Sabtu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Agutus 2015 17:00 wib
5.738 views
Kemerdekaan Semu Dibawah Bayang-Bayang Neoliberalisme dan Neoimperialisme (bagian-3 tamat)
Oleh: Indra Fakhruddin (Pengamat Sosial Politik di Al Amri Institute)
Sahabat VOA-Islam...
Sementara di lapangan legislatif, intervensi asing juga sangat nyata. Menurut penuturan seorang anggota DPR, ada lebih dari 76 UU yang draft-nya dilakukan pihak asing, seperti UU Migas, UU PM, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga tengah dalam ancaman neoimperialisme.
Neoimperialisme adalah penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat gold (kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misionasi Kristiani). Meski mungkin kepentingan yang ketiga (gospel) kini tidak begitu menonjol, tapi kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) nyata sekali masih berjalan.
Neoliberalisme dan neoimperialisme tentu saja berdampak sangat buruk buat kita semua. Diantaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2014 mencapai 27, 73 juta orang atau 10,96 persen. Angka ini disinyalir akan bertambah 30 Juta orang ditahun 2015 ini terutama dampak kenaikan harga BBM. Bayangkan juga setiap bayi yang lahir harus menanggung beban hutang negara sebesar 15,2 Juta.
Posisi hutang luar negeri per Mei 2015 pada angka 3.929 Trilyun. Catatan Human Development Index (HDI) tahun 2014 dari 187 negara Indonesia menempati ranking 108, suatu angka yang sangat memalukan untuk negara sebesar Indonesia. Belum lagi mirisnya dunia pendidikan dengan maraknya kerusakan moral. Satu-persatu pejabat dan publik figur terseret dipusaran korupsi yang makin menjadi-jadi.
Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing.
Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik, seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain. Rasa aman semakin tercabut dari urat nadi masyarakat dengan kriminalitas yang kian merajalela.
Ancaman Neoliberalisme dan Neoimperialisme yang gamblang didepan mata memudarkan jargon kemerdekaan yang selama 70 tahun ini diperingati. Bangsa ini perlu jujur pada bangsanya
Sementara itu, demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan di saat kampanye atau sebelum pemilihan. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah, dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti Freeport, adalah bukti nyata diabaikannya aspirasi rakyat serta ketundukan pemerintah pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal. Ibaratnya, kalau ada pulau yang besar dan banyak sedang dijual itulah Indonesia. Seperti ungkapan bait syair arab yang ma’tsur:
“كالعيس بالبيداء يقتلها الظماء ، والماء فوق ظهورها محمول”
“Seperti onta yang masti kehausan padahal airnya ada diatas punuknya”
Ancaman Neoliberalisme dan Neoimperialisme yang gamblang didepan mata memudarkan jargon kemerdekaan yang selama 70 tahun ini diperingati. Bangsa ini perlu jujur pada bangsanya. Aparat TNI/Polri jangan hanya mengejar formalisai keliling sosialisasi menanamkan nasionalisme kepada masyarakat sementara para pemimpin negeri ini sibuk menyerahkan kehormatan dan harga dirinya kenegara penjajah. Kepekaan dan kesadaran politik perlu diasah dan keberanian perlu ditunjukkan. Pemerintah harus terlebih dahulu berbenah sebelum sibuk membenahi rakyatnya. Memaksa rakyatnya untuk memeriahkan kemerdekaan untuk mengelabuhi kejahatan yang mereka lakukan terhadap negaranya.
Pangkal penjajahan Indonesia akibat semakin eratnya sekulerisme masuk kesemua lini kehidupan. Akibatnya negeri muslim terbesar ini meminggirkan syariah islam. Bukankah dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia dapat diraih atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa? Lantas mengapa sekarang setelah “merdeka” syariah islam dicampakkan?
Memerdekakan Umat Islam
Pertanyaan besar telah terjawab. Suka tidak suka, Indonesia belum dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka. Persyaratan sebagai negara merdeka belum terpenuhi. Begitu pula, sebagai umat islam yang diikat oleh aqidah islam sudah lama terjajah. Pasalnya pasca runtuhnya khilafah islamiyyah pada tanggal 3 Maret 1924 payung permersatu umat islam telah diruntuhkan melalui agen Inggris Mustafa Kamal Atarturk. Sejak itulah seluruh negeri islam terjajah dibawah dominasi negara kapitalisme. Umat terbesar tak berdaya dibawah ketiak negara penjajah yang rakus. Darah dan kehormatan negeri islam tercecer bagai barang taka berguna. Kekayaan alamnya dirampas tak belas kasihan. Emas hitam (minyak) di sedot kenegeri penjajah. Bayangkan, khilafah islamiyyah merupakan benteng pertahanan terakhir umat islam. Bagaikan sebuah bendungan besar yang jebol, maka air bah besar melululantahkan seluruh bangunan porak poranda. Gambaran ini persis dengan apa yang diprediksikan oleh Rasulullah Saw 14 abad silam:
« يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ « بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ »
Hampir tiba dimana umat-umat saling memanggil untuk melawan kalian sebagaimana orang-orang saling memanggil untuk menyantap hidangannya. Salah seorang bertanya: apakah karena sedikitnya kami ketika itu? Rasul menjwab: bahkan kalian pada hari itu banyak akan tetapi kalian laksana buih dilautan dan sungguh Allah mencabut ketakutan dan kegentaran terhadap kalian dari dada musuh kalian dan Allah tanamkan di hati kalian al-wahn. Salah seorang bertanya: apakah al-wahn itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: cinta dunia dan membenci kematian (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Umat Islam hanya mampu teriak tidak bisa membela dengan pembelaan yang memadai. Tubuhnya telah terapasung dalam penjara negara nasionalisme. Beginilah ketika umat islam terpisah dari khilafah islamiyyah. Oleh sebab itu kemerdekaan hakiki hanya dapat diraih sebagai berikut;
Pertama, makna kemerdekaan hakiki tersirat dari kisah dialog Ruba’i bin Amir utusan Sa’ad bin Abi Waqqash dalam perang Al-Qadhisiyah kepada Panglima Rustum di Persia. Saat berhadapan dengan pasukan Persia Ruba’i menyampaikan kepada Panglima Rustum,”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada kami untuk membebaskan manusia dari penghambaan diri dari selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam”.
Inilah visi utama kemerdekaan islam, yaitu mentauhidkan. Islam datang untuk menghilangkan penghambaan manusia kepada manusia atau segala sesuatu yang sifatnya materiil. Era sekarang dengan dominasi demokrasi sekuler telah memalingkan manusia untuk menyembah kepada tuhannya manusia (Allah swt). Selama demokrasi masih bercokol berarti telah mendudukkan manusia sebagai tuhan-tuhan yang disembah dalam bentuk membuat hukum.
Kedua, Kemerdekaan hakiki hanya dapat direngkuh ketika umat yang besar ini bebas dan berdaulat mengatur kehidupannya sendiri dibawah payung negara khilafah. Umat islam yang berserakan dalam rantai nasionalisme harus disatukan kembali kedalam pangkuan khilafah serta diberlakukan syariah islam secara menyeluruh dibawah kepeminpian seorang kholifah. Imam atau khalifah akan mempertahankan setiap jengkal negeri islam dari penjajahan. Sebagaimana hadist beliau;
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
Sesungguhnya Imam/Khalifah itu adalah benteng, tempat umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Jika ia memerintahkan ketakwaam kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya pahala. Jika ia memerintahkan selainnya, ia celaka. (HR Muslim)
Dengan demikian umat islam terbebas dari bentuk penjajahan militer dan penjajahan sistemik neoliberalisme dan neoimperealisme. Kemerdekaan umat islam akan membawa kemerdekaan –kemerdekaan besar lainnya dimuka bumi. Satu-satu persatu negeri yang masih dijajah oleh negara penjajah akan di bebaskan dan disejahterakan. Akhirnya kebebasan sebenarnya dimuka bumi ini hanya akan terwujud bila islam berkuasa kembali sebagai negara adidaya. Sublimasi islam keseluruh penjuru dunia membawa dunia pada kemerdekaan yang sesungguhnya. Wallahua'alam. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!