Ahad, 8 Rabiul Akhir 1446 H / 14 Mei 2023 09:30 wib
38.350 views
Tanggapan Terhadap Pernyataan Ketua DPRA Saiful Bahri Terkait Revisi Qanun LKS
Oleh: Dr. Tgk. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
بسم الله الرحمن الرحيم
Sehubungan dengan pernyataan ketua DPRA Saiful Bahri mengenai rencana DPRA untuk merevisi Qanun Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) agar bank konvensional bisa beroperasi kembali di Aceh sebagaimana dilansirkan dalam berita headline Harian Serambi Indonesia kemarin (Jum'at, 12/5/23) dan media-media lainnya sebagai respon terhadap permasalahan tidak bisa beroperasinya pelayanan Bank Syari'ah Indonesia (BSI) selama 4 hari baru-baru ini sejak hari Senin 8 Mei sampai Kamis 12 Mei. Maka saya ingin memberikan tanggapan sebagai berikut:
Pertama: Menyayangkan pernyataan ketua DPRA Saiful Bahri alias Pon Yaya yang berkeinginan untuk merevisi Qanun LKS agar bank-bank konvensional dapat beroperasi kembali di Aceh sebagai disampaikan di hadapan publik dan media.
Pernyataan Saiful Bahri ini menunjukkan pemikirannya yang mundur dan tidak istiqamah dalam memperjuangkan syariat Islam serta mudah dipengaruhi oleh orang lain. Padahal selama ini Aceh sudah maju dalam menerapkan syariat termasuk dalam bidang ekonomi dengan meninggalkan praktik riba dalam perbankan dan koperasi, tapi malah Saiful Bahri berpikiran mundur seperti pemikiran jahiliyyah yang menghalalkan riba.
Pemerintah Aceh bersama dengan Umat Islam di Aceh telah berhasil memperjuangkan syariat Islam secara formil untuk diberlakukan di Aceh dengan bertahap sejak tahun 2003. Maka kita harus mendukungnya dan menjaga amanah rakyat Aceh ini. Meskipun ada kekurangan dalam iimplimentasinya, namun, kita tetap harus mendukung, optimis dan istiqamah.
Sepatutnya Saiful Bahri sebagai ketua DPRA menjadi orang yang terdepan dalam memperjuangkan dan membela Qanun syariat termasuk Qanun LKS dari upaya pembusukan orang-orang yang anti syariat baik dari luar maupun dari dalam Aceh.
Kedua: Rencana DPRA untuk merivisi Qanun LKS agar bisa menghadirkan bank-bank konvesional kembali beroperasi di Aceh telah menimbulkan keresahan, kegaduhan, dan kemarahan sebahagian besar rakyat Aceh yang komitmen dengan syari'at Islam.
Ini pengkhianatan terhadap cita-cita dan perjuangan rakyat Aceh sejak dulu untuk mewujudkan Syari'at Islam secara kaffah di Aceh dan pengkhianatan terhadap amanah untuk menegakkan syari'at Islam secara kaffah di Aceh setelah berhasil memprolamirkan Aceh sebagai daerah yang resmi memberlakukan syariat Islam, sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang no 44 tahun 1999, Undang-Undang no 18 tahun 2001, Undang-Undang no 11 tahun 2006, dan Qanun-Qanun yang mengatur pelaksanaan Syariat Islam di Aceh termasuk Qanun LKS.
Ketiga: Pernyataan Saiful Bahri ini menunjukkan bahwa ia tidak paham syariat Islam khususnya hukum Muamalah atau hukum ekonomi Islam seperti larangan riba, akad, musyarakah, mudharabah, ba'i murabahah, ijarah, wadi'ah, dan sebagainya. Semua itu terkait erat dengan paktek Bank Syari'ah. Begitu pula orang-orang yang seide dengannya.
Saya sarankan kepada Saiful Bahri dan orang-orang yang seide dengannya agar mempelajari Fiqh Muamalah atau Fiqh Ekononi Islam terlebih dahulu sebelum berbicara atau berkomentar di media.
Terlebih lagi kapasitas Saiful Bahri sebagai anggota DPRA, bahkan menjabat sebagai ketua DPRA, menyatakan pendapatnya ini di khalayak publik atau media. Karena ucapan seorang tokoh poltik atau pemimpin di hadapan publik ataiu media menjadi sorotan dan konsumsi publik.
Dalam Islam, riba hukumnya haram (dosa besar) berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma'. Tidak hanya menjerumuskan pelakunya kpd dosa besar, riba juga membahayakan kehidupan masyarakat dan negara. Mengena hal ini, silakan baca penjelasan para ulama dan para pakar ekonomi Islam dalam buku-buku mereka.
Perbankan konvensional menerapkan sistim riba yang diharamkan dalam Islam dengan menyediakan produk pinjaman atau kredit dengan bayaran lebih (bunga) yang telah ditentukan dari awal oleh bank atau disepakati oleh bank dan nasabah peminjam dengan membayar secara cicilan dalam tempo waktu tertentu. Maka bank konvensional dinamakan juga dengan bank ribawi, karena menerapkan riba dalam operasionalnya.
Berbeda dengan Bank Syari'ah yang tidak menerapkan sistim riba, namun menerapkan sistim bagi hasil dari akad mudharabah atau musyarakah yang telah disepakati dari awal antara pihak bank dan nasabah. Tidak hanya itu, Bank Syari'ah menyediakan juga produk pembiayaan dengan menerapkan akad jual beli murabahah atau musyarakah mutanaqisah.
Jadi, bank Syari'ah tidak menyediakan pinjaman/kredit. Berbeda dengan bank konvensional yamg menyediakan pinjaman/kredit dengan pembayaran lebih dari pinjamam yang dikenal dengan sistim bunga (riba). Inilah perbedaan antara Bank Syari'ah dan Bank konvensional.
Keempat: Pernyataan Saiful Bahri dan orang-orang yang seide dengannya ngawur dan salah sasaran.
Hanya gara-gara BSI yang bermasalah karena tidak bisa memberi pelayanan selama 4 hari, mereka ingin merevisi Qanun LKS agar bisa menghadirkan kembali bank-bank konvensional. BSI yang bermasalah, kenapa Qanun LKS yang disalahkan dan digugat?. Ini ngawur dan salah sasaran. Sepatutnya BSi yang disalahkan atau digugat, bukan Qanun LKS.
Kelima: Pernyataan Saiful Bahri bahwa keinginan DPRA untuk merevisi Qanun LKS agar bank-bank konvensional bisa beroperasi kembali di Aceh dengan mengatasnamakan aspirasi rakyat Aceh adalah berlebihan dan mengada-ada.
Dia mengatasnamakan kebanyakan masyarakat atau rakyat Aceh yang menginginkan kehadiran kembali bank-bank konvensional. Ini perkataan yang berlebihan dan mengada-mengada. Padahal ide ini hanya muncul dari segelintir atau sebahagian rakyat Aceh yang tidak paham syariat Islam atau mempunyai kepentingan baik secara pribadi atau kelompok tertentu,. Jadi karena kepentingan Islam dan umat Islam.
Buktinya, banyak orang Aceh yang menyayangkan dan bahkan mengecam dan menentang keinginan Saiful Bahri dan orang-orang yang seide dengannya untuk menghadirkan bank-bank ribawi beroperasi kembali di Aceh.
Seandainya benar perkataannya bahwa banyak orang yang meminta bank-bank konvensional untuk beroperasi kembali di Aceh, maka permintaan ini tidak patut diterima, karena bertentangan dengan Islam. Apapun alasannya, tidak bisa diterima. Seorang muslim wajib patuh kepada Syariat dan berkomitmen dengannya. Terlebih lagi bagi seorang tokoh politik atau pemimpin muslim.
Keenam: Pernyataan Saiful Bahri dan orang-orang yang seide dengannya bahwa perbankan di Aceh dimonopoli oleh bank tertentu adalah tidak benar.
Kenyataannya, masih ada bank-bank lainnya yang beroperasi secara Syari'ah di Aceh selain BSI seperti Bank Aceh Syari'ah (BAS), BTPN Syari'ah, Bank Muamalat, Baitul Qiradh, Bank Pembiayaan Rakyat Syari'ah (BPRS) Mustaqim, BPRS Hikmah Wakilah, LKMS Mahirah Muamalah Pemko Banda Aceh, dan lainnya.
Jadi, tidak benar perbankan di Aceh hanya dimonopoli oleh BSI atau BAS saja. Masih ada beberapa bank yang beroperasi secara syari'ah sebagai alternatif selain BSI. Bahkan Qanun LKS membuka peluang kepada semua perbankan baik bank nasional maupun internasional untuk beroperasi di Aceh dengan syarat memakai sistim syari'ah. Karena di Aceh berlaku syari'at Islam secara formal.
Ketujuh: Alasan untuk menghadirkan kembali bank-bank konvensional terlalu berlebihan dan mengada-ada. Alasannya tidak logis dan tidak islami.
BSI yang bermasalah, kenapa Qanun LKS yang "diserang" dan "dikambinghitamkan"? Sepatutnya yang diprotes dan "diserang" adalah BSI yang merupakan bank nasional berplat merah pemerintah Indonesia yang beroperasi di seluruh Indonesia termasuk di Aceh. Silakan komplain dan kritik BSI. Karena BSI yang membuat masalah, bukan Qanun LKS.
Kedelapan: Meminta umat Islam untuk mewaspadai propaganda musuh-musuh Islam baik dari kalangan kafir, liberal maupun Syi'ah yang senantiasa bersikap islamphobia dan anti syari'at Islam.
Kita umat Islam khususnya orang Aceh harus waspada terhadap upaya pembusukan syariat dari kalangan musuh-musuh Islam dari kalangan kafir, Syi'ah dan liberal Mereka senantiasa membenci syariat Islam termasuk Qanun LKS di Aceh dan perbankan syariah di Indonesia.
Oleh karena itu, Jangan mengikuti mereka yang sudah jelas anti syariat. Jangan terpengaruh dgn narasi yang mereka buat untuk menjelekkan dan menolak syariat termasuk Qanun LKS di Aceh dan perbankan syariat di Indonesia.
Kesembilan: Meminta kepada umat Islam agar tidak mengikuti skenario dan narasi yang dibuat oleh musuh-musuh Islam untuk menjelekkan dan menjauhkan syariat Islam dalam kehidupan kita sehari-sehari termasuk dalam persoalan ekonomi.
Saya berharap umat Islam agar tidak masuk dalam skenario dan narasi yang dibuat oleh musuh-musuh Islam dari kalangan kafir, syi'ah dan liberal yang tidak menginginkan syariat Islam tegak di muka bumi ini termasik di Aceh.
Umat Islam jangan latah ikut-ikutan muduh-musuh Islam dalam menyerang implimentasi syariat Islam termasuk Qanun LKS di Aceh dan perbankan Islam di Indonesia. Akhirnya membenci dan menolak syariat dan agama sendiri. Inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam.
Ada upaya pihak tertentu yang ingin melemahkan perbankan Islam di Indonesia yang mulai berkembamg pesat akhir-akhir ini. Lebih khususnya lagi di Aceh, di mana ujung-ujungnya menolak atau merevisi Qanun LKS agar bisa menghadirkan kembali bank-bank ribawi beroperasi di Aceh sehingga kerinduan mereka untuk menikmati transaksi riba segera terwujud.
Kesepuluh: Meminta kepada pihak yang mengkritisi Qanun LKS agar dapat menyampaikan kritikannya dengan jujur, ikhlas, konstruktif dan islami (sesuai dengan prinsip islam).
Jika saat ini masih ada kekurangan dalam sistim dan manajemen perbankan syari'ah, maka itu hal yang wajar, karena implentasi syariat ini berproses dan bertahap dilakukan untuk menjadi lebih baik. Namun demikian, perlu dievaluasi dan diperbaiki kekurangan tersebut secara bertahap agar sistimnya lebih islami dan pelayanannya lebih baik dan memuaskan. Ini solusinya. Bukan dengan menghadirkan bank konvensional kembali beroperasi di Aceh.
Kita tidak melarang atau menyalahkan orang yang mengkritisi bank syari'ah selama kiritikannya itu jujur, tulus, konstruktif dan islami. Namun yang saya sayangkan, permintaan menghadirkan bank-bank konvensional kembali beoperasi di Aceh yang menerapkan sistim riba. Padahal riba sudah jelas diharamkan dalam Islam. Jadi ini bukan solusi, tapi membuat masalah baru dengan mengajak atau menjerumuskan umat Islam kepada maksiat praktik riba..
Silakan kritik kinerja bank-bank Syari'ah. Jika tidak sesuai dengan syari'ah, maka harus diperbaiki untuk sesuai dengan syari'ah. Jika pelayanannya tidak baik atau tidak memuaskan, maka harus diperbaiki dengan meningkatkan pelayanan menjadi baik dan memuaskan.
Kesebelas: Meminta DPRA untuk membatalkan rencana merevisi Qanun LKS untuk menghadirkan bank-bank konvensional, karena memalukan dan mencoreng marwah DPRA sendiri serta membuat masalah baru di Aceh.
Rencana DPRA untuk merevisi Qanur untuk menghadirkan kembali bank-bank konvesional sangat memalukan dan mencoreng marwah DPRA sendiri. Soalnya, Qanun LKS telah disetujui dan disahkan oleh DPRA pada tahun 2018 dan resmi efektif diberlakukan pada 4 Januari 2022.
Menghadirkan bank-bank komvensional kembali beroperasi di Aceh sama saja menolak Qanun LKS yang telah disetujui dan disahkan oleh DPRA sendiri. Berarti DPRA tidak istiqamah dalam penegakkan Syariat di Aceh dan mengabaikan amanah Undang-Undang dan Qanun-Qanun tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Pesan saya kepada DPRA,, bek peu loeb bola lam goen droe. (Jangan masukkan bola ke dalam gawang sendiri). Ini sangat memalukan dan mencoreng marwah DPRA sendiri.
Demikian tanggapan ini saya-sampaikan kepada umat Islam, semoga bermanfaat.
Banda Aceh, 22 Syawwal 1444 H/ 12 Mei 2023
#Penulis adalah ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Wakil Ketua Majelis Pakar Parmusi Provinsi Aceh, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, Dewan Pengawas Syari'ah (DPS), Dosen Fiqh Muamalah pada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), dan Anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!