Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Maret 2015 09:12 wib
39.285 views
Kisah Mualaf: Sam Marsh, Mencintai Islam Berawal dari Sok Jagoan
Aku pernah mengalami kecelakaan ketika mengendarai sepeda motor. Saat itu aku memutuskan untuk tinggal bersama keluargaku di Tulsa, Oklahoma hingga sembuh. Di masa penyembuhan itu, satu malam aku pergi ke night club. Tempat seperti ini sangat familiar buatku karena aku pun juga bekerja di salah satu night club.
Di tempat tersebut, ada dua orang berbadan tinggi besar sedang melecehkan dan menghina dua laki-laki yang sepertinya keturunan Spanyol. Karena di tahun itu tidak ada keturunan Meksiko di Tulsa. Jadi kalau bukan orang Spanyol, mereka pasti orang Cuba atau Amerika Selatan. Melihat ada ketidakadilan dan penghinaan seperti itu, aku pun berusaha datang dan membela dua laki-laki asing ini. Tindakan bodoh karena badanku sendiri kerempeng, mana bisa melawan dua orang berbadan besar itu.
Syukurlah, kejadian tersebut tidak sampai bentrok fisik. Aku pun menyapa dua orang asing itu memakai bahasa Spanyol. Tapi mereka tidak bisa bahasa ini sama sekali. Ternyata mereka bukan dari Spanyol seperti dugaanku. Kedua laki-laki ini adalah orang Arab.
Sejak saat itu kami pun berteman. Sepulang dari night club, kami pun pindah ke Danny (semacam Mc-D bila di Indonesia). Di Danny ternyata banyak keturunan Arab lain yang mayoritas mereka ini adalah mahasiswa. Selain makan, mereka juga belajar bersama di Danny. Ternyata mereka tipe orang yang tidak mau mengunjungi night club. Aku pun berhenti pergi ke night club dan sebagai gantinya langsung menuju Danny supaya bisa bertemu dengan orang-orang keturunan Arab ini untuk berdiskusi dan ngobrol.
Di sinilah aku bertanya banyak tentang agama mereka. Aku sedikit tahu tentang Islam hanya dari mata pelajaran sejarah ketika masih sekolah dulu, itu pun tidak menjelaskan tentang Islam sama sekali. Dan orang-orang inilah yang memperkenalkan konsep Islam padaku. Semua penjelasan mereka tentang Islam betul-betul mengena di hati dan akalku. Inilah yang kucari selama ini. Aku tak percaya dengan iman kristiani dari dulu. Aku hanya percaya ada tuhan dan kebenaran di luar sana. Dan ternyata konsep tuhan serta kebenaran dalam Islam inilah yang bisa menjawab kegelisahanku, pertanyaanku dan kebutuhan fitrahku.
Ketika akhirnya aku kembali ke kota tempatku tinggal dan bekerja, Dallas, aku memutuskan berhenti minum semua yang mengandung alkohol. Aku pun benar-benar berniat untuk keluar dari tempatku bekerja yang ternyata banyak mengandung unsur maksiatnya. Tapi satu hal yang agak susah untuk kujalani yaitu bila berkaitan dengan perempuan. Aku yang terbiasa gaul bebas harus menghentikan semua ini. Dan ini adalah hal tersulit dari semua poin yang harus kupatuhi dalam Islam.
Selepas berhenti kerja dari night club, aku diterima di toko furniture. Gajinya sedikit tapi tak mengapa, lebih halal insya Allah. Sesekali aku masih mampir ke night club tempatku bekerja dulu. Bukan untuk bergabung bersama mereka, tapi hanya sekadar menyapa teman lama sebelum night club buka. Mereka tetap baik padaku dan menghargai keputusanku meskipun saat itu aku belum masuk Islam.
Satu hari aku mengunjungi masjid di Richardson, Texas. Orang yang kutemui memberiku informasi bahwa sebaiknya aku datang lagi hari Minggu malam karena ada kelas dakwah. Sejak saat itu aku pun rajin datang seminggu sekali. Aku berteman dengan seorang brother/ikhwan dari Mesir yang bahkan 25 tahun kemudian dia masih rutin memberi kajian tiap Minggu malam di masjid tersebut.
Hingga satu hari, aku bertemu dengan seseorang yang mampu membuatku berkomitmen padanya seumur hidup. Perempuan yang kunikahi dan memberiku dua anak laki-laki. Saat itu aku belum masuk Islam. Tahun 1987, beberapa bulan setelah menikah, keinginan untuk bersyahadat tak bisa ditawar lagi. Aku pun menjadi mualaf. Istriku dengan tegas menyatakan bahwa dia tak akan mengikuti jalanku berkaitan dengan agama. Dia penganut Khatolik yang taat saat itu.
Perbedaan agama menjadikan kami harus bercerai. Jujur, ada kekhawatiran dalam diri mengingat anak-anakku yang dibawa ibunya. Aku ingin mereka juga menjadi muslim, bukan pemeluk agama lain. Aku tak ingin istriku menikah dengan orang Kristen atau bahkan atheis yang mulai menjamur di Amerika ini. Dan alhamdulillah, betapa Allah Mahamendengar. Mantan istriku itu menikah lagi dengan muslim dari Aljazair. Dan uniknya, di saat aku tak bisa mengajaknya masuk Islam, suaminya ini malah mampu memahamkan istriku tentang Islam. Selang setahun saja dari pernikahan mereka, mantan istriku bersyahadat. Allahu Akbar!
Allah sangat mencintai perempuan itu. Beberapa tahun kemudian, mantan istriku itu dipanggilNya. Alhamdulillah ia meninggal dalam keadaan muslim. Dan aku memilih sendiri sejak bercerai bahkan hingga hari ini. Menikmati hari-hariku dengan anak-anakku yang sudah dewasa dan memberiku cucu sudah cukup bagiku. Selama mereka tumbuh dalam iman Islam, rasanya aku tak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini. Aku cukup bahagia dengan anugrah iman dan Islam ini dan anak-anak serta cucu-cucu yang tumbuh dalam keimanan yang sama bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Itu saja.
(seperti dikisahkan Sam Marsh pada riafariana/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!