Senin, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Agutus 2014 12:07 wib
3.606 views
Refleksi untuk Aksi Kemerdekaan Islami (3)
Shahabat Voa Islam yang dimuliakan Alloh Jalla wa ‘Alaa,…
Kemarin (17/80), dipancar-luaskan siaran melalui media radio dan televisi tentang upacara penaikan dan penurunan bendera Merah Putih di Istana Negara, Jakarta. Dan secara berulangulang, pembawa acara mengatakan bahwa berkibarnya sang Saka Merah Putih tersebut sebagai lambang kedaulatan negara bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sehingga bisa jadi, bagi kebanyakan pecinta tanah air, bertambah gagahlah performent kebangsaannya. Dada membusung, kaki rapat dan kemudian meneteslah air mata kebanggaan saat lagu kebangsaan dikumandang seiring penaikan atau penurunan bendera.
Namun apakah kebanggaan itu simetris dengan realitas negri? Mari kita lihat dengan kejujuran dan rasa keprihatinan yang tersisa.
Kedaulatan Bangsa? Aah, Bullshit!
Mungkin itu kata yang paling sopan dan sok intelek tentang apa yang dirayakan masyarakat secara berulang-ulang setiap tanggal 17 Agustusan di negri ini. Betapa tidak? Tahukah Anda berapa jumlah hutang pemerintah Indonesia saat ini ?
Posisi jumlah hutang pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1998, sebagai awal jaman reformasi atau ‘kemerdekaan kedua’ sebesar Rp 553 Trilyun, lalu pada akhir tahun 2000 sebesar Rp 1.235 Trilyun. Dan menurut Menkeu Chatib Basri dalam rapat paripurna pertanggung jawaban APBN 2012 di DPRRI, Selasa, 9/7/2013, jumlah utang Pemerintah Indonesia hingga 31 Desember 2012 untuk utang jangka pendek Rp 266,140 Triliun dan utang jangka panjang Rp 1.890,750 Triliun, sehingga jumlah utang mencapai Rp 2.156,880 Triliun.
Maka apabila jumlah total utang itu dibagi rata (dan tentu ini tidak adil) kepada setiap rakyat Indonesia yang 237,556 Juta jiwa (sensus 2010) maka setiap rakyat Indonesia harus memikul beban utang sebesar Rp 9,079 Juta per orangnya. (fb: SeriusSantai)
Ajaran Islam tentang Bahayanya Hutang
Dari Abi Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu anhu ia berkata, saya mendengar Rasulullah sholallohu alaihi wa sallam bersabda: “Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan lilitan hutang”. Maka ada salah seorang sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, apakah sama antara kekafiran dengan lilitan hutang?” Beliau menjawab: “Ya”. (HR. Nasa-i tapi dilemahkan oleh Al-Albani)
Jika Allah menginginkan kehinaan seorang hambaNya, maka Allah lilitkan hutang kepadanya. Dari Ibnu Umar, Rasulullah sholallohu alaihi wa sallam bersabda: “Hutang adalah bendera milik Allah di atas bumi, jika Dia menghendaki kehinaan seorang hambaNya maka ditaruhlah –hutang tersebut- di lehernya”. (HR. Hakim)
Dari Ibnu Umar rodhiyallohu anhu ia berkata, saya mendengar Rasulullah sholallohu alaihi wa sallam memberi wasiat kepada seseorang dengan ucapan beliau: “Minimalkan (kurangilah) dosamu niscaya akan memudahkan kematianmu dan minimalkanlah hutang niscaya kamu hidup bebas tanpa ikatan”. (HR. Baihaqi)
Bertolak dari seringnya Rasulullah sholallohu alaihi wa sallam memohon perlindungan diri dari hutang mendorong seorang sahabat menanyakannya. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya jika seseorang berhutang maka dia akan berdusta saat berbicara dan tidak menepati janjinya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Muhammad bin Abdullah bin Jahsy ia berkata: “suatu saat Rasulullah sholallohu alaihi wa sallam duduk sedangkan jenazah ditaruh (di liang lahat). Maka beliau memandang ke langit lalu menurunkannya dan terus meletakkan tangan ke kening beliau sambil berkata: “Subhaanalllaah, subhaanallaah. Attasydid telah diturunkan”. Muhammad berkata: Kami tahu lalu diam hingga datang hari besoknya saya tanyakan kepada beliau: “Apa tasydid yang telah diturunkan, ya Rasululloh?” Beliau menjawab: “Mengenai hutang. Demi Dzat yang menguasai diriku jika seseorang terbunuh fi sabilillah (mati syahid) lalu hidup kemudian terbunuh lalu hidup kemudian terbunuh lagi sedangkan dia memiliki tanggungan hutang maka tidak bisa masuk surga hingga terselesaikan hutangnya”. Dalam Shahih Muslim disebutkan: “Allah mengampuni segala dosa orang yang mati syahid kecuali hutang”. Sedangkan dalam Musnad Imam Ahmad termaktub: “Sesungguhnya teman kalian tertahan di pintu surga sebab hutangnya (yang belum terlunaskan)”, dari hadits Samurah.
Pemerintah Berkewajiban Membayarkan Hutang Rakyatnya
Tentu saja, pemerintah tidak bisa dengan seenaknya berhutang kepada siapapun atas nama Negara kemudian membebankan pelunasan hutangnya kepada rakyat yang dipimpinnya. Malah seharusnya Negara malah berkewajiban membayarkan hutang warga Negara yang tidak mampu melunasi hutangnya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku lebih berhak menolong kaum Mukminin dari diri mereka sendiri. Jika ada seseorabng dari kaum Mukminin yang meninggal, dan meninggalkan hutang maka aku yang akan melunasinya…” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2298 –Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari Abu Haurairah Radhiyallahu ‘anhu]
Maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah, akan melunasinya dari harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah (harta rampasan perang), jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum Muslimin), infak atau shadaqah serta zakat.
Sebagaimana yang dipahami dari pekataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu (di saat ia tidak mampu melunasi hutang-hutang ayahnya yang wafat dalam keadaan meninggalkan hutang). Sabda Nabi Muhammad sholallohu alaihi wa sallam: “Kalaulah telah datang harta (jizyah) dari Bahrain, niscaya aku memberimu sekian dan sekian” [Hadits Riwayat Al-Bukahri 2296 –Fathul Bari- dan Muslim 2314]
Sistim Bathil yang Membuat Rakyat Menanggung Hutang Negara
Negara yang dibangun diatas keyakinan bahwa agama hanyalah urusan pribadi dan dikungkung sebagai paket ritual serta pencitraan spiritual semata, ternyata memendam permasalahan dahsyat yang membuat kebanyakan rakyatnya hidup dan mati dalam kesia-siaan.
Firman Alloh:
“Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah: "Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa".
“dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "(Tidak) sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru Kami supaya Kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya". kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. dan Kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.(QS. Saba’: 32-33)
Bagaimana tidak, rakyat yang diminta loyalitasnya secara total ternyata hanya dijadikan sapi perahan bagi penguasa dan pengusaha berserta kacung-kacung dari jajaran sipil dan militernya. Negara sebagai buah kemerdekaan bangsa yang semestinya dijadikan wahana menyejahterakan rakyat pada realisasi justru tidak pernah mampu menciptakan perekonomian yang stabil .
Sumber daya alamnya digadaikan kepada pihak-pihak asing dimana oknum dan kelompok penikmat keadaan miris terus beroleh keuntungan.
Dalam teori makro, ketidak-stabilan ekonomi bertumpu pada 3 (tiga) permasalahan yaitu: pengangguran, inflasi dan ketimpangan neraca pembayaran. Hal mana ketiganya saling berkait dan saling mempengaruhi sehingga terciptanya situasi dan kondisi perekonomian suatu bangsa.
Secara bebas, penulis mendefenisikan pengangguran adalah sebuah kondisi ketidakmampuan yang dialami warga Negara dalam mengoptimalisasikan potensi untuk mencukupi kebutuhan diri dan orang-orang yang ada dalam tanggungannya.
Sedangkan inflasi seperti yang diartikan oleh Erizeli Bandaro (culas.blogspot.com) adalah seni negara merampok rakyat lewat pencetakan uang dengan jaminan masa depan diatas asumsi asumsi ideal . Bila asumsi tidak tercapai maka uang itu terbang melayang ditengah masyarakat tanpa ada jaminan apapun.
Terakhir, Neraca Pembayaran merupakan suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. (http://id.wikipedia.org)
Sistem Ribawi yang dianut meniscayakan keberadaan dan peran Bank Sentral. Bank Sentral dengan didukung para ahli ekonomi dan keuangan bekerja keras dan dibayar mahal untuk melakukan control terhadap inflasi. Bank Sentral dengan sendirinya memiliki kewenangan Negara untuk mencetak, menerbitkan, mengedarkan dan menarik mata uang sebagai alat bayar yang berlaku.
Lantas Bagaimana Konspirasi Jahat ini Dapat Terjadi ?
Penulis mengutip secara utuh dari culas.blogspot.com tentang bagaimana satanic circle ini terbentuk agar kita bisa menimbang tentang sejauh mana kedaulatan bangsa yang digembor-gemborkan penguasa dan jajarannya semenjak bangsa ini merdeka (?). Silahkan dipahami.
Caranya adalah pemerintah menerbitkan Obligasi (Bond) dan dijual kepada orang kaya. Obligasi ini tidak 100% diserap oleh orang kaya. Ya hanya sebatas kemampuan orang kaya yang ada saja. Sisanya atau sebagian besar dibeli oleh Bank Central. Nah dari mana Bank Cental dapatkan uang untuk beli Obligasi ini ?
Ya dari cetak uang. Loh kan inflasi ? Tidak usah kawatir, para ahli ekonomi sudah menghitung dengan baik berdasarkan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh Pemerintah. Darimana pemerintah dapatkan uang untuk bayar hutang dan bunga?
Ya, Dari pajak. Apa jadinya bila asumsi pendapatan pajak tidak tercapai hingga tidak mampu bayar hutang dan bunga ? Oh, tidak usah kawatir, pemerintah akan terbitkan bond lagi untuk berhutang dan pasar akan meyerapnya. Begitulah seterusnya.
Hingga jadilah rezim hutang. Semakin maju negara semakin canggih rezim hutang meng cretate system berhutang. Kini rezim itu sudah menglobal. Akumulasi hutang ini tentu adalah cermin dari keculasan rezim. Yang berdampak pada tingkat harga kebutuhan yang terus merangkak sampai pada tahap dimana tingkat pendapatan rakyat tidak mampu lagi mengejarnya.
Membuat orang miskin semakin miskin dan kelompok menengah menjadi miskin. Namun tidak bagi orang kaya yang sudah kaya. Karena setiap proses pencetakan uang dan inflasi , mereka dilibatkan untuk mendapatkan rente lewat pasar uang yang sengaja di create oleh penguasa.
Juga mereka dilibatkan pemerintah dalam ekspansi kredit lewat sistem perbankan. ' Mereka dibutuhkan oleh pemerintah sebagai cara untuk mengatasi Penganguran melalui kegiatan produksi. Dari kegiatan produksi ini diharapkan akan menghasilkan laba untuk akhirnya membayar pajak kepada negara. Maka neraca pembayaran negara dapat terjaga." demikian alasan pemerintah.
Namun target dan asumsi mengatasi pengangguran dan keseimbangan neraca pembayaran tidak pernah terjadi. Justru yang terjadi adalah krisis demi krisis yang tak pernah tuntas diselesaikan, dengan semakin besarnya jurang sikaya dengan simiskin.
Akar masalah ini sudah diperingatkan oleh Allah “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila...”. (QS. Al Baqarah: 275).
Anda bisa bayangkan bagaimana bentuk manusia yang kemasukan setan dan gila ? Begitulah permisalan yang diberikan Allah kepada penguasa atau negara yang mencetak uang lewat mekanisme penerbitan surat hutang berbunga ( riba ) dan mereka orang kaya yang menikmati bunga itu. Kenapa mereka sampai begitu kelakuannya padahal mereka tahu akibatnya.
Tololkah Mereka ?
Perhatikan firman Alloh Azza wa Jalla: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaha: 124).
Ya mereka memang tolol karena mereka berpaling dari Allah. Islam mereka musuhi dan bila perlu diciptakan bad image bahwa Islam itu adalah teroris dan tak pantas mengatur sebuah negara. Makanya walau mereka bergelimang kekuasaan dan harta namun penghidupan mereka sempit. Krisis akan terus terjadi dan akan semakin membesar dan terus membesar. (Abu Fatih/dbs/Voa Islam.com))
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!