Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 20 November 2016 07:35 wib
9.082 views
Histeria pada Sang Idola, Bukti Betapa Jahilnya Kita
Idola bagi seorang anak begitu penting posisinya untuk mengembangkan kepribadian. Itulah mengapa dalam masyarakat umum yang jahil, diciptakanlah tokoh rekaan semacam Superman, Spiderman, Elsa Frozen, Cinderella dan lain-lain. Saat anak beranjak besar dan akalnya mulai sempurna, tokoh rekaan tak mempan. Dihadirkanlah idola remaja dalam bentuk boyband dan girlband, foto model, ajang pemilihan bakat ini dan itu.
Remaja yang kecintaannya pada Islam sudah mulai terbentuk, mulai imun alias tak terpengaruh dengan segala idol-idol itu. Dicarilah cara lain yang kelihatan islami dan syari tapi intinya sama. Diundanglah cowok ganteng yang hapal Quran. Mereka yang semula anti tak mau mengidolakan yang tak ada hubungannya dengan Islam, seolah menemukan ‘mainan’ baru. Gelora muda yang selalu mencari panutan dan idola, menemukan pembenaran.
Muncullah sosok-sosok berhijab bahkan bercadar yang heboh dan histeris saat si ganteng yang hapal Quran tampil. Mereka merasa hal ini sah-sah saja daripada histeris terhadap artis seleb yang hedon. Pertanyaan salah satu teman di FB cukup mengusik: apakah mereka masih akan sehisteris itu bila misalnya si hafidz Quran adalah seseorang yang berkulit hitam, pendek, gemuk dan pesek?
Bila alasan yang dikemukakan adalah faktor hapalan Quran-nya, maka tentunya perlakuan yang sama harus diberikan. Begitu juga misal yang diundang adalah bapak sepuh dan buta tetapi hapalan Quran, hadits serta bacaannya begitu merdu dan meresap kalbu. Beliau ini seharusnya juga mendapat sambutan meriah sebagaimana sang hafidz muda yang bule itu kan?
...Itulah mengapa di dalam Islam, ilmu sebelum amal itu penting. Adab sebelum ilmu jauh lebih penting lagi. Agar tidak terjadi generasi lupa diri bahwa apa yang dilakukan itu sudah level jahil alias bodoh...
Faktanya tidak. Jangankan disambut meriah sampai histeris, ada yang mau datang saja sudah syukur. Di sini jelas terlihat, bahwa efek histeris bukan semata-mata kagum pada hapalan Quran si idola. Tapi faktor fisik sangat jelas berpengaruh terhadap sambutan tersebut. Alasan 'daripada' menjadi naif. Misal, daripada histeris sama seleb artis film, mending sama hafidz Quran. Sedikit kalimat pembelaan dari mereka yang merasa bahwa histeris dan memegang-megang bagian tubuh si hafidz dengan paksa itu tak masalah.
Memprihatinkan. Tak ada ‘daripada’ terhadap sesuatu yang sama jahilnya. Lupakah mereka terhadap adab pergaulan di dalam Islam? Ajaran siapa kekaguman terhadap seseorang membolehkan perlakuan teriak-teriak seperti orang kesetanan? Belum lagi upaya menyentuh dan memegang sehingga harus sikut sini dan sana demi sang pujaan. Istighfar ya ukhti.
Itulah mengapa di dalam Islam, ilmu sebelum amal itu penting. Adab sebelum ilmu jauh lebih penting lagi. Agar tidak terjadi generasi lupa diri bahwa apa yang dilakukan itu sudah level jahil alias bodoh. Tak ada dasar di dalam Islam yang membenarkan perilaku berlebihan dalam menyambut sang idola. Bahkan meletakkan idola pada sosok manusia yang banyak alpa, pun sudah salah kaprah.
Islam adalah berbeda dan pembeda. Muslim pun berbeda dan pembeda. Dari apa? Dari segala hal yang berbau di luar Islam atau jahiliyah. Itulah gunanya terus merasa diri ini ‘bodoh’ agar selalu ada motivasi untuk menuntut ilmu. Agar tak merasa benar padahal itu semata adalah pembenaran atas kebodohan diri.
Semoga Allah menjaga Islam dan umatnya agar senantiasa mau introspeksi dan memperbaiki diri. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!