Rabu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 14 Oktober 2015 08:55 wib
8.875 views
Inilah Rilis CIIA Terkait Kasus Pembakaran Gereja Liar di Aceh Singkil
JAKARTA (voa-islam.com)--Menyikapi kasus terbakarnya gereja di Aceh Singkil ada beberapa perspektif yang umat/rakyat perlu memahami:
Pertama: kasus pembakaran atau pengrusakan terhadap tempat ibadah di Indonesia tidak hanya menimpa kepada minoritas tapi juga terhadap tempat ibadah kelompok mayoritas (umat muslim). Publik tahu bahwa sebelum kasus di Aceh Singkil beberapa waktu lalu terjadi pembakaran tempat ibadah (Masjid) di Tolikara Papua.
Sikap kemarahan kelompok mayoritas di Aceh Singkil bisa jadi karena dipicu lambannya Pemda menyelesaikan kasus gereja yang tidak punya legal formal pendiriannya. Atau karena faktor minoritas yang tidak menghormati dan menghargai religiusitas setempat.
Kedua: namun porsi perhatian dan sikap pemerintah/penguasa sangat terasa tidak adil dan proporsional. Di kasus Aceh Singkil yang terkait terbakarnya gereja pak Presiden begitu cepat merespon bahkan meminta kepada Kapolri dan Menkopolhukam untuk followup intruksi/respon presiden. Dan masyarakat luas di suguhi begitu cepatnya Kapolri menyimpulkan bahwa bentrokan yang terjadi di Aceh Singkil itu direncanakan.
Berbanding terbalik ketika dihadapkan kepada kasus pembakaran Masjid dan bentrokan di Tolikara Papua. Seolah pemerintah bahkan pak Presiden gagap untuk menyikapi. Banyak retorika yang esensinya mengaburkan masalah sebenarnya.
Ketiga: media begitu semangat menabuh genderang tentang intoleransi dengan bahasa yang terang terkait kasus gereja di Aceh Singkil. Bahkan memainkan (simbiosis mutualisme) para pemuja liberalisme dan pluralisme untuk menjadi narasumber menguatkan opini yang di konstruksi oleh media.
Masyarakat beberapa bulan lalu di suguhkan "mantra2" untuk memanipulasi kejadian biadab dan intoleransi pada kasus Tolikara yang menimpa umat muslim.
Keempat: sikap kemarahan kelompok mayoritas di Aceh Singkil bisa jadi karena dipicu lambannya Pemda menyelesaikan kasus gereja yang tidak punya legal formal pendiriannya. Atau karena faktor minoritas yang tidak menghormati dan menghargai religiusitas setempat.
Kondisi tersebut terakumulasi hingga menemukan momentum untuk mengekspresikan kemarahan yang terpendam. Jika pada kasus Tolikara bapak Presiden mau undang tokoh-tokoh gereja ke Istana, kenapa tidak dengan kasus Aceh Singkil? Perlu diundang para tokoh dan ulama' nya untuk didengar langsung dari mereka apa sesungguhnya yang terjadi.
Kelima: standar ganda seperti sudah menjadi pakem bagi penguasa dan media jika mengelola isu terkait dengan kehidupan beragama. Apakah jika kekerasan atau pembakaran tempat ibadah itu menimpa gereja itu baru dibilang tindakan intoleransi?
Sementara jika menimpa kepada Masjid itu bukan intoleransi bahkan umat Islam harus bersabar dan memaafkan serta harus cepat keluar kata damai biar dianggap toleran?
Inilah tirani minoritas yang diekspresikan oleh penguasa dan media mainstreem di Indonesia. Penguasa itu ibarat perisai, dengan keadilan dan kebijaksanaannya ia mengelola, mengayomi dan mengurusi urusan rakyat/umat.
Jadi penguasa adanya bukan jadi corong dan kepanjangan tangan dari minoritas kepentingan. Rakyat sudah cukup melek politik dan hukum, bisa menimbang sikap keadilan dan kedzaliman penguasa ketika menyelesaikan urusan mereka. Dan jangan berharap loyalitas rakyat jika penguasa eksistensinya untuk melayani tirani dengan beragam topeng wajahnya.* [ 14 Oktober 2015- Harits Abu Ulya, Direktur CIIA ~The Community of Ideological Islamic Analyst~ ]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!