Jum'at, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Februari 2015 15:11 wib
9.405 views
Rilis Mustofa Nahrawardaya: Penyerangan Markas Arifin Ilham Tidak Ada yang Janggal
Pers Rilis:
Penyerangan Markas Arifin Ilham TIDAK ADA YANG JANGGAL
PENYERANGAN oleh sekelompok intoleran yang mengaku dari pembela aliran Syiah ke Komplek Masjid Adzikra, Rabu (11/2/2015) sama sekali tidak ada kejanggalan. Penyerangan intoleran semacam itu, sudah sering terjadi.
Hanya saja, kali ini pelakunya bukan dari kelompok mayoritas, namun justru dari kelompok pembela minoritas yang merasa dihina. Mengapa tidak ada kejanggalan?
Pertama, Masyarakat Indonesia terlanjur dibiasakan oleh kondisi dan situasi, dimana ada stereotip bahwa biasanya yang menyerang adalah pihak mayoritas dan korbannya minoritas. Stereotip ini sangat berbahaya karena akhirnya menjadi kesimpulan publik yang sesat, seolah dalam sejarah hanya minoritas yang selalu menjadi korban kekerasan. Akibat yang lebih buruk barangkali, aparat cenderung terpengaruh karena kejadian minoritas menyerang mayoritas dianggap tabu. Bahkan akan dianggap sebuah kejanggalan. Padahal itu adalah fakta.
Kedua, Sangat mungkin memang yang terjadi di Adzikra adalah kebalikannya. Alasannya pun logis. Hampir semua orang faham, kelompok minoritas (dalam hal ini Syiah), pada saat pemerintahan sekarang ini jelas sedang mendapatkan tempat dan peluang untuk berkembang dan mendapatkan perlindungan dari Negara. Meskipun, keberadaannya mendapatkan penolakan mayoritas Islam yang menganggap Syiah sebagai aliran sesat. Dibanding pada masa Pemerintahan sebelumnya, aliran-aliran semacam Syiah yang dianggap sesat, kini jelas sekali sedang mendapatkan angin segar berupa perlindungan Negara secara maksimal. Tidak hanya Syiah, tapi kelompok lain yang dulunya dianggap sesat, misalnya LDII, kini juga sedang menikmati masa kejayaannya. Eksistensi mereka, ada di atas angin saat Jokowi memimpin Indonesia.
Ketiga, Kelompok Syiah beserta pendukungnya yang dianggap minoritas di Indonesia, kemungkinan sedang merasa kuat karena beberapa tokoh Syiah kini sedang berada di posisi strategis pejabat Negara. Ada yang menjadi anggota DPR, bahkan beberapa diantaranya bekerja di lingkungan orang-orang yang dekat orang nomor satu Indonesia.
Beberapa tokoh Syiah yang berprofesi sebagai seniman, artis, dan tokoh publik lainnya, maupun ulama, sebagian sudah mulai berani keluar kandang untuk memperkenalkan dirinya sebagai Syiah. Padahal setahun lalu, mereka tidak berani memnunjukkan batang hidungnya. Atau setidaknya meskipun belum berani mengaku Syiah, mereka ramai-ramai mendukung Pemerintahan yang menyayominya, melalui berbagai cara. Ada yang membuat lagu, memgadvokasi, bahkan berusaha membelokkan opini publik seolah penyerangan itu tidak masuk akal.
Keempat, dilihat dari kronologi yang dikeluarkan pihak kepolisian, jelas sekali bahwa massa yang berjumlah 38 orang, datang ke markas Arifin Ilham karena mempersoalkan adanya spanduk hinaan kepada Syiah. Jika berdasar kronologi itu, maka boleh saya katakana bahwa substansi penyerangan tersebut, adalah soal hinaan kepada Syiah. Dengan demikian, penyerang datang ke TKP (Tempat Kejadian Perkara), BUKAN tanpa sadar, atau tanpa alasan. Mereka bergerombol “menyerbu” bahkan menganiaya salahsatu pengurus Mesjid Adzikra, akibat adanya informasi melalui BBM dan WhatsApp (WA) adanya hinaan kepada Syiah melalui spanduk. Jadi, akibat merasa dihina, kelompok tersebut marah dan mencari pelaku penghinaan. Karena substansinya korban penghinaan, gerombolan preman ini tidak lagi berpikir minoritas mayoritas. Mereka hanya ingin memburu pelaku penghinaan. Dimana letak kejanggalannya? Tidak ada. Penyerangan di markas Arifin Ilham, adalah tindakan tidak terpuji kelompok intoleran. Kelima, banyak pihak menginginkan adanya saling toleransi antar kelompok. Tidak saling membenci diantara mereka. Namun harapan ini tampaknya akan sulit terwujud, jika aksi-aksi penyerangan semacam ini terus dilakukan. Harapan banyak pihak untuk tidak membenci Syiah, bisa luntur dengan cepat, “hanya” gara-gara aksi serangan ke Markas Arifin Ilham.
Kelima, ada satu catatan yang perlu disampaikan. Keberanian preman menyerbu markas Arifin Ilham pada malam hari pkl 23.00 hingga dinihari, bisa saja digerakkan oleh provokator yang paham betul situasi politik tanah air. Jika tanpa didorong oleh provokasi yang serius, memang kecil kemungkinan mereka berani melakukan tindakan konyol itu. Siapa provokatornya? Banyak. Bisa jadi oknum di lingkungan Syiah, oknum di aparat penegak hukum, oknum di lingkungan intelijen, dan mungkin juga oknum yang bekerja pada orang dekat Jokowi. Sudah menjadi rahasia umum, Jokowi sangat dengat dengan beberapa bekas pentolan BIN. Kentalnya hubungan Jokowi dengan kalangan bekas intelijen, akhirnya menimbulkan spekulasi. Salahsatu spekulasi yang beredar, bahwa penyerangan itu mungkin memang murni penyerangan.
Tetapi juga ada spekulasi yang muncul, bahwa aksi penyerangan ini bagian dari operasi kontra intelijen.
Wallahua’lam bishawab.
Salam,
MUSTOFA B. NAHRAWARDAYA
Pemerhati Kriminal dari ICAF (Indonesian Crime Analyst Forum)
Aktifis Muda Muhammadiyah
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!