang, nderek Jokowi?
Mengapa dia seakan menutup mata, telinga dan nuraninya yang paling dalam atas kebenaran?
Tidak kah dia melihat dengan mata hati yang jernih, bahwa hanya sebagian sangat kecil media yang masih bersikap kritis. Sebagian besar media sudah berhasil dikooptasi, ditundukkan, dan menjadi pendukung buta pemerintah.
Apakah dia tidak bisa bersikap lebih arif, para tokoh tersebut menyuarakan kebenaran dan mengingatkan pemerintahan Jokowi yang menyimpang jauh dari azas demokrasi.
Pemberangusan media dan pembungkaman tokoh oposisi adalah gaya pemerintahan Orde Baru. Wiranto pernah melakukan pengabdian panjang. Tak kurang 30 tahun.
Wiranto pernah menjadi ajudan, dan sampai pada puncak karirnya menjadi Menhankam/Panglima ABRI. Tokoh yang sangat berkuasa di luar Presiden Soeharto.
Namun diujung kekuasaannya Pak Harto pada tanggal 20 Mei 1998 memanggil dan memberi Wiranto mandat yang luar biasa. Soeharto terhitung tanggal 21 Mei 1998 akan mengundurkan diri dan Wiranto diangkat menjadi Komando Kewaspadaan dan Keselamatan.
Melalui Inpres Nomor 16 Tahun 1998 Wiranto sesungguhnya diberi mandat untuk menjadi penguasa berikutnya. Inpres itu sama seperti Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno kepada Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Soeharto.
Dengan bekal surat perintah untuk memulihkan kondisi keamanan pasca pemberontakan G30S/PKI, Letjen TNI Soeharto bergerak cepat. Sejarah akhirnya mencatat dia menjadi penguasa Orde Baru selama 32 tahun.
Wiranto mengambil jalan sejarah berbeda dengan mentornya Soeharto. Dia memilih opsi kedua yang ditawarkan Soeharto: Boleh digunakan, boleh tidak.
Dia memilih bersama arus perubahan bersama rakyat dan mengikuti jalur konstitusional. Mendukung Wapres BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden.
Pilihan Wiranto sangat tepat. Melalui pemerintahan Habibie era demokrasi Indonesia bergulir. Media juga mengalami masa kebebasan.
Melalui Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah keran kebebasan pers dibuka lebar. Lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dihapuskan. Tidak ada lagi lembaga pembredelan.
Menjadi sebuah tandatanya besar bila kini Wiranto mengambil sikap yang berbeda. Dia mengabdi puluhan tahun dan berhutang budi sangat besar kepada Soeharto. Dia juga ditawari menjadi penguasa berikutnya oleh Soeharto.
Dengan posisinya sebagai Menhankam/Pangab Wiranto punya kekuasaan besar di tangannya. Ibarat kata tinggal menjentikkan jarinya, dia akan menjadi penguasa Indonesia. Jokowi saat itu entah sedang berada dimana.
Saat ini posisinya “hanya” seorang Menkopolhukam. Dia masuk melalui proses resafel kabinet. Pengaruhnya di pemerintahan juga sangat kecil. Jauh sekali bila dibandingkan dengan yuniornya Menko Martim Luhut Panjaitan. Secara matematis dan ukuran usia manusia normal, karir politiknya sudah berada di ujung perjalanan.
Mengapa Wiranto harus pasang badan dan memilih berhadapan dengan arus besar perubahan di tengah rakyat?
Benarkah Wiranto terkena “Jokowi effect”? Sebuah efek para tokoh dan cerdik cendekia yang kehilangan akal sehatnya ketika berdekatan dan menjadi pembantu Jokowi?
Sekali lagi terpulang kepada Anda Pak Wiranto. Mau mengakhiri karir politik dan dikenang oleh bangsa Indonesia, maupun anak cucu dengan baik atau buruk?
Bangsa Indonesia akan menjadi saksinya. end
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!