Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 20 Maret 2015 15:30 wib
8.538 views
Putus Syaraf Libido, Solusi Kejahatan Seksual?
Oleh : Lusiyani Dewi, S. Kom (Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan Kementerian Sosial saat ini sedang mengkoordinasikan Rancangan Undang-undang (RUU) Kekerasan Seksual yang mengatur tentang hukum perdagangan orang, perdagangan perempuan dan perdagangan anak.
"Kita sedang melakukan telaah supaya ada hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual dan kejahatan seksual antara lain adalah mematikan syaraf libido pelakunya," ucap Khofifah.
Khofifah mengatakan hukuman seperti ini dinilai pantas bagi para pelaku kejahatan seksual. Pelaku pantas dihukum berat karena telah memberikan trauma yang sangat mendalam dan berkepanjangan bagi para korban. (detiknews, Minggu 15/2/2015). Sepanjang tahun 2014, dilaporkan terjadi 2750 kasus kekerasan terhadap anak dan 58 persen diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak.
Akankah hukuman mematikan syaraf libido akan menjadi solusi tuntas kejahatan seksual?
Jika kita telaah secara mendalam, solusi kuratif tidak akan menyelesaikan masalah, tanpa ada upaya preventif secara sistematis dalam menghilangkan faktor-faktor menjamurnya pelaku kejahatan seksual. Seperti akses pornografi tidak diputus, kebebasan berperilaku atas nama HAM dll. Karena sesungguhnya penyebab munculnya kekerasan seksual adalah penyebab yang bersifat sistemik. Apa yang disebut sebagai penyebab selama ini, hakekatnya adalah suatu akibat. Akibat dari penerapan sistem sekulerisme, liberalisme dan demokrasi yang merupakan anak-anak dari kapitalisme.
Pertama, lalainya keluarga terhadap pendidikan agama. Anak tidak diajarkan untuk menutup auratnya, menjaganya agar tidak dilihat oleh orang lain dan merasa malu membukanya. Orang tua lalai, karena mereka sendiri juga tidak paham agama atau karena kesibukan mereka. Anak menjadi korban, tidak dididik dengan benar dan diperhatikan. Anak diserahkan begitu saja ke lembaga-lembaga pendidikan, yang kadang justru menjadi tempat anak mendapatkan pelecehan seksual.
Kedua, Masyarakat yang rusak juga merupakan akibat negara membiarkan virus kebebasan (liberalisme) merajalela. Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu, tanpa memandang lagi akibat yang ditimbulkan. Negara membiarkan masyarakat berhadapan dengan serbuan pornografi dari berbagai media massa, terutama internet. Alasannya negara tidak mampu mengontrol semua situs yang beredar.
Ketiga, dari sisi implementasi hukum, negara kita memiliki hukum yang lemah terhadap kejahatan dengan anak sebagai korban. Kejahatan seksual terhadap anak, hanya diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara, bisa dipotong remisi, masa percobaan setelah menjalani 2/3 masa hukuman, total mungkin hanya 8 atau 9 tahun yang harus dijalani pelaku.
Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi, yang penyusunannya diserahkan kepada pikiran dan akal manusia yang sifatnya terbatas. Rasa iba manusia membuat hukum rajam, hukuman qishash, atau hukuman di hadapan khalayak ditolak. Prinsip HAM lebih dikedepankan daripada hukum Allah. Pelaku kejahatan hanya dihukum penjara sementara waktu. Akibatnya hukum menjadi mandul, tidak memiliki efek pencegahan, bahkan tidak membuat jera pelaku.
Dengan demikian, kasus kejahatan seksual, pada dasarnya penyebabnya adalah penerapan sistem yang rusak, sistem yang hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Mencoba menyelesaikan masalah ini hanya dari satu sisi yaitu memperberat hukuman terhadap pelaku tidak akan efektif juga bila arus rangsangan seksual di lingkungannya begitu kuat. Hukuman berat akan terabaikan, bahkan bisa membuat pelaku melakukan tindakan yang lebih ekstrim dalam usahanya menghindari hukuman, misalnya dengan membunuh dan memutilasi korban untuk menghilangkan jejak. Di beberapa negara bagian AS misalnya, pelaku kejahatan seksual dijatuhi hukuman penjara plus pengebirian, yang membuat pelaku tidak memiliki syahwat lagi. Namun kejadian pedofilia di sana tidak lantas berkurang karenanya.
Islam Menjadikan Negara sebagai Pelindung
Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki mekanisme untuk mencegah dan mengatasi masalah kekerasan seksual.
Secara sistem, penerapan Islam secara sempurna akan menjamin penghapusan tindak kekerasan seksual. Penerapan aturan Islam ini dibebankan kepada negara. Rasulullah saw. bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara: “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)
Dalam hadits lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Negara wajib menjaga suasana taqwa terus hidup di tengah masyarakat. Negara membina warganegara sehingga mereka menjadi manusia yang bertaqwa dan memahami hukum-hukum agama.
Dakwah Islam juga akan mencetak masyarakat yang bertaqwa. Masyarakat bertaqwa bertindak sebagai kontrol sosial untuk mencegah individu melakukan pelanggaran. Jadilah masyarakat sebagai pilar kedua dalam pelaksanaan hukum syara’.
Negara mengatur mekanisme peredaran informasi di tengah masyarakat. Media massa di dalam negeri bebas menyebarkan berita. Tetapi mereka terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga aqidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Bila ada yang melanggar ketentuan ini, negara akan menjatuhkan sanksi kepada penanggung jawab media.
Untuk media asing, konten akan dipantau agar tidak memasukkan pemikiran dan hadharah (peradaban) yang bertentangan dengan aqidah dan nilai-nilai Islam. Dengan mekanisme ini, pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme dan sejenisnya dicegah untuk masuk ke dalam negeri.
Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual. Pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Termasuk juga melukai kemaluan dengan persetubuhan dikenai denda 1/3 dari 100 ekor unta, atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina. Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.
Yang menjadi korban sodomi akan direhabilitasi dan ditangani secara khusus untuk menghilangkan trauma dan menjauhkan mereka dari kemungkinan menjadi pelaku kejahatan seksual baru nantinya.
Penerapan hukum Islam secara utuh ini akan menyelesaikan masalah kejahatan seksual. Namun, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas, tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. Wallahu 'alam bi ash-showab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!