Jum'at, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 3 Juni 2016 14:13 wib
11.961 views
Sebuah Kontribusi
Oleh: Kharis El Grabagy (Mahasiswa Fak. Syariah LIPIA Jakarta)
Pernahkah engkau berfikir tentang sesuap nasi yang engkau makan pagi ini? Taukah engkau kawan? Sudah berapakah orang yang berperan ikut serta hingga nasi itu kini berada di atas piring sarapanmu? Sungguh aku sering berpikir betapa banyak orang yang sumbangsih dalam menghasilkan sesuap nasi tersebut. Dimulai dari petani yang menyiapkan benih padi, menanamnya, dan memanennya.
Tentu sudah berapakah orang yang berperan dalam fase tersebut...? belum selesai sampai di situ, ada proses penggilingan juga....memisahkan antara kulit dan isinya hingga menjadi beras. Singkatnya beras itu kemudian dijual kepada pembeli dan dimasaknya, barulah kini berwujud seperti apa yang kita lihat di meja sarapan. Tentunya proses -‘evolusi’ beras menjadi nasi -yang panjang dan berliku-liku itu tidaklah dikerjakan oleh seorang saja, mungkin bisa melibatkan puluhan orang bahkan ratusan. Semua ada bagian masing-masing. Para petani menanam padi, para pedagang menjual hasil panenan tersebut, hingga seorang ibu yang memasak beras tersebut menjadi nasi.
Manusia...
Mereka diciptakan berbeda-beda. Dari rupa hingga karakter mereka. Tentunya setiap diri punya keistimewaan masing-masing. Tak mungkin seorang hanya punya kelebihan tanpa cacat, pasti juga punya kekurangan, begitupun sebaliknya. Setiap orang punya spesialisali di bidangnya. Ada yang mahir dalam urusan mengolah tanah: bertani dan berkebun selalu tumbuh subur, tapi ia buta akan hal pertukangan. Ada orang yang ahli dalam bidang kedokteran tapi ia tak tau menau soal per-arsitek-an. Ada yang jago berorasi, hingga ketika ia bicara seluruh audien akan terkagum-kagum, tapi kalau soal tulis-menulis ia selalu buntu tuk merangkai kata. Ada juga yang kelihatannya peringkat akademiknya biasa-biasa saja, tapi setelah terjun ke masyarakat...ia menjadi orang yang luar biasa. Begitulah kita, manusia tak ada yang sempurna.
Karena memang manusia tidaklah sempurna, maka harus ada orang lain yang harus menutup kekurangannya. Singkat kata kita harus bersama dan bekerja sama.
Dalam dakwah ada banyak peran yang mesti dijalani. Tentunya dakwah ini tak dapat kita pasrahkan kepada seorang saja dan yang lain berpangku tangan menunggu hasilnya, menunggu islam kembali berjaya. Dari para kyai dan ulama’ hingga tukang sapu masjid, tentunya banyak sekali peran yang mesti diisi. Siapapun bisa ikut berkontribusi dalam menyambung nafas dakwah, si kaya atau si miskin, pemuda atau orang tua, lelaki atau pun wanita, seorang direktur atau pun kondektur, bahkan seorang penulis atau pun pelukis...semua bisa berperan dalam dakwah menegakan Islam.
Si kaya contohnya...mungkin dia tak begitu menguasai ilmu-ilmu syariah, tentunya dia tak cocok untuk memberikan khutbah atapun berceramah diniyah, terus apa yang bisa ia lakukan untuk agama ini? Mungkin dengan hartanya, ia bisa infaqan di jalan dakwah: membangun pesantren, membantu madrasah atau pun disumbangkan di darul aitam. Di sinilah peran si kaya. Sementara di sisi lain, ada seorang yang hartanya pas-pasan tapi ilmunya seluas samudera. Maka mengajarkan ilmu kepada umat adalah tugas utamanya. Adapula yang hanya bisa melakukan hal-hal ‘kecil’ seperti menyapu dan mengepel masjid.
Entah yang bisa kita lakukan hal yang besar atau pun kecil kita wajib untuk unjuk gigi, berkontribusi. Karena sesungguhnya amalan yang mungkin dipandang sebelah mata oleh manusia ternyata besar nilai pahalanya di sisi Allah Ta’ala. Teringat akan sebuah kisah tentang seorang wanita berkulit hitam yang biasa menyapu masjid pada zaman Rasulullah saw. Ia telah meninggal, Rasulullah saw tak diberi tahu oleh sahabatnya akan kematiannya.
Suatu ketika Rasulullah saw masuk masjid dan tak melihatnya. Maka beliau bertanya tentang perempuan itu, “Di mana dia dan bagaimana kabarnya?” para sahabat baru menyampaikan bahwa ia telah meninggal dunia. Ada kesan para sahabat menganggap kecil urusan tersebut sehingga tak perlu mengabarkannya kepada Rasulullah saw. Nabi marah seraya berkata, “Mengapa mereka tak memberitahukan kepadaku? Tunjukan di mana kuburannya!” Lalu, Nabi pun mendatangi kuburannya dan shalat jenazah di atasnya. Begitulah kisah seorang perempuan tukang sapu yang mulia.
Kita tentunya bisa mengisi peran dalam dakwah kita ini. Tentunya yang cocok bagi diri kita. Kita bisa mengukur seberapa kemampuan kita, di posisi mana kita harusnya berada. Intinya mari kita sumbangkan satu kontribusi bagi islam, bagi Indonesia, dan bagi keluarga. Yang pandai berkhutbah berdakwahlah dengan itu, yang pintar menulis berdakwahlah dengan tulisan. Yang kaya berdakwahlah dengan hartanya, dan yang lain bisa dengan tenaga dan fikirnya dan lain sebagainya.
Semoga kita semua bisa bekerja sama berjalan seiring sejalan hingga tegaklah kalimat laa ilaaha illallah...
Hanya tulisan kecil...
Semoga bermanfaat...
[syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!